NovelToon NovelToon
Denting Terakhir Di Villa Edelweiss

Denting Terakhir Di Villa Edelweiss

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Horor / Rumahhantu / Romantis / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama
Popularitas:348
Nilai: 5
Nama Author: YourFriend7

Liburan Natal di Villa Edelweiss seharusnya menjadi momen hangat bagi Elara, Rian, dan si jenaka Bobi. Namun, badai salju justru mengurung mereka bersama sebuah piano tua yang berbunyi sendiri setiap tengah malam—memainkan melodi sumbang penagih janji dari masa lalu.
​Di tengah teror yang membekukan logika, cinta antara Elara dan Rian tumbuh sebagai satu-satunya harapan. Kini mereka harus memilih: mengungkap misteri kelam villa tersebut, atau menjadi bagian dari denting piano itu selamanya.
​"Karena janji yang dikhianati tak akan pernah mati, ia hanya menunggu waktu untuk menagih kembali."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YourFriend7, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bayangan yang Menumpang

Elara menahan napas sampai dadanya terasa sakit. Matanya terpaku ke lantai mobil, tepat di bawah kaki Rian.

Di sana, di atas karpet karet yang kotor oleh tanah dan abu, bayangan tubuh Rian bergerak tidak wajar.

Secara logika, bayangan itu harusnya diam, mengikuti posisi Rian yang sedang duduk menyetir. Tapi bayangan ini hidup. Kepala bayangan itu menoleh ke arah Elara, dan tangan hitamnya yang memegang pena imajiner sedang mencoret-coret karpet mobil dengan gerakan agresif.

Sreeet... sreeet...

Suara goresan itu terdengar nyata, meski tidak ada pena fisik di sana.

"El? Kenapa lo pucat lagi?" tanya Rian tanpa menoleh, matanya fokus ke jalan tol yang gelap. "Lo liat apa di bawah?"

Elara ingin berteriak: "Ada Adrian di bayangan lo!" Tapi tenggorokannya tercekat. Elena, yang tadi duduk di kursi belakang, sudah lenyap. Arwah pengantin itu hanya muncul sesaat untuk memberi peringatan, seolah tugasnya sudah selesai dan dia tidak punya energi lagi untuk ikut campur.

"Rian..." ucap Elara dengan suara gemetar. "Jangan panik ya. Tapi... coba lo angkat kaki lo dari pedal gas. Pelan-pelan."

Rian mengerutkan kening, bingung. "Kenapa? Kita harus cepet sampai rumah sakit, El. Sarah sama Bobi butuh...."

"Lakuin aja, Yan! Sekarang!" potong Elara, nadanya mendesak.

Rian menghela napas kasar, tapi dia menuruti. Dia mencoba mengangkat kaki kanannya dari pedal gas untuk memindahkannya ke pedal rem.

Hening sedetik.

Wajah Rian berubah. Dari bingung menjadi tegang.

Dia mencoba lagi. Otot pahanya menegang. Urat di lehernya menonjol.

"Nggak bisa..." bisik Rian horor.

"Apanya yang nggak bisa?" tanya Elara panik.

"Kaki gue," Rian menatap kakinya sendiri dengan tak percaya. "Kaki gue nggak mau gerak. Rasanya kayak disemen ke pedal gas. Berat banget, El! Gue nggak bisa angkat!"

Di lantai mobil, bayangan hitam itu menyeringai, Elara bisa melihat bentuk mulut yang robek di siluet kepala bayangan itu. Tangan bayangan itu kini sedang mencengkeram pergelangan kaki bayangan Rian, menahannya agar tetap menekan gas.

Dan parahnya, bayangan itu mulai menekan lebih dalam.

Di dunia nyata, kaki Rian tertekan ke bawah di luar kehendaknya.

BROOOM!

Mesin mobil meraung. Speedometer melonjak naik. 80... 100... 120 km/jam.

"Rian! Pelan-pelan!" teriak Sarah yang terbangun kaget dari tidur ayamnya di kursi belakang. Bobi juga ikutan bangun, matanya merah dan bingung. "Woy, ini bukan sirkuit! Ngapain ngebut?!"

"Bukan gue!" teriak Rian frustrasi. Dia mencengkeram setir sampai buku jarinya memutih, berusaha melawan kakinya sendiri. "Kaki gue gerak sendiri! Ada yang neken gasnya!"

Mobil melesat gila-gilaan membelah jalan tol yang sepi. Angin malam menderu di luar jendela.

Elara memberanikan diri. Dia menunduk, mencoba meraih kaki Rian untuk membantunya mengangkat pedal.

Tapi begitu tangan Elara mendekati lantai, bayangan itu bereaksi. Tangan hitam itu melepaskan pena bayangannya dan menyambar tangan Elara.

ZRRRT!

Sensasi dingin yang membakar menyengat kulit Elara. Rasanya seperti memegang dry ice.

"Aww!" Elara menarik tangannya refleks. Di pergelangan tangannya, tercetak memar hitam berbentuk jari tangan yang kurus dan panjang.

"Jangan ikut campur, Editor Kecil," suara Adrian terdengar, bukan dari telinga, tapi berdengung langsung di dalam tulang tengkorak mereka berempat. "Kita sedang menuju klimaks cerita."

"Itu Adrian!" teriak Bobi histeris. "Dia ngikut kita! Dia nebeng!"

"Matikan lampunya!" seru Elara tiba-tiba. Ide itu muncul begitu saja. "Bayangan butuh cahaya buat ada! Kalau gelap total, dia nggak bisa wujud!"

"Lo gila?!" bantah Rian sambil terus bergulat dengan setir yang mulai terasa berat, seolah ingin berbelok sendiri. "Kita lagi ngebut 140 kilo di jalan tol! Kalau gue matiin lampu, kita mati nabrak pembatas jalan!"

"Kita bakal mati kalau lo nggak matiin!" balas Elara. Dia melihat ke depan. Jalan tol ini lurus. "Cuma sebentar, Yan! Matikan lampu dashboard, matikan lampu depan! Biar gelap total di dalem sini!"

Rian bimbang. Tapi saat dia merasakan sensasi dingin mulai merambat naik dari kakinya ke paha, lalu ke pinggang, seperti lumpur hidup yang perlahan menelan tubuhnya, dia tahu dia nggak punya pilihan. Adrian mencoba mengambil alih seluruh tubuhnya.

"Oke... oke, shit!" umpat Rian. "Pegangan!"

Rian memutar tuas lampu di setir ke posisi OFF. Dia juga mematikan panel instrumen dashboard.

KLIK.

Gelap gulita.

Satu-satunya cahaya hanya berasal dari lampu jalan tol yang jaraknya berjauhan di luar sana, yang melesat lewat sesekali. Di dalam kabin, gelap pekat.

Tekanan di kaki Rian tiba-tiba hilang.

"Bisa!" seru Rian lega. "Kakinya enteng lagi!"

Rian langsung menginjak rem perlahan, menurunkan kecepatan dari 140 ke 80. Napas mereka terdengar memburu di kegelapan.

"Berhasil?" bisik Sarah dari belakang.

"Kayaknya," jawab Elara, matanya menyapu kegelapan di lantai mobil, waspada. Nggak ada yang kelihatan.

Tapi kelegaan itu prematur.

Mereka lupa satu sumber cahaya.

TING!

Ponsel Bobi yang ada di saku celananya menyala. Ada notifikasi masuk. Cahaya layar HP itu terang benderang di dalam mobil yang gelap.

Cahaya itu jatuh ke sandaran kursi pengemudi.

Dan menciptakan bayangan baru.

Bayangan kepala Rian tercetak jelas di kaca depan mobil bagian dalam.

Dan bayangan itu... tersenyum.

"Terima kasih cahayanya, Pelawak," bisik Adrian.

Bayangan di kaca depan itu tiba-tiba keluar. Bukan lagi 2 dimensi, tapi dia melepaskan diri dari kaca dan menjadi gumpalan asap hitam 3 dimensi yang melayang di dalam mobil.

Sosok itu langsung menerjang wajah Rian.

Asap hitam itu masuk paksa ke dalam mulut dan hidung Rian.

"Rian!" jerit Elara.

Rian meronta-ronta, tangannya mencakar wajahnya sendiri, mencoba mengeluarkan asap itu. Mobil oleng ke kiri dan kanan, ban berdecit mengerikan di aspal.

"Bobi! Matikan HP lo!" teriak Sarah.

Bobi panik, HP-nya malah jatuh ke kolong kursi. Cahayanya makin menyebar ke mana-mana.

Rian kejang-kejang di kursi pengemudi. Matanya terbelalak putih semua, lalu perlahan pupilnya kembali... tapi warnanya bukan cokelat hangat lagi.

Warnanya merah menyala.

Rian berhenti meronta. Dia duduk tegak, tenang. Terlalu tenang.

Dia memegang setir dengan mantap. Bibirnya melengkung membentuk senyum yang sangat lebar, sampai-sampai sudut bibirnya terlihat mau robek.

Rian menoleh pelan ke arah Elara.

"Halo, Sayang," sapa Rian. Tapi suaranya bukan suara Rian. Itu suara ganda, suara Rian yang ditumpuk dengan suara berat Adrian. "Bab 20 tadi seru banget ya? Tapi sayang, aku nggak suka happy ending."

Elara mundur sampai punggungnya menempel ke pintu mobil. "Keluar dari tubuh Rian!"

"Kenapa harus keluar?" 'Rian' tertawa kecil. Tangannya mengelus setir mobil dengan sayang. "Tubuh ini kuat. Muda. Dan punya akses ke dunia luar. Aku bisa nulis banyak cerita pakai tangan ini."

"Rian! Lawan dia!" teriak Sarah dari belakang, memukul sandaran kursi Rian.

'Rian' melirik kaca spion tengah, menatap Sarah. "Diam, Kritikus. Atau aku patahin lehermu lagi."

Kemudian, 'Rian' kembali menatap jalan. Di depan sana, ada percabangan jalan tol. Kiri menuju arah kota (pulang), kanan menuju jembatan layang yang belum jadi, jalan buntu yang putus di tengah udara.

Rian membanting setir ke kanan.

"Kita mau ke mana?!" teriak Bobi.

"Ke Grand Finale," jawab 'Rian' santai sambil menginjak gas lagi sampai mentok.

Mobil melesat menuju jembatan putus itu. Di ujung sana, hanya ada beton pembatas dan jurang gelap setinggi 50 meter.

"Dia mau bunuh kita semua!" jerit Elara. Dia mencoba merebut setir, tapi satu tangan Rian menangkap pergelangan tangannya dengan kekuatan besi.

"Jangan nakal," kata 'Rian'. "Duduk manis dan nikmati plot twist-nya."

Jarak ke ujung jembatan tinggal 500 meter.

400 meter.

"Rian! Dengerin aku!" Elara memohon, air matanya tumpah. Dia menatap mata merah itu, mencari sisa jiwa Rian di sana. "Ini bukan cerita lo! Lo bukan pembunuh! Lo Rian! Lo janji mau ngopi bareng gue besok pagi!"

Mata merah itu berkedip sekali. Ada sedikit keraguan di sana. Tangan yang mencengkeram Elara sedikit melonggar.

"E-El..." suara Rian yang asli terdengar mencicit, terjepit di antara dominasi Adrian. "Sakit... panas..."

"Lawan, Yan! Ambil alih setirnya!" dukung Bobi.

Mobil mulai zig-zag. Rian sedang bertarung di dalam kepalanya sendiri. Tangan kirinya mencoba memutar setir ke kiri, tapi tangan kanannya (yang dikuasai Adrian) menahannya tetap lurus.

200 meter.

Ujung jembatan sudah terlihat jelas. Beton pembatas yang dililit garis polisi kuning-hitam.

"Gak bisa..." erang Rian, air mata darah menetes dari mata kirinya. "Dia terlalu kuat... Maafin gue, El..."

Elara melihat keputusasaan di wajah Rian. Dia tahu kata-kata saja nggak cukup. Dia butuh sesuatu yang drastis. Sesuatu yang bisa me-reset kesadaran Rian.

Elara melihat ke dashboard. Ada satu benda di sana.

Pulpen. Pulpen biasa yang ditaruh Rian buat nyatet struk tol.

Tanpa pikir panjang, Elara menyambar pulpen itu.

"Maafin gue, Yan," bisik Elara.

Elara menghujamkan pulpen itu... bukan ke Rian.

Tapi ke telapak tangannya sendiri.

JLEB!

"AAARGH!" Elara menjerit kesakitan saat ujung pulpen menembus telapak tangan kirinya. Darah segar muncrat, mengenai wajah Rian.

Darah hangat itu menampar wajah Rian. Bau amis darah memenuhi kabin yang sempit itu.

Mata merah Rian melebar. Shock.

Bagi Adrian, darah adalah tinta. Tapi bagi Rian... darah Elara adalah bangunan realitas yang paling menyakitkan.

Rasa sakit Elara membangunkan Rian sepenuhnya.

"ELARA!" teriak Rian, suaranya kembali normal. Matanya berubah cokelat lagi seketika.

Dia sadar mobil sedang melaju 160 km/jam menuju kematian. Jarak tinggal 50 meter.

Rian tidak menginjak rem. Jaraknya terlalu dekat, rem nggak akan guna, mereka bakal tetap tergelincir dan jatuh.

Rian melakukan satu-satunya hal gila yang bisa dia lakukan.

Dia menarik rem tangan full, dan membanting setir ke kiri sekuat tenaga.

"DRIFTING!"

Mobil itu berputar 180 derajat secara horizontal. Ban berdecit memekakkan telinga, asap karet mengepul putih. Sisi kanan mobil menghantam beton pembatas jalan dengan keras.

BRAAAAK!

Kaca jendela pecah berhamburan. Airbag meledak keluar.

Mobil itu terseret di aspal dalam posisi miring, memercikkan bunga api, lalu berhenti tepat... sangat tepat... di bibir jurang jembatan putus.

Ban belakang mobil menggantung di udara kosong. Mobil bergoyang-goyang tidak stabil, berderit-derit, menyeimbangkan diri antara jatuh atau tetap di aspal.

Hening.

Di dalam mobil yang hancur itu, Elara terbatuk-batuk. Airbag di depannya sudah kempes. Tangannya yang tertusuk pulpen masih berdarah, tapi dia nggak peduli.

"Rian?" panggilnya lirih.

Rian terkulai di setir. Darah mengalir dari pelipisnya.

Tapi bukan itu yang bikin Elara ngeri.

Di dashboard mobil yang retak, di tengah pecahan kaca dan debu airbag... ada sebuah tulisan yang baru saja muncul. Tulisan itu digoreskan dengan darah Rian sendiri.

Tulisannya berbunyi:

"BERSAMBUNG DI NERAKA."

Dan tiba-tiba, Rian yang pingsan itu membuka matanya.

Dia tidak menatap Elara. Dia menatap lurus ke arah kalian, wahai pembaca, menyeringai, dan berkata dengan suara Adrian:

"Kalian pikir ceritanya sudah selesai? Coba cek di bawah kursi kalian sekarang."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!