NovelToon NovelToon
Mirror World Architect

Mirror World Architect

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Anak Genius / Horror Thriller-Horror / Epik Petualangan / Dunia Lain / Fantasi Wanita
Popularitas:177
Nilai: 5
Nama Author: PumpKinMan

Satu-satunya hal yang lebih buruk dari dunia yang rusak adalah mengetahui ada dunia lain yang tersembunyi di baliknya... dan dunia itu juga sama rusaknya.

Rania (21) adalah lulusan arsitektur terbaik di angkatannya. Sekarang, dia menghabiskan hari-harinya sebagai kurir paket. Baginya, sarkasme adalah mekanisme pertahanan, dan kemalasan adalah bentuk protes diam-diam terhadap industri yang menghancurkan idealisme. Dia hanya ingin hidup tenang, mengabaikan dunia, dan membayar sewa tepat waktu.

Tapi dunia tidak mau mengabaikannya.

Semuanya dimulai dari hal-hal kecil. Bayangan yang bergerak sepersekian detik lebih lambat dari seharusnya. Sensasi dingin yang menusuk di gedung-gedung tua. Distorsi aneh di udara yang hanya bisa dilihatnya, seolah-olah dia sedang melihat kota dari bawah permukaan air.

Rania segera menyadari bahwa dia tidak sedang berhalusinasi. Dia adalah satu-satunya yang bisa melihat "Dunia Cermin"-sebuah cetak biru kuno dan dingin yang bersembunyi tepat di balik realita

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PumpKinMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 5: AKUARIUM DI ATAS ASPAL

Trotoar itu keras dan tidak memaafkan di bawah kakinya yang telanjang.

Rania baru sadar dia tidak memakai sepatu.

Dia berdiri gemetar di sudut jalan, masih mengenakan kaus oblong pudar dan celana tidur flanel yang dia kenakan semalam. Udara pagi yang lembap dan dingin menempel di kulitnya yang berkeringat. Matahari baru saja mulai memanjat, mengubah langit dari abu-abu menjadi kuning pucat yang sakit-sakitan.

Orang-orang melewatinya.

Mereka adalah kerumunan pagi. Para pekerja kantor dengan kemeja kaku, pedagang kaki lima yang mendorong gerobak mereka, anak-anak sekolah berseragam. Mereka bergerak dalam ritme yang tergesa-gesa, wajah-wajah mereka tertunduk, fokus pada gawai di tangan mereka atau pada tujuan mereka sendiri.

Bagi mereka, Rania hanyalah satu lagi anomali kota yang harus diabaikan. Seorang gelandangan, mungkin. Seorang pecandu, barangkali. Dia tidak relevan.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Rania bersyukur menjadi tidak terlihat.

Dia menelan ludah, tenggorokannya kering dan sakit. Dia bersandar pada dinding ruko yang tertutup debu konstruksi. Logika arsiteknya masih berusaha bekerja, seperti mesin yang rusak, mencoba memproses data yang mustahil.

"Halusinasi penciuman," bisiknya pada tiang lampu. "Tetesan itu... halusinasi taktil. Langit-langit porselen... halusinasi visual yang persisten."

Dia sedang membangun kembali diagnosisnya yang hancur. Dia *harus*.

Karena jika dia tidak gila, jika retakan itu nyata dan cairan hitam itu nyata, lalu apa? Apa yang dia lakukan? Menelpon polisi? ("Halo, Pak, apartemen saya bocor minyak berbau ozon dari dimensi lain?") Menelpon pengelola gedung? ("Ya, Bu, sepertinya ada masalah struktural di unit saya, langit-langitnya berubah jadi keramik.")

Tidak. Dia gila.

Itu adalah satu-satunya jawaban yang waras. Ini adalah psikosis akut. *Burnout* yang parah. Dia telah mendorong dirinya terlalu jauh, dan sekarang otaknya patah.

Dia merasa sedikit tenang. Sebuah rencana terbentuk. Dia tidak bisa kembali ke apartemen itu—apartemen itu adalah *pemicu* halusinasinya. Dia butuh tempat yang aman. Dia butuh kopi. Dia butuh sesuatu yang *normal* untuk menambatkan realitasnya yang retak.

Dia butuh Reza.

"Kopi Titik Koma".

Itu adalah tempat aman keduanya. Tempat yang terbuat dari bata asli dan kayu solid. Tempat di mana arsitekturnya jujur.

Kafe itu berjarak sekitar sepuluh blok. Lima belas menit berjalan kaki. Dia bisa melakukannya. Dia hanya perlu berjalan, tidak melihat ke atas, dan berpura-pura menjadi salah satu dari orang-orang normal yang sibuk ini.

Dia mulai berjalan.

Kaki telanjangnya menginjak trotoar yang retak dan berpasir. Dia tidak peduli.

Dia menundukkan kepalanya, fokus pada ubin trotoar di depannya. Satu ubin, ubin berikutnya. Pola *herringbone* yang dipasang dengan buruk. *Semennya tidak rata. Kontraktornya malas.* Otak arsiteknya mengoceh, mencoba menambatkan dirinya pada detail-detail yang bisa dimengerti.

Lima langkah pertama terasa normal.

Lalu, dia merasakannya lagi. Keheningan yang *teredam*.

Seperti di apartemennya. Suara kota tidak hilang, tapi seolah-olah seseorang telah meletakkan selimut tebal di atas speaker raksasa. Deru bus, teriakan pedagang, semuanya terdengar jauh. Tuli.

Dan bau itu kembali.

Bau ozon yang tajam, seperti logam terbakar, dan bau debu museum yang kering. Bau itu tidak lagi ada di apartemennya. Bau itu ada *di mana-mana*. Bau itu adalah udara pagi yang baru.

Dia mulai berjalan lebih cepat.

Dia berbelok di tikungan pertama, masuk ke jalan yang lebih ramai. Sebuah bus kota berwarna biru tua berhenti mendadak di halte, suaranya teredam seperti desisan. Orang-orang berdesakan masuk.

Rania berhenti, terengah-engah.

Sesuatu yang besar dan berwarna oranye baru saja *melewati* bus itu.

Dia memejamkan mata, menggosoknya dengan keras. "Tidak nyata. Halusinasi visual. Stres."

Dia membuka matanya lagi.

Bus itu masih di sana. Dan benda itu juga masih di sana.

Itu adalah seekor ikan mas koki.

Bukan ikan kecil. Benda itu seukuran sepeda motor. Sisik-sisiknya berkilauan dengan cahaya internal yang mustahil, berwarna oranye menyala seperti lampu neon. Ekornya yang panjang dan tembus pandang melambai pelan, tanpa suara, dalam gerakan yang cair dan anggun.

Dan ikan itu baru saja *berenang* menembus sisi bus, dari kiri ke kanan, seolah-olah bus baja itu hanyalah air keruh.

Tidak ada benturan. Tidak ada suara. Tidak ada gesekan.

Ikan spektral itu melayang keluar dari sisi lain bus, berbelok di udara, dan mulai berenang pelan di atas kerumunan orang yang menunggu di halte. Tidak ada seorang pun yang mendongak. Tidak ada seorang pun yang menyadarinya.

Napas Rania tercekat di dadanya. Dia tidak bisa bergerak.

Ikan itu bukan makhluk hidup. Dia tahu itu secara naluriah. Benda itu terbuat dari... *data*. Terbuat dari cahaya yang salah dan pantulan yang tidak seharusnya ada. Benda itu adalah *Gema* hidup.

"Tidak. Tidak. Tidak."

Dia berbalik, ingin lari kembali, tapi ke mana?

Dia memaksa dirinya untuk melihat ke tempat lain. Dia mendongak, ke gedung-gedung pencakar langit di distrik bisnis yang menjulang di kejauhan.

Dan saat itulah realitasnya hancur berkeping-keping.

Itu bukan satu ikan.

Langit adalah sebuah akuarium.

Ratusan. Ribuan. "Ikan Gema" dalam berbagai ukuran berenang di udara pagi. Ada yang kecil-kecil seperti ikan teri, berkerumun di sekitar tiang lampu jalan. Ada yang panjang dan ramping seperti ikan salmon, melesat cepat di antara kabel-kabel listrik.

Dan ada yang raksasa.

Seekor "koi" tembus pandang seukuran gerbong kereta api berenang dengan agung dan lambat di antara dua menara perkantoran, tubuhnya yang spektral menembus lantai-lantai kaca tanpa meninggalkan bekas.

Rania menutup mulutnya dengan kedua tangan untuk menahan jeritan.

Mereka *ada di mana-mana*.

Mereka bukan berenang secara acak. Arsitek di dalam dirinya, bahkan dalam kondisi terornya, bisa melihat polanya.

Mereka mengalir. Seperti air di sungai. Mereka mengikuti "arus" tak terlihat yang dibentuk oleh tata letak kota. Mereka mengalir lebih deras di jalan-jalan utama. Mereka berputar-putar di persimpangan besar. Mereka berkumpul di sekitar bangunan-bangunan tua yang padat, dan tampaknya *menghindari* gedung-gedung kaca baru yang steril.

Mereka mengikuti *denah* kota.

Mereka adalah Gema arsitektural yang hidup, bernapas, dan berenang, dan hanya dia—*hanya dia*—yang bisa melihatnya.

Dia bukan gila.

Dia *terkutuk*.

Ini adalah kebenaran yang jauh, jauh lebih buruk daripada psikosis mana pun. Ini adalah kenyataan.

Toko antik itu. Mangkuk itu. Pak Tua Yusuf. Mereka telah *melakukan* sesuatu padanya. Mereka telah "mengaktifkan"-nya.

Rasa takutnya berubah menjadi kemarahan yang dingin dan membara, tapi kemarahan itu tidak ada gunanya. Dia masih sendirian, telanjang kaki, dan dikelilingi oleh monster-monster tembus pandang yang diabaikan oleh seluruh dunia.

Dia harus pergi ke tempat Reza.

Dia mulai berlari.

Bukan lari cepat, tapi lari kecil yang panik, berusaha terlihat normal. Dia menundukkan kepalanya lagi, tetapi sekarang dia tidak bisa *tidak* melihat.

Dia melihat "ikan" oranye kecil berenang melingkari kaki seorang polisi yang sedang mengatur lalu lintas. Dia melihat sekelompok "gupi" perak melesat menembus dinding kedai kopi.

Dia menabrak seorang pria berjas.

"Hei! Lihat jalanmu, Gembel!" bentak pria itu, membersihkan lengan jasnya seolah-olah Rania telah mengotorinya.

Rania bahkan tidak menjawab. Dia hanya bergumam "maaf" dan terus berjalan, gemetar hebat.

Dia bisa merasakan mereka. Saat salah satu ikan spektral yang lebih kecil berenang terlalu dekat, dia bisa merasakan *dingin*-nya. Dingin yang sama seperti di tokonya Pak Yusuf, dingin yang sama seperti di langit-langitnya. Dingin yang terasa seperti ruang hampa.

Sepuluh blok terasa seperti sepuluh kilometer.

Setiap langkah adalah perjuangan untuk tidak berteriak. Setiap persimpangan adalah ujian untuk tidak berhenti dan menatap koi raksasa yang sedang berenang di atas jembatan penyeberangan.

Dia merasa terasing. Dia merasa seperti hantu di dunianya sendiri. Dia adalah satu-satunya orang yang sadar di tengah kota yang tertidur lelap.

Akhirnya, dia melihatnya. Papan nama "Kopi Titik Koma" yang sudah pudar.

Dia tersandung melewati pintu kayu yang berat itu, bel kuningan di atasnya berdenting parau.

Kafe itu hangat.

Bau kopi robusta yang pekat dan kayu manis langsung menerpanya. Itu adalah bau yang *nyata*. Normal. Musik keroncong instrumental yang menenangkan mengalun pelan dari speaker di sudut.

Reza ada di belakang konter, membelakanginya, sedang menyusun cangkir-cangkir bersih. Kafe baru saja buka. Hanya mereka berdua di sana.

"Tutup, Ra," kata Reza tanpa berbalik. "Buka jam delapan. Kecuali kamu mau bantu aku lap meja."

Rania tidak menjawab. Dia hanya berdiri di dekat pintu, terengah-engah, memeluk dirinya sendiri.

Reza akhirnya menyadari keheningan yang salah itu. Dia berbalik.

Senyum sinis di wajahnya langsung lenyap.

"Astaga, Ra..."

Dia melihat Rania. Pucat pasi seperti mayat. Mata melebar ketakutan. Bibir pecah-pecah. Masih mengenakan piyama. Dan telanjang kaki, telapak kakinya kotor oleh aspal.

"Rania? Kamu... kamu dikejar orang? Kamu dirampok?" Reza melompat dari balik konter, tangannya terulur.

Rania hanya menggelengkan kepalanya. Kata-kata tidak mau keluar. Dia terlalu penuh dengan kengerian.

"Reza..." bisiknya, suaranya pecah.

"Ya, ya, aku di sini. Duduk." Reza membimbingnya ke kursi kayu terdekat, kursi yang sama tempat Rania duduk kemarin.

Rania duduk, tapi dia tidak bisa tenang. Dia menoleh panik ke jendela kafe yang besar, ke jalanan di luar.

Jalanan itu masih penuh dengan mereka. Seekor "ikan" neon seukuran mobil baru saja berbelok di tikungan, sisiknya berkilauan menembus cahaya pagi yang sakit-sakitan.

Rania meraih lengan baju Reza dengan cengkeraman yang kuat, kuku-kukunya menancap.

"Reza... kamu... kamu lihat itu?" tanyanya, suaranya tercekat. Dia menunjuk dengan jari yang gemetar ke luar jendela, ke monster spektral yang baru saja lewat.

Reza mengikuti arah telunjuknya, matanya menyipit. Dia melihat ke jalanan yang ramai. Dia melihat bus. Dia melihat mobil polisi yang sedang berpatroli. Dia melihat orang-orang yang berjalan.

Dia melihat dunia yang normal dan membosankan.

Dia berbalik menatap Rania, kebingungan dan ketakutan yang tulus kini terlihat di matanya.

"Lihat apa, Ra?" tanyanya lembut. "Nggak ada apa-apa di sana. Cuma lalu lintas pagi."

Dan itulah paku terakhir di peti mati kewarasan Rania.

Itu benar.

Hanya dia yang bisa melihat.

Dia sendirian dalam hal ini.

Rania roboh di kursi. Genggamannya di lengan Reza mengendur. Dia menundukkan kepalanya ke atas meja kayu yang dingin dan tergores-gores—satu-satunya benda nyata yang tersisa di dunianya.

"Reza," bisiknya, suaranya kini hampa, semua perlawanan telah terkuras habis.

"Aku dalam masalah besar."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!