Bagi Fahreza Amry, hinaan dan cemoohan ayah mertuanya, menjadi cambuk baginya untuk lebih semangat lagi membahagiakan keluarga kecilnya. Karena itulah ia rela pergi merantau, agar bisa memiliki penghasilan yang lebih baik lagi.
Namun, pengorbanan Reza justru tak menuai hasil membahagiakan sesuai angan-angan, karena Rinjani justru sengaja bermain api di belakangnya.
Rinjani dengan tega mengajukan gugatan perceraian tanpa alasan yang jelas.
Apakah Reza akan menerima keputusan Rinjani begitu saja?
Atau di tengah perjalanannya mencari nafkah, Reza justru bertemu dengan sosok wanita yang pernah ia idamkan saat remaja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moms TZ, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Dhea senang asal bersama Ayah
Farhan terdiam dengan wajah bingung, dan terus bertanya-tanya di dalam hatinya. Ucapan Reza benar-benar mengusik pikirannya. Sayangnya, ketika dia mencoba untuk bertanya lebih lanjut, Reza justru telah memutuskan sambungan teleponnya.
"Aaahh... Sial! Sudah diputus lagi. Apa sih, maksud dia berkata begitu?"
Farhan tampak berpikir sambil menopang dagunya. "Apa dia memata-mataiku selama ini? Aahh... gawat! Bisa kacau semuanya kalau dia sampai tahu," batin Farhan.
"Ada apa, Han? Kamu belum tidur? Ini sudah malam, kamu ngobrol sama siapa?" cecar Bu Haryani pada Farhan.
Wanita itu baru saja dari kamar mandi, tetapi saat melewati kamar anaknya, dia melihat lampu masih menyala. Pendengarannya juga menangkap suara seseorang yang sedang mengobrol.
"Tidak ada, Bu. Aku hanya lagi seru main game. Maaf kalau berisik," seru Farhan dari dalam kamar.
"Ya sudah, cepat kamu tidur!" titah Bu Haryani. "besok ada kerja bakti di lingkungan RT kita. Malu kalau tidak ikut berpartisipasi," beritahunya, kemudian melangkah pergi menuju kamarnya.
"Ck...merepotkan saja. Memangnya wajib ikut kerja bakti?" Farhan berdecih tidak suka.
"Malas sekali aku harus berinteraksi dengan bapak-bapak yang pastinya akan kepo dengan urusan pribadiku," lanjutnya sambil ngedumel.
Farhan tak menghiraukan ucapan ibunya, dia kembali memainkan ponselnya, dan kali ini benar-benar bermain game, entah sampai jam berapa, hingga akhirnya dia ketiduran.
*
Sementara itu, di lain pulau tepatnya di sebuah penginapan sederhana, Reza masih tertawa dengan lebar. Namun, sesaat kemudian dia menghentikan tawanya dan dalam sekejap wajahnya berubah datar.
Reza membaringkan tubuhnya di samping sang anak, tangannya terlipat di bawah kepala sebagai bantalan. Pandangan matanya begitu dingin dan tajam terarah ke atas, seakan menembus langit-langit kamar. Dia seolah sedang berhadapan dengan musuh yang tidak terlihat.
"Kamu yang memulai Farhan. Kamu sudah merampas semuanya dariku tanpa tersisa," gumamnya dengan suara bergetar oleh kemarahan yang terpendam.
"Perhatian dan kasih sayang Bapak sama Ibu, masa mudaku yang hilang karena aku harus bekerja menjadi tulang punggung keluarga." Dia menyeka bulir airmata yang menetes dari sudut matanya.
Reza memejamkan mata, kenangan pahit masa lalu kembali muncul di benaknya. Dia melihat bagaimana adiknya yang selalu berbuat semaunya, tanpa pernah mempertimbangkan perasaannya.
Bahkan, tindakan sang ibu yang selalu mendukungnya, kini tampak begitu jelas di depan matanya, seperti bayangan yang tidak bisa terhapuskan.
Namun, Reza tak pernah mempermasalahkan hal itu, sebab dia selalu beranggapan, bahwa sudah sewajarnya sebagai anak sulung, dia yang menggantikan tanggungjawab ayahnya mencari nafkah.
Akan tetapi, ada satu hal yang tidak bisa Reza relakan. Cintanya yang mendalam kepada Rinjani mengingatkannya pada masa-masa indah ketika Rinjani dengan gigih mengejarnya, hingga akhirnya dia jatuh cinta dan menyerahkan seluruh hatinya. Kini cinta itu telah berubah menjadi luka yang dalam karena pengkhianatan yang menyakitkan.
Rasa sakit hati, kecewa, dan marah masih terpatri di dasar hati Reza, membekas seperti luka yang tak terlihat. Entah kapan waktu akan menyembuhkan luka itu. Ataukah akan ada seseorang yang mampu mengobati lukanya? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.
*
Keesokan harinya, Reza bersama Dhea melanjutkan perjalanan, setelah sebelumnya mengisi perut mereka terlebih dahulu.
"Kita mau ke mana, Ayah?" tanya Dhea ketika mereka akan menaiki bus.
"Kita akan pergi ke perkebunan tempat ayah bekerja, Nak," jawab Reza, sambil mencari tempat duduk untuknya dan Dhea.
"Apa masih jauh dari sini?" tanya Dhea lagi.
"Emmm...lumayan. Kalau Dhea capek boleh tidur," kata Reza.
"Apa Dhea menyesal ikut dengan ayah?" tanyanya kemudian dengan hati-hati.
Dhea menggeleng sambil tersenyum. "Nggak, kok. Dhea senang asal bersama Ayah."
Gadis kecil itu memeluk ayahnya dengan erat. Wajahnya terangkat ke atas, menatap sang ayah dengan sorot matanya yang berbinar.
Reza merasa terharu dan tak mampu berkata, suaranya tercekat di tenggorokan. Dia hanya bisa mengangguk pelan, membalas pelukan anaknya dengan erat, dan mencium pucuk kepala sang anak penuh kasih. Dagunya kemudian menumpu di atas kepala anaknya, seolah menunjukkan bahwa dia sangat menyayangi malaikat kecilnya tersebut.
Perjalanan menuju perkebunan terasa begitu menyenangkan. Ayah dan anak itu terus bercengkerama sambil menikmati pemandangan yang mereka lalui, hingga tak sadar keduanya pun tertidur.
*
Di tempat lain, Bu Haryani dengan sabar berusaha membangunkan Farhan yang masih terlelap. Meskipun jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi dan matahari mulai meninggi, Farhan tetap saja masih tertidur pulas, seolah sengaja mengabaikan himbauan ibunya untuk ikut bekerja bakti.
Bu Haryani merasa kesal, karena usahanya sia-sia. Dia pergi ke dapur untuk mengambil air. Kemudian kembali ke kamar Farhan lalu memercikkan air tersebut ke muka Farhan.
"Hujan-hujan..." Farhan memekik dengan keras disertai wajahnya yang tampak panik.
"Ibu...? Kenapa ada di sini?" tanyanya dengan bingung.
"Kenapa ibu ada di sini? Dari tadi ibu membangunkan kamu, Farhan!" jawab Bu Haryani dengan geram.
"Cepat sana, bangun...! Sarapan, terus ikut kerja bakti," titah Bu Haryani tegas.
"Ibu nggak mau dengar mulut usil tetangga yang ngomongin kamu tidak pernah ikut kerja bakti," tambahnya kemudian.
"Iya-iya, Bu," sahut Farhan.
Dengan berat hati, Farhan keluar kamar menuju ke kamar mandi untuk mencuci muka, guna menghilangkan rasa malas yang masih membelenggunya. Setelah itu, dia sarapan dengan cepat, kemudian pamit pada ibunya untuk pergi ke tempat kerja bakti.
Namun, ketika tiba di sana, dia disambut dengan tatapan datar, bahkan sinis oleh sebagian warga yang ada di sana. Mereka memandangnya dengan tatapan mata yang seakan ingin mengulitinya.
"Hei...Farhan! Kalau tidak berniat ikut kerja bakti, sebaiknya jangan dipaksakan," celetuk salah satu warga yang sudah lama mengenal Farhan.
Suaranya tidak terlalu keras, tetapi cukup membuat Farhan merasa tidak nyaman. Dia menoleh ke arah orang tersebut, mencoba membaca ekspresi wajahnya yang terlihat sedikit sinis. Rupanya kehadirannya sangat tidak disukai di tempat itu.
"Bagaimana bisa Rinjani memilih pria seperti dia daripada Reza? Sangat jauh bagaikan bumi dan langit," celetuk salah satu warga dengan nada sedikit menghina.
Ucapan itu langsung menyulut api emosi Farhan, membuatnya merasa tersinggung dan tidak terima. Wajahnya memerah, dan dia merasa sulit untuk menahan diri agar tidak meledak dalam amarah.
masih mending Sean berduit, lha Farhan?? modal kolorijo 🤢
Siapa yg telpon, ibunya Farhan, Rinjani atau wanita lain lagi ?
Awas aja kalau salah lagi nih/Facepalm/
maap ya ibuu🙈🙈
Rinjani....kamu itu hanya dimanfaatkan Farhan. membuang Reza demi Farhan dan ternyata Farhan sudah mencari mangsa yang lain😂