Guang Lian, jenius fraksi ortodoks, dikhianati keluarganya sendiri dan dibunuh sebelum mencapai puncaknya. Di tempat lain, Mo Long hidup sebagai “sampah klan”—dirundung, dipukul, dan diperlakukan seperti tak bernilai. Saat keduanya kehilangan hidup… nasib menyatukan mereka. Arwah Guang Lian bangkit dalam tubuh Mo Long, memadukan kecerdasan iblis dan luka batin yang tak terhitung. Dari dua tragedi, lahirlah satu sosok: Iblis Surgawi—makhluk yang tak lagi mengenal belas kasihan. Dengan tiga inti kekuatan langka dan tekad membalas semua yang telah merampas hidupnya, ia akan menulis kembali Jianghu dengan darah pengkhianat. Mereka menghancurkan dua kehidupan. Kini satu iblis akan membalas semuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zen Feng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2: MASA LALU DAN AMARAH
Udara pagi di halaman belakang Klan Guang terasa sejuk menusuk kulit. Embun masih menggantung laksana kristal di ujung daun teh, dan sinar matahari yang menyembul dari balik pegunungan menyoroti dua sosok yang tengah berlatih pedang.
Seorang pria berwajah tegas, berjubah putih sederhana namun memancarkan aura wibawa yang menekan, berdiri di depan seorang bocah berusia delapan tahun.
Bocah itu—Guang Lian kecil—menggenggam pedang kayu dengan kedua tangan mungilnya. Keringat sebesar biji jagung menetes di wajahnya, namun matanya berkilat penuh tekad.
"Sekali lagi, Lian’er," ujar sang ayah, Guang Zhi. Suaranya dalam, menuntun sekaligus menguji. "Pedang bukan sekadar besi. Rasakan dia seakan perpanjangan jiwamu."
Guang Lian mengangguk tegas. Ia menarik napas panjang, lalu menebas.
Wush!
Tubuh mungilnya bergerak luwes, jauh melampaui usianya. Tebasan, tusukan, putaran—semuanya dieksekusi dengan presisi mengerikan.
Saat gerakan terakhir selesai, Guang Lian berdiri tegak, terengah.
Guang Zhi tersenyum, lalu menepuk bahu anaknya.
"Bagus, Lian’er. Sangat bagus," pujinya. "Kau diberkati dengan 'Dantian Ganda'—sesuatu yang langka bahkan di seluruh sejarah Jianghu. Tapi ingat, pedang yang tajam bisa tumpul, namun hati yang gigih tak akan pernah patah."
Mendengar itu, dada Guang Lian membusung bangga. Ia bersumpah dalam hati akan menjadi pelindung kebenaran, pedang terkuat bagi Fraksi Ortodoks.
Waktu berlalu cepat bagai anak panah yang melesat.
Di arena latihan Klan Guang, dua sosok remaja berdiri saling berhadapan. Pedang asli kini tergenggam di tangan, memantulkan kilatan matahari sore.
Guang Lian, enam belas tahun, berhadapan dengan kakaknya, Guang Wei, yang dua tahun lebih tua.
"Lian’er, kali ini aku tidak akan kalah!" seru Guang Wei. Matanya menyala, namun ada jejak iri yang tersembunyi di sana.
Ia maju dengan langkah kilat, pedangnya menebas diagonal.
Trang!
Guang Lian menangkis dengan gerakan elegan. Benturan logam menciptakan percikan api. Qi putih keemasan milik Guang Lian menabrak Qi perak milik kakaknya.
BOOM!
Gelombang angin menyebar, menerbangkan debu di sekitar arena.
Srak! Srak! Srak!
Keduanya bertukar jurus. Namun, dalam sekejap mata, Guang Lian menemukan celah setipis rambut. Dengan sentakan pergelangan tangan, ia menangkis sekaligus memutar pedang kakaknya hingga terlepas.
Pedang Guang Wei terlempar, menancap di tanah.
Ujung pedang Guang Lian berhenti tepat satu inci di leher kakaknya.
Guang Wei tertegun, napasnya memburu. Ia menunduk, wajahnya menggelap. "Selalu saja begitu… Bagaimana mungkin aku bisa mengalahkan monster dengan dua dantian?"
Guang Lian tersenyum tulus, mengulurkan tangan. "Kakak, kau adalah lawan terbaikku. Tanpa kau, aku tidak akan sekuat ini."
Guang Wei mendengus, menyambut uluran tangan itu. "Kau selalu sok bijak. Suatu hari nanti, aku pasti akan membuatmu berlutut, Adik."
Mereka tertawa. Namun saat itu, Guang Lian tidak menyadari bahwa tawa kakaknya tidak mencapai matanya.
Tahun-tahun berikutnya adalah masa keemasan.
Guang Lian berdiri di tengah lautan api di Aula Perguruan Wudang. Asap hitam mengepul, bercampur dengan jeritan murid-murid yang dibantai oleh Kultus Iblis Surgawi.
Seorang Tetua Iblis berambut jingga dengan sabit raksasa melangkah maju, memancarkan aura kematian.
"Serahkan Ketua Wudang atau kuremukkan tempat ini!"
Guang Lian, dengan jubah putih bersihnya, melangkah maju. "Selama aku bernapas, kaki kotor kalian takkan menodai Wudang."
Pertarungan meletus.
Dan hari itu, nama Guang Lian mengguncang dunia persilatan. Ia menebas Tetua Iblis itu, menyelamatkan Wudang, dan dinobatkan sebagai 'Pahlawan Muda Ortodoks'.
Kejayaan, kehormatan, dan cinta datang padanya. Ia bahkan telah meminang putri Ketua Sekte Gunung Hua, wanita tercantik di dunia persilatan. Masa depannya cerah, bersinar layaknya matahari.
Hingga malam itu tiba.
Malam jahanam di altar Gunung Hua.
"Aku… Aku yang menyelamatkan kalian… Dan ini balasan kalian?!"
Teriakan Guang Lian pecah di tengah hujan. Di hadapannya, orang-orang yang ia lindungi kini menatapnya dengan senyum iblis.
Jleb!
Rasa dingin menembus lehernya. Ia tak sempat berbalik, tapi ia tahu siapa yang menebasnya.
"Maaf, adikku. Tapi hanya ada satu pewaris bagi Klan Guang."
Dunia menjadi gelap.
"HAAH!"
Mo Long terperanjat bangun. Tubuhnya menegang, keringat dingin membasahi sekujur tubuh.
Napasnya memburu seperti orang tenggelam yang baru mencapai permukaan. Tangan kanannya refleks mencengkeram ujung dipan kayu tempat ia duduk.
KRAK!
Kayu keras itu remuk dalam cengkeramannya, serpihannya menusuk telapak tangan, tapi ia tidak merasakan sakit.
Rasa sakit di hatinya jauh lebih besar.
"Guang Wei... Ayah..." desisnya. Amarah itu masih mendidih, membakar rongga dadanya.
Ia menoleh cepat, menangkap bayangan di cermin tua yang retak di sudut kamar.
Bukan wajah tampan Guang Lian yang ia lihat. Melainkan wajah remaja asing. Rambut panjang bergelombang, kulit kuning langsat, dan rahang yang belum tegas.
Ia meraba pipinya sendiri. "Ini… siapa aku sekarang?"
Hening.
Perlahan, detak jantungnya mulai melambat. Logikanya kembali bekerja. Ia bukan lagi Guang Lian si Malaikat. Ia adalah Mo Long.
Mo Long turun dari tempat tidur, berdiri di depan cermin. Ia mengamati tubuh barunya dengan kritis.
"Tidak buruk," gumamnya sambil meraba otot lengan dan perut yang padat. "Bocah ini... dia berlatih seperti orang gila."
Tubuh ini penuh bekas luka. Bukan luka penyiksaan biasa, tapi luka akibat latihan fisik yang ekstrem. Mengangkat batu, memukul pohon, berlari di badai.
"Fisik bocah ini jauh di atas rata-rata anak seusianya. Pantas saja aku bisa menghajar tiga curut tadi hanya dengan tenaga murni tanpa Qi."
Namun senyumnya memudar saat ia mencoba memanggil energinya.
Nihil. Kosong melompong.
"Kenapa bocah ini tidak memiliki Qi sedikitpun?" Mo Long menekan titik di atas pusarnya—Dantian. "Apa Dantian-nya rusak? Atau cacat lahir?"
Ia kembali duduk di tepi tempat tidur, mendongak menatap langit-langit kamar yang kusam.
Matanya terpaku pada sebuah lukisan usang di balok kayu langit-langit. Sebuah simbol naga hitam yang meliuk vertikal.
"Naga Hitam..." Ia terkekeh sinis. "Klan Naga Bayangan. Salah satu klan dari aliran hitam."
Tawanya makin keras, memenuhi ruangan kecil itu.
"Ironis. Dulu aku Malaikat Ortodoks pembasmi kejahatan, sekarang aku terlahir kembali di sarang penjahat yang paling aku benci."
Ia mengepalkan tinju ke udara. "Tapi ini sempurna. Langit memberiku kesempatan kedua. Guang Lian yang naif sudah mati. Mo Long akan membalas dendam dengan cara iblis!"
Pandangannya kemudian jatuh pada buku curian yang ia selipkan di balik tikar.
"Bocah ini nekat melakukan ritual pemanggilan jiwa karena buku ini. Apa isinya?"
Mo Long mengambil buku tua berjudul 'Teknik Kultivasi Ekstrem' itu. Sampulnya terbuat dari kulit binatang buas yang sudah mengeras.
Ia membalik halaman demi halaman. Alisnya perlahan bertaut.
"Teknik Cakar Hantu... Napas Iblis Darah... Langkah Bayangan Bulan..."
Jantungnya berdegup kencang.
Ini bukan sekadar teknik aliran sesat biasa. Nama-nama ini... Sekte Iblis Darah, Lembah Hantu, Klan Bulan. Ini adalah nama-nama sekte yang pernah ia hancurkan di masa lalu!
Dan di halaman terakhir, matanya membelalak lebar.
"Ini..." Mulutnya menganga tak percaya. Tulisan di halaman itu adalah sesuatu yang sangat ia kenal. Sesuatu yang seharusnya sudah musnah.
TOK! TOK! TOK!
Suara ketukan pintu membuyarkan konsentrasinya. Mo Long dengan cepat menutup buku itu dan menyembunyikannya kembali.
"Tuan Muda!" suara perempuan terdengar cemas dari luar.
Mo Long membuka pintu. Sesosok gadis pelayan berdiri di sana. Tubuhnya mungil, wajahnya manis namun pucat ketakutan. Min Mao. Satu-satunya orang yang peduli pada Mo Long yang asli.
"Tuan Muda, Ketua Klan mencarimu," ucap Min Mao dengan suara bergetar.
Mo Long menatapnya datar. "Kenapa?"
"S-saya tidak tahu pasti, Tuan. Tapi beliau memerintahkan Tuan Muda segera menghadap ke Balai Leluhur." Min Mao menelan ludah, matanya melirik cemas ke dalam kamar. "Dan... membawa buku yang Tuan ambil."
Mo Long menyipitkan mata. "Aku akan mandi dulu."
"Jangan, Tuan!" Min Mao refleks menahan pintu. "Ketua Klan... ayahmu... sedang sangat marah. Sebaiknya Tuan segera ke sana."
Mo Long terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Baiklah."
Saat mereka berjalan menyusuri lorong batu yang dingin, Mo Long tiba-tiba bertanya.
"Min Mao, siapa pemimpin Fraksi Ortodoks sekarang?"
Min Mao terkejut dengan pertanyaan acak itu. "Eh? Tentu saja Tuan Besar Guang Zhi."
"Guang Zhi..." Mo Long tersenyum tipis. Senyum yang membuat bulu kuduk Min Mao meremang. "Bagus. Aku masih di zaman yang sama."
Langkah mereka sampai di depan gerbang kayu hitam yang menjulang tinggi. Balai Leluhur. Tempat paling sakral di Klan Naga Bayangan.
"Tuan Muda," bisik Min Mao sebelum Mo Long melangkah masuk. "Jika Tuan memang tidak bersalah... tolong memohonlah. Jangan melawan. Ayahmu sedang..."
Mo Long hanya menepuk pelan puncak kepala gadis itu, lalu mendorong pintu gerbang.
KRIET.
Suasana di dalam Balai Leluhur begitu berat. Lantai marmer hitam memantulkan cahaya obor yang bergoyang-goyang seperti lidah api neraka.
Di ujung aula, di atas singgasana batu berukir naga, duduk seorang pria paruh baya yang memancarkan aura mengerikan.
Mo Han. Patriark Klan Naga Bayangan. Ayah kandung tubuh ini.
Tubuhnya kekar, janggut hitam menghiasi rahangnya yang keras, dan ada bekas luka memanjang di pelipis kirinya. Matanya tajam seperti elang yang menatap mangsa.
Di bawahnya, duduk tiga Tetua Klan dengan wajah merah padam menahan amarah.
Mo Long berjalan dengan tenang ke tengah ruangan. Tidak ada ketakutan, tidak ada keraguan. Langkah kakinya mantap, seolah dia adalah raja yang memasuki istananya sendiri, bukan seorang pesakitan yang akan diadili.
"Cepatlah berlutut!" bentak seorang Tetua wanita.
Mo Long berhenti. Ia tidak berlutut. Ia hanya menangkupkan tangan di depan dada (Gongshou) dan menunduk sedikit—penghormatan minimal sesama pendekar, bukan penghormatan anak pada ayah.
"Salam Pemimpin Klan Naga Bayangan."
Suaranya lantang dan stabil, menggema di aula yang sunyi.
Mo Han tidak bergeming. Ia menatap putranya dengan tatapan menyelidik. Ada yang berbeda dengan bocah sampah ini hari ini.
"Apa benar..." suara Mo Han berat, menggetarkan dada. "...kau telah memukuli Mo Fei, Mo Shou, dan Mo Hu hingga setengah mati?"
Suasana mendadak mencekam. Tekanan Qi dari Mo Han memenuhi ruangan, mencoba menekan mental Mo Long.
Namun Mo Long justru mengangkat wajahnya. Ia menatap lurus tepat ke manik mata ayahnya—sebuah tindakan yang dianggap sangat kurang ajar.
Sudut bibirnya terangkat sedikit.
"Iya. Benar. Aku yang menghajar mereka."
Jangan lupa like dan subscribe apabila kalian menikmati novelku 😁😁