NovelToon NovelToon
Wajah Polos Penuh Jiwa Gelap

Wajah Polos Penuh Jiwa Gelap

Status: sedang berlangsung
Genre:Dikelilingi wanita cantik / Perperangan / Identitas Tersembunyi / Action / Mafia / Romansa
Popularitas:943
Nilai: 5
Nama Author: Komang basir

Arga adalah remaja SMA yang selalu terlihat ramah dan polos, bahkan dikenal sebagai kuli pikul yang tekun di pasar tiap harinya. Namun di balik senyumnya yang tulus, Arga menyimpan rahasia kelam yang hanya diketahui sedikit orang. Ia diam-diam menyelidiki siapa dalang pembantaian keluarganya yang tragis, terbakar oleh tekad balas dendam yang membara. Perjalanan mencari kebenaran itu membawanya bertemu dua gadis tangguh bernama Kinan dan Keysha, yang ternyata juga anak-anak mafia dari keluarga besar yang menyamar sebagai murid SMA biasa namun tetap memiliki jiwa petarung yang kuat di sekolah. Bersama ketiganya, kisah penuh intrik, persahabatan, dan konflik berseteru di dunia gelap mafia pun dimulai, menyingkap tabir rahasia yang tersembunyi jauh di balik wajah polos mereka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komang basir, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

harta jadi patokan

Di tengah malam saat Arga sudah tertidur lelap, pintu kamarnya terbuka perlahan. Langkah ringan seorang wanita terdengar memasuki ruangan yang remang-remang.

“Ar… bangun,” bisik Rindi pelan, suara lembutnya nyaris tertelan sunyi malam.

Ia berjalan mendekati tempat tidur, membawa sepiring nasi hangat lengkap dengan lauk sederhana yang dibungkus kain tipis. Ia meletakkannya hati-hati di samping tempat tidur, lalu perlahan menggoyang tubuh Arga yang masih terlelap.

Arga menggeliat kecil, kelopak matanya bergetar sebelum perlahan terbuka.

“Hm… Rindi?” gumamnya setengah sadar.

“Maaf ganggu tidurmu… tapi aku tahu kamu belum makan apa-apa dari tadi,” ucap Rindi sambil menunduk, suaranya seperti takut terdengar oleh penghuni rumah lainnya.

Arga menatap piring di sampingnya, lalu kembali menatap wajah Rindi yang tampak tulus namun cemas.

“Kenapa kamu ngelakuin ini buat aku?” tanya Arga pelan, duduk bersandar sambil mengusap matanya yang masih berat.

“Karena aku tahu kamu capek, Ar. Dan… nggak ada satu orang pun di rumah ini yang mikirin kamu, kecuali aku,” jawab Rindi lirih, hampir seperti berbisik.

Arga menatap Rindi lama, senyuman kecil mengembang di wajah lelahnya.

“Terima kasih… kamu satu-satunya alasan aku masih bisa tahan tinggal di rumah ini,” ucapnya tulus.

Rindi tersenyum tipis, tapi di matanya tampak genangan air yang ia tahan kuat-kuat.

“Cepat dimakan, sebelum dingin,” katanya, berbalik hendak pergi.

Namun sebelum Rindi sempat keluar, Arga berkata, “Rin…”

Langkah Rindi terhenti.

“Lain kali enggak usah kamu lakukan ini lagi… nanti takutnya kamu kena marah,” ucap Arga pelan, menahan rasa bersalah. Matanya menatap Rindi dengan rasa khawatir yang tak bisa ia sembunyikan.

Rindi hanya tersenyum. Senyum tipis yang penuh ketabahan, lalu berbalik dan berjalan keluar. Sebelum pintu tertutup, ia menatap Arga sekali lagi — tatapan penuh pengertian, seolah berkata, “Aku tahu rasa sakitmu, dan aku tetap di sini.”

Klik.

Pintu kamar tertutup perlahan, menyisakan kesunyian yang hanya terdengar detak jam di dinding.

Arga menatap piring nasi di hadapannya. Bau hangat dan sederhana itu seakan mengingatkannya pada satu-satunya bentuk kasih sayang yang masih tersisa di hidupnya.

Tanpa ragu, ia mulai menyantap makanan itu dengan lahap, seakan setiap suapan adalah bentuk perlawanan terhadap kelaparan... dan dunia yang terus menekannya.

Sendok terakhir dia masukkan ke mulut, lalu ia letakkan piring itu ke lantai. Nafasnya berat. Matanya menerawang ke langit-langit kamar yang usang.

“Aku janji, Ndri…” ucapnya, pelan namun menggema dalam kesunyian kamar.

Wajahnya mengeras, matanya penuh bara dendam.

“Hanya kamu yang akan tersisa suatu hari nanti… dan mereka semua akan menyesal.”

Tangannya mengepal, giginya mengatup. Di balik ketenangan malam itu, ada badai yang sedang tumbuh di dalam dirinya. Dan ketika waktunya tiba... tak ada seorang pun yang bisa menghalanginya.

Ke esokan di pagi harinya, Arga bangun seperti biasa. Tanpa ekspresi, dia merapikan tempat tidurnya, mengambil handuk, dan berjalan menuju kamar mandi. Tak ada semangat, hanya rutinitas yang dijalani seperti kewajiban yang tak bisa dihindari.

Setelah bersih dan rapi dengan seragam sekolah yang baru dia beli kemarin sore, Arga kembali ke kamarnya, mengambil tas usang yang tergantung di balik pintu. Ia kemudian membuka pintu kamar perlahan dan melangkah keluar menuju ruang makan.

Di sana sudah duduk Bagas, istrinya bagas, dan rIndri. Aroma nasi goreng tercium dari atas meja. Namun Arga melangkah begitu saja ke arah pintu keluar, tanpa sepatah kata pun. Dia bahkan tak menoleh sedikit pun ke arah meja makan.

Bagas melirik sekilas, lalu kembali menunduk ke piringnya dengan senyum sinis.

"Ar, sini ikut kami makan," ucap rIndri pelan, berdiri dari duduknya dengan wajah khawatir.

Arga sempat berhenti sejenak di ambang pintu, menoleh dengan senyum tipis yang lebih mirip luka daripada sapaan, lalu melangkah pergi meninggalkan mereka.

"Jangan sok baik. Sudah, cepat habisin nasi mu. Jangan pedulikan dia," ucap Bagas dengan nada dingin kepada Rindi yang tampak ingin berbuat baik sama arga.

Rindi menatap piringnya, namun tangannya berhenti menyendok. Suasana meja makan terasa membeku. Perlahan, ia memberanikan diri berbicara meskipun ada nada getir yang terdengar dalam suaranya.

"Kenapa ayah bersifat seperti itu sama dia? Padahal dia itu... anak dari saudara ayah sendiri," ucap Rindi penuh ketakutan, suara kecilnya seperti menusuk diam yang tebal di ruangan itu.

Bagas berhenti makan. Dia meletakkan sendoknya perlahan dan menatap Rindi, tapi tidak dengan sorotan tajam. Justru datar. Kosong.

"Asal kamu tahu, tidak ada untungnya baik sama dia. Lagian, harga ayahnya sudah habis, dan dia itu... kini miskin," jawab Bagas tanpa beban, seolah pernyataannya adalah fakta yang tak perlu dibantah.

rIndri yang duduk di samping ibunya kini hanya bisa menunduk menunduk, menatap meja. Tapi ia menoleh kembali menatap ayahnya lagi, matanya bergetar.

"Tapi yah... dulu ayah sering dibantu sama ayahnya Arga. Dan dulu juga... waktu baru ayahnya Arga meninggal, ayah itu baik sama dia. Tapi... kenapa sekarang berubah?"

Bagas menghela napas, lalu mengusap mulutnya dengan tisu.

"Sudah ayah bilang. Dia itu miskin. Dulu ayah kira, masih ada harta yang bisa ditinggalin. Tapi ternyata, nol. Ayah nggak mau buang waktu dan tenaga buat orang yang nggak punya masa depan," jawab Bagas dengan nada mulai meninggi.

Rindi menunduk. Tangannya mengepal di bawah meja.

Di luar rumah, Arga menunduk sambil berjalan menyusuri gang kecil, melewati deretan rumah dan suara ayam pagi. Tapi bukan itu yang mengganggunya. Yang menusuk jauh lebih dalam adalah suara-suara di dalam rumah yang selalu ia dengar, tapi pura-pura tak paham.

Arga terus melangkah di pinggir jalan. Tak ada angkutan umum yang lewat pagi itu, hanya suara sepatu lusuhnya yang sesekali beradu dengan kerikil.

Hampir setengah perjalanan menuju sekolah, suara motor terdengar dari belakang, lalu berhenti di sampingnya.

"Ar, kenapa kamu enggak tunggu aku sih? Sini naik," ucap Rindi, menoleh sambil tersenyum.

Arga membalas dengan senyum manis. Baru saja ia hendak naik, matanya menangkap sosok Bagas di kejauhan—mengendarai motornya, melaju perlahan seperti biasa, tapi tatapannya tajam mengarah langsung ke Arga.

Sekilas saja cukup. Sorot mata itu seakan berkata: “Jangan coba-coba.”

Raut wajah Arga berubah sesaat. Ia mundur.

"Ayo buruan," kata Rindi lagi, belum sadar ayahnya barusan lewat.

Namun Arga hanya tersenyum kecil. "Kamu lanjut aja, Ndri. Aku jalan kaki biar sehat," katanya ringan, seolah tak ada apa-apa.

Rindi mengerutkan kening, bingung. Ia menoleh ke sekitar, mencari sesuatu—atau seseorang—yang membuat Arga berubah pikiran. Tapi tak ada siapa-siapa. Hanya kendaraan berlalu-lalang seperti biasa.

"Kamu kenapa sih, Ar? Sini naik aja, cepetan," ujarnya lagi sambil menepuk jok motor.

Namun Arga tetap diam, lalu kembali melangkah, membiarkan langkah kakinya berbicara lebih banyak dari kata-kata.

Rindi menghela napas pelan, lalu kembali menyalakan motornya. Tapi bukannya tancap gas, ia justru mengikuti pelan di belakang Arga—roda motornya menyusuri aspal seirama dengan langkah kaki pemuda itu.

"Arga, serius deh... kamu kenapa sih?" tanyanya lirih, suara mesinnya nyaris kalah dengan suara hatinya yang resah.

Arga hanya melirik sekilas ke belakang, lalu menoleh ke depan lagi. "Aku enggak apa-apa, Ndri... beneran," ujarnya ringan, tapi matanya tak mampu sepenuhnya menyembunyikan gundah.

"Kamu ngelindur ya? Udah tahu kita telat, masa kamu masih pengen jalan kaki?"

Langkah Arga tetap stabil. Tak terlalu cepat, tapi juga tak melambat.

"Aku suka jalan pagi," jawabnya, berusaha terdengar riang, meski ada sesuatu di dalam dirinya yang bergejolak. "Anginnya sejuk."

"Angin sejuk apanya... ini panas, Ar." Nada suara Rindi mulai berubah, ada kesal yang diselimuti cemas. "Atau... kamu marah sama aku?"

Arga langsung berhenti. Ia menoleh, menatap Rindi dengan lembut.

"Bukan, bukan gitu. Aku nggak pernah marah sama kamu. Justru..." Ia diam sejenak, menahan kalimat yang ingin keluar tapi ditahan logika.

Rindi menatapnya, berusaha membaca isi hatinya dari sorot mata.

"Kalau gitu naiklah, yuk. Kita bareng aja kayak biasa."

Arga tersenyum tipis, lalu menggeleng pelan. "Kadang... ada hal yang enggak bisa dijelasin, Ndri. Tapi yang pasti, aku enggak mau kamu kena masalah... cuma gara-gara aku."

Rindi semakin bingung. "Masalah apa sih? Siapa yang bisa nyalahin aku cuma karena boncengin kamu?"

"Sudah ya, kamu duluan. Aku nyusul," katanya sambil melangkah lagi, meninggalkan Rindi dengan hati yang makin penuh tanya.

Rindi hanya bisa menatap punggung Arga yang menjauh perlahan. Ada sesuatu yang jelas disembunyikan. Dan Rindi tahu… itu bukan sekadar soal jalan kaki.

"Ya udah kalau gitu," ucap Rindi pelan, menyerah, lalu mengendarai motornya perlahan, tetap berada di belakang Arga.

Meski tak sepatah kata pun lagi terucap di antara mereka, kehadiran Rindi di belakang seperti bayangan yang setia. Arga tetap berjalan kaki, sementara Rindi mengiringinya dengan motor, tak ingin meninggalkannya sendiri meski hatinya dipenuhi tanda tanya.

Langit mulai terik. Jalanan sedikit lengang, tapi waktu terus bergerak cepat.

Sesampainya di depan gerbang sekolah, denting bel berbunyi nyaring—pertanda pelajaran segera dimulai.

"Pak, tunggu! Tunggu dulu!" seru Arga, mendadak berlari kencang saat melihat gerbang mulai ditarik ke samping oleh satpam.

Rindi yang kaget spontan tancap gas, mengikuti di belakangnya.

"Pak! Bentar, masih ada yang belum masuk!" teriak Rindi dari atas motor, berusaha menyalip Arga yang berlari di sisi trotoar.

Satpam berseragam biru tua itu mendengus, satu tangan memegang pintu gerbang besi yang mulai tertutup. "Cepetan, ini udah siang! Tanggung jawab kalian sendiri kalau telat!"

Arga mempercepat larinya, keringat mulai membasahi pelipisnya. Rindi melaju di sampingnya, tak kalah panik.

Dalam sepersekian detik sebelum gerbang benar-benar tertutup, Arga berhasil menyelip masuk terlebih dulu. Beberapa langkah di belakangnya, Rindi dengan cekatan memiringkan setangnya, memaksa motornya menyelinap dari celah sempit.

Brak!

Standar motornya sedikit menyeret lantai saat berhasil lolos. Satpam berdecak kesal, tapi tak jadi memarahi mereka. Hanya menatap keduanya dengan gelengan kepala.

1
Corina M Susahlibuh
lanjut dong cerita nya Thor
nunggu banget nih lanjutannya
tukang karang: terimakasih atas penantian nya dan juga komen nya, bab apdet setiap hari kak di jam 12 siang🙏🙏
total 1 replies
Aixaming
Bener-bener rekomendasi banget buat penggemar genre ini.
tukang karang: makasi kak, maaf aku baru pemula🙏🙏
total 1 replies
Celia Luis Huamani
Wah, seru banget nih ceritanya, THOR! Lanjutkan semangatmu!
tukang karang: siap, bantu suport ya🙏🙏🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!