Di balik kemewahan rumah Tiyas, tersembunyi kehampaan pernikahan yang telah lama retak. Rizal menjalani sepuluh tahun tanpa kehangatan, hingga kehadiran Hayu—sahabat lama Tiyas yang bekerja di rumah mereka—memberinya kembali rasa dimengerti. Saat Tiyas, yang sibuk dengan kehidupan sosial dan lelaki lain, menantang Rizal untuk menceraikannya, luka hati yang terabaikan pun pecah. Rizal memilih pergi dan menikahi Hayu, memulai hidup baru yang sederhana namun tulus. Berbulan-bulan kemudian, Tiyas kembali dengan penyesalan, hanya untuk menemukan bahwa kesempatan itu telah hilang; yang menunggunya hanyalah surat perceraian yang pernah ia minta sendiri. Keputusan yang mengubah hidup mereka selamanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Jam menunjukkan pukul tujuh malam dan Rizal baru saja sampai di rumah.
Ia keluar dari mobil dan langsung disambut oleh pemandangan yang tak biasa di rumahnya.
Pesta persiapan, tim dekorasi masih sibuk memasang rangkaian bunga-bunga segar bernuansa putih dan hijau lembut di ruang tamu.
Kabel-kabel lampu peri menggantung indah di teras, menciptakan suasana magis.
Rizal tersenyum puas saat melihat hasil kerja Riska yang cekatan.
Semuanya berjalan sesuai rencana gila yang ia buat.
Ia masuk ke dalam dan menaruh tas kerjanya di sofa.
Beberapa anggota tim dekorasi menyapa dan memberi selamat padanya, tetapi Rizal hanya mengangguk sopan, pandangannya langsung mencari sosok Hayu.
Rizal tidak melihat keberadaan calon istrinya dan saat akan melangkahkan kakinya, ia melihat Hayu yang sedang memasak sop ayam.
Rizal berjalan menghampiri dan langsung memeluknya dari belakang.
"Mas Rizal..." ucap Hayu sedikit terkejut ketika Rizal memeluknya dari belakang.
Riza mencium leher Hayu yang masih memasak sop ayam.
"Kenapa calon pengantin masih memasak? tanya Rizal.
Hayu mematikan kompor dan membalikkan tubuhnya.
"Karena aku ingin calon suamiku makan malam dengan masakan ku." jawab Hayu.
Rizal menggandeng tangan Hayu dan memintanya untuk duduk di kursi makan.
"Biar aku saja yang menyiapkan semuanya, sayang."
Rizal mengambil mangkuk dan memasukkan sop ayam yang sudah disiapkan oleh calon istrinya.
Rizal menaruh mangkuk sop ayam yang mengepul di hadapan Hayu. Ia mengambil piring nasi dan duduk di seberang Hayu.
“Silakan dicoba, Sayang,” goda Rizal.
Hayu tersenyum tipis saat mendengar jawaban dari Rizal.
Kemudian Hayu mengajak Rizal untuk makan malam bersama.
"Masakan kamu selalu enak, Yu. Dan ini alasan aku sangat mencintaimu." puji Rizal.
Pipi Hayu langsung memerah seperti kepiting rebus ketika mendengar calon suaminya yang memujinya secara berlebihan.
Setelah menghabiskan makan malam Sop Ayam yang lezat, Rizal dan Hayu bangkit dari kursi.
Hayu hendak mengambil mangkuk dan piring kotor, tetapi Rizal segera menahan tangannya.
“Tidak, Sayang. Malam ini kamu benar-benar harus istirahat total. Biar urusan dapur ini biar Mas yang selesaikan,” ucap Rizal lembut sambil meletakkan piring-piring itu di wastafel.
“Tapi, Mas...”
“Ssttt... Dengarkan aku. Ada yang lebih penting yang harus kita lakukan sekarang,” potong Rizal sambil menggenggam tangan Hayu, dan membawanya berjalan pelan, menjauhi keramaian tim wedding organizer yang masih sibuk di ruang tamu.
Langkah mereka berhenti tepat di depan pintu kamar utama dimana kamar yang selama ini menjadi kamar Rizal dan Tiyas.
Hayu sempat menatap pintu itu dengan ragu, jantungnya kembali berdebar kencang.
“Mulai malam ini, kamu akan tidur di sini,” bisik Rizal, suaranya mengandung janji.
Hayu menatap Rizal dengan tatapan cemas.
“M-Mas Rizal, tapi ini kamar Ibu Tiyas...”
Rizal tersenyum tipis, membuka pintu kamar yang mewah dan luas itu.
Dia menuntun Hayu masuk ke dalam. Kamar itu memancarkan aura kemewahan dari perabotannya, namun kini terasa ada kehangatan yang baru, seolah menyambut penghuni baru.
“Aku tahu ini berat, Sayang. Tapi besok, kamar ini akan menjadi kamar kita, tempat kita memulai segalanya. Lagipula, kamar tamu sedang dipenuhi barang-barang WO. Ranjang itu terlalu besar untuk kamu tidur sendirian, Yu,” jelas Rizal.
“Aku ingin kamu tidur di ranjang ini, di tempat yang layak untuk calon Ratu di rumah ini.”
Hayu menoleh ke ranjang berukuran king size yang tertata rapi.
“Lalu, Mas Rizal tidur di mana?” tanya Hayu dengan wajah khawatir.
Rizal berjalan ke sudut kamar dan menunjuk sofa panjang di dekat jendela.
“Aku? Aku akan tidur di sofa ini. Sofa ini cukup nyaman, kok.”
Hayu menggelengkan kepalanya saat mendengar perkataan dari Rizal.
“Mas, tidak perlu seperti itu. Biar aku saja yang tidur di sofa. Aku sudah terbiasa tidur di tempat yang tidak nyaman,” protes Hayu.
Rizal menggelengkan kepalanya dan mendekati Hayu sambil memegang kedua tangannya erat.
“Tidak, Sayang. Kamu harus istirahat di ranjang. Aku tidak akan menyentuhmu sebelum kita sah di mata agama dan negara. Aku ingin pernikahan kita suci, Yu. Aku ingin menghargai ketulusan dan pengorbananmu.”
Rizal menarik napas dan melanjutkannya dengan suara yang lebih lembut.
“Kamu tidak perlu takut. Aku hanya ingin kamu merasa nyaman dan aman. Setelah semua yang kita lalui, aku tidak mau ada keraguan sedikitpun di hatimu.”
Hayu meneteskan air matanya saat mendengar janji dan ketulusan Rizal yang begitu besar membuatnya terharu. Ia merasa dihargai dan dilindungi.
“Terima kasih, Mas.”
Rizal mencium lembut kening Hayu sekali lagi, memastikan janji itu tersampaikan.
“Sekarang, tidurlah. Aku akan menyiapkan bantal dan selimutku di sofa. Selamat malam, Sayang. Selamat beristirahat.”
Rizal membiarkan Hayu sendirian di ranjang empuk itu, memberinya ruang untuk mencerna semua keajaiban yang terjadi dalam hidupnya.
Hayu membaringkan tubuhnya di ranjang itu. Meskipun ranjang itu sangat empuk, matanya belum bisa terpejam.
Sementara itu, Rizal mengambil bantal dan selimut, lalu merebahkan dirinya di sofa panjang.
Mereka berdua saling pandang dan tersenyum kecil.
"Tidurlah, sayang. Besok kita akan bangun kesiangan jika kita saling pandang seperti ini," ucap Rizal.
Hayu tersenyum kecil dan ia mencoba untuk memejamkan matanya.
Rizal yang melihatnya juga ikut memejamkan matanya.
Detik demi detik berganti dan jam menunjukkan pukul empat pagi.
Rizal membuka matanya dan melihat Hayu yang masih tertidur pulas.
Ia bangkit dari sofa dan berjalan ke arah tempat tidur.
"Sayang, selamat pagi. Ayo lekas bangun. Pagi ini kita akan menikah."
Hayu perlahan membuka matanya dan ia melihat siluet Rizal yang berdiri di samping ranjangnya.
Sejenak ia lupa di mana ia berada, namun pandangannya jatuh pada cincin emas putih yang melingkari jari manisnya, dan semua ingatan kembali.
"Mas..." lirih Hayu.
Rizal mencondongkan tubuhnya, menangkup wajah Hayu dengan kedua tangan.
Ia mengecup kening Hayu yanh baru saja membuka matanya.
"Selamat pagi, calon istriku. Malam ini, ranjang ini akan menjadi milik kita seutuhnya," bisik Rizal setelah melepaskan ciumannya.
Pipi Hayu memerah dan ia merasakan detak jantungnya kembali berpacu kencang.
Hari besar yang sangat mendadak ini akhirnya tiba.
"A-aku segera mandi, Mas," ucap Hayu yang salah tingkah.
Rizal tersenyum kecil saat mendengar perkataan dari Hayu.
"Pergilah. Kamu harus terlihat paling cantik pagi ini. Setelah itu, kita akan menikah."
Hayu segera bangkit dari ranjang, merasakan kakinya sedikit gemetar.
Ia mengambil handuk dan melangkah menuju kamar mandi, mencoba menenangkan diri dan meyakinkan hatinya bahwa ini bukanlah mimpi.
Sementara Hayu membersihkan diri, Rizal bergegas ke kamar mandi dalam di kamar tamu untuknya sendiri.
Ia ingin memastikan semuanya berjalan sempurna, terutama untuk Hayu.
Tepat pukul lima pagi, sebelum Rizal selesai mengenakan kemeja putihnya, terdengar ketukan pelan dari luar pintu kamar utama.
Tok... tok...
"Mas Rizal? Kami dari tim MUA dan hairdo sudah siap," terdengar suara Desi, manajer WO.
Rizal segera merapikan pakaiannya dan membuka pintu kamar utama, memastikan Hayu sudah berada di dalam kamar mandi.
"Pagi, Desi. Terima kasih sudah datang sepagi ini," sapa Rizal.
Ia melangkah keluar dari kamar, menutup pintu di belakangnya dengan hati-hati.
"Kami profesional, Pak. Semua harus on-time," jawab Desi.
"Silakan, masuk. Kalian bisa menggunakan kamar ini. Peralatan kalian sudah disiapkan di sana."
Rizal mengangguk dan menoleh kembali ke pintu.
"Tolong, siapkan calon istri saya dengan sempurna, ya. Saya keluar dulu dan mengecek kesiapan penghulu dan saksi. Kita punya waktu dua jam sebelum akad dimulai. Pastikan Hayu Deswita adalah pengantin tercantik yang pernah kalian rias."
"Siap, Pak Rizal! Serahkan pada kami!" jawab Desi dengan antusias.
Rizal tersenyum lega dan berjalan meninggalkan area kamar, memberikan ruang sepenuhnya agar tim profesional itu bisa mengubah Hayu menjadi pengantin wanita yang anggun.
Di dalam kamar, Hayu yang baru saja selesai mandi mendengar suara Rizal berbicara dengan tim MUA.
Ia menarik napas panjang, menatap pantulan dirinya di cermin kamar mandi.
Hari ini, ia bukan lagi seorang pembantu. Hari ini, ia adalah calon istri kedua dari Rizal, pria yang menyelamatkannya dan yang memberinya harapan baru.
Ia melangkah keluar dari kamar mandi, disambut oleh tim MUA dan Desi yang sudah menunggu dengan senyum ramah.
"Selamat pagi, Mbak Hayu! Ayo, kita ubah Anda menjadi ratu di hari ini," sapa Desi.
Hayu menganggukkan kepalanya dan menyerahkan dirinya pada sentuhan-sentuhan ajaib MUA.
Di luar kamar, Rizal sudah duduk di meja makan, meminum kopi tanpa gula, menunggu detik-detik penting dalam hidupnya.
Aroma bunga segar dan harum masakan Hayu yang tersisa semalam berpadu di udara, menciptakan suasana khidmat yang tenang, menyambut babak baru yang penuh janji.