Wajah Polos Penuh Jiwa Gelap
Pagi itu, sinar matahari menyinari halaman sekolah SMK yang mulai ramai oleh suara obrolan siswa dan derap langkah sepatu. Di depan gerbang, seorang remaja laki-laki berdiri diam. Tubuhnya tegak, wajahnya bersih dengan senyum yang terlalu tenang—nyaris tak bergerak. Namanya Arga.
Ia mengenakan seragam baru yang masih rapi tanpa lipatan, sepatu mengilap, dan rambut yang disisir ke samping dengan rapi. Ia terlihat seperti murid teladan dari brosur sekolah, tapi entah mengapa, senyumnya terasa… janggal. Terlalu ramah. Terlalu damai untuk suasana sekolah yang katanya penuh masalah.
Arga menarik napas pelan, lalu melangkah masuk ke lingkungan sekolah. Hari ini adalah hari pertamanya setelah pindah, dan ia berniat langsung melapor ke ruang kepala sekolah.
Namun, langkahnya baru beberapa meter ketika sesuatu menghantam kepalanya dari samping.
Sebuah bola menggelinding jatuh ke kakinya.
“Hei, anak baru! Ambilin bola gue!” teriak seseorang dari kejauhan, nadanya seenaknya, tanpa sopan santun sedikit pun.
Arga tidak langsung menjawab. Ia menunduk, mengambil bola itu perlahan, lalu berbalik menghadap ke arah suara. Tiga siswa berdiri di sana, salah satunya terlihat seperti pemimpin kelompok, dengan senyum sinis yang tak ramah.
“Cepetan, dasar culun,” ujar salah satu dari mereka sambil melirik penampilan Arga yang terlalu bersih dan terlalu rapi untuk ukuran sekolah itu.
Arga melangkah tenang mendekati mereka, bola di tangannya. Saat sampai di depan, ia menyerahkan bola itu dengan senyum yang masih tak berubah—ramah, kalem, nyaris membingungkan.
“Nih, bolanya,” ucapnya santai, menatap satu per satu wajah mereka tanpa gentar.
Alih-alih menerima dengan sopan, ketiganya malah tertawa keras. Tawa mengejek yang memecah suasana pagi.
“Lihat deh gayanya! Dasar culun. Lo pasti anak baru, ya?” ejek salah satu dari mereka sambil mengacak-acak rambut Arga dengan kasar.
Kepala Arga terdorong ke kiri dan kanan, tapi dia tetap berdiri tegak. Tidak berkata apa-apa. Tidak marah. Tidak menyingkir. Hanya senyum itu yang masih melekat di wajahnya, seakan tak terganggu sama sekali.
“siapa nama kamu?” tanya remaja itu, nada suaranya kini seperti menantang.
“Kamu siapa namanya?” tanya remaja itu, nada suaranya kini seperti menantang.
Arga mengangkat tangan kanannya, menawarkan jabat tangan seolah-olah mereka bertemu secara wajar.
“Namaku Arga. Aku murid pindahan,” ujarnya tenang, tetap dengan senyum yang sama.
Mereka menatap tangannya, lalu kembali tertawa. Tanpa peringatan, salah satu dari mereka melempar bola itu sekuat tenaga ke arah wajah Arga.
Bola itu menghantam tepat di mukanya. Kepala Arga terdongak ke belakang, pandangannya sempat mengarah ke langit. Tapi dia tidak berkata sepatah kata pun. Tidak mundur. Tidak membalas.
“Nih, kalau mau kenalan sama kita!” seru remaja itu lagi, sebelum melayangkan tinjunya—kali ini, keras dan langsung menghantam perut Arga.
Pukulan demi pukulan menghantam tubuh Arga tanpa henti. Beberapa mengenai bahu, beberapa lainnya tepat di perut dan punggung. Ia akhirnya jatuh tersungkur ke tanah, wajahnya nyaris menyentuh permukaan tanah keras yang berdebu.
Namun ketiga remaja itu tak menunjukkan tanda-tanda puas. Justru seolah merasa semakin berkuasa, mereka semakin menjadi-jadi. Satu dari mereka menginjak punggung Arga dengan keras, yang lain menendang sisi tubuhnya berulang kali.
Arga hanya bisa meringis, mencoba menahan rasa sakit. Ia sesekali mengangkat tangan, berusaha menepis atau melindungi bagian tubuhnya, tapi sia-sia. Gerakan mereka terlalu cepat, terlalu liar. Sepatu-sepatu kotor itu terus menghantam tubuhnya tanpa henti.
Seragamnya yang semula bersih kini kotor, penuh debu dan bekas jejak sepatu. Napasnya tersengal, tapi dari wajahnya... belum ada kemarahan. Ia tetap diam, hanya matanya yang sedikit menyipit, menahan perih.
“Hahaha! Rasain tuh! Dasar anak sialan!” teriak salah satu dari mereka dengan tawa puas, seolah sedang bermain-main dengan boneka.
Dan tepat ketika serangan mereka makin brutal, suara keras menggema dari arah lapangan.
“Hei! Hentikan! Dasar pengecut! Beraninya cuma ganggu anak baru!”
Suaranya lantang, penuh amarah, dan tajam menembus keributan itu. Ketiga remaja itu langsung menoleh. Seorang siswi berlari cepat ke arah mereka, diikuti seorang temannya. Langkah kakinya cepat, rambutnya sedikit terangkat karena angin, dan tatapannya tajam seperti panah.
Wajahnya menunjukkan ketegasan dan kemarahan yang tak bisa dianggap remeh. Ia berdiri tegak di depan mereka, tanpa rasa takut sedikit pun.
“Jangan sok ikut campur, deh. Urus aja diri lo sendiri!” bentak salah satu remaja, menunjuk wajah siswi yang berdiri di hadapan mereka dengan tajam.
Ketegangan meningkat saat siswi itu melangkah lebih dekat, matanya menatap penuh perlawanan. Sementara itu, temannya yang datang bersamanya langsung menghampiri Arga yang masih terduduk di tanah, mencoba mengatur napas.
“Kamu nggak apa-apa?” tanyanya, berjongkok dan mengulurkan tangan dengan nada khawatir.
Arga menoleh pelan, masih menahan nyeri di sisi tubuhnya. Tapi, seperti sebelumnya, senyumnya tidak hilang. Ia mengangguk pelan, lalu bangkit perlahan dibantu oleh siswi tersebut.
Sementara itu, di sisi lain, adu mulut semakin panas.
“Dasar kalian! Nggak punya hati nurani!” bentak siswi yang pertama, suaranya lantang dan tak gentar.
Salah satu dari remaja laki-laki itu mendekat dengan wajah merah padam. “Diam, dasar cewek tomboy! Nggak tahu tempat!”
Bentakan itu rupanya melewati batas. Dengan gerakan cepat, siswi itu langsung maju dan menghantam perut si remaja dengan pukulan keras. Suara benturannya jelas terdengar.
Remaja itu membungkuk spontan, menahan sakit. Tak menyia-nyiakan momen, si siswi langsung menarik kerah bajunya dan mengangkat lututnya sekuat tenaga.
Bugh!
Lututnya menghantam wajah remaja itu dengan keras. Tubuh si pemuda terhuyung ke belakang, hampir terjatuh.
Ketika pukulan dan lutut si siswi mendarat telak di wajah salah satu remaja, dua remaja lainnya langsung bereaksi. Wajah mereka berubah merah, penuh amarah, lalu serempak maju menyerang.
“Kurang ajar! Lo cari mati, ya?!”
Tanpa ragu, keduanya menerjang dari kanan dan kiri.
Tapi gadis itu tidak gentar. Begitu salah satu dari mereka mencoba menangkap lengannya, ia justru memutar badan dengan cepat, lalu menghantamkan sikunya ke dada lawan.
Buk!
Remaja itu terhempas mundur, terbatuk kaget sambil memegangi dada.
Yang satunya lagi mencoba menendang dari belakang, tapi dia membungkuk tepat waktu. Kakinya nyaris menyentuh tanah saat dia meluncur rendah, lalu menyapu kaki lawannya dengan gerakan cepat.
Satu tubuh terjatuh keras ke tanah. Si gadis langsung berdiri lagi, sikapnya waspada dan ringan seperti petarung yang sudah biasa menghadapi banyak lawan.
“Cuma segini doang?” ucapnya sinis, sambil menepiskan debu dari lengannya.
Remaja yang pertama—yang sebelumnya dihantam wajahnya—kini ikut bangkit lagi. Bertiga, mereka mencoba mengepung dari berbagai arah.
Namun siswi itu justru mengambil langkah cepat ke arah yang paling lemah, menyerang lebih dulu sebelum mereka sempat berkoordinasi. Ia menendang lutut salah satu lawan, lalu meninju pipinya dua kali berturut-turut. Yang lainnya mencoba menarik bajunya dari belakang, tapi ia memutar tubuh sambil menjatuhkan siku ke bahu penyerangnya.
Dukk!
Tubuh itu terjengkang ke tanah. Yang tersisa kini ragu untuk maju lagi.
Dari kejauhan, Arga berdiri diam. Wajahnya tak lagi tersenyum seperti sebelumnya. Matanya memperhatikan setiap gerakan gadis itu—gerakan yang tajam, lincah, dan penuh perhitungan.
Tak ada sedikit pun keraguan dalam setiap serangannya.
Arga menatap serius, untuk pertama kalinya dalam hari itu. Ada sesuatu di balik tatapannya—campuran rasa kagum dan ketertarikan yang aneh. Bukan hanya karena kehebatan bertarung gadis itu, tapi karena caranya berdiri… kuat, meski dikeroyok, dan tetap tenang.
Seolah... dia tak butuh diselamatkan oleh siapa pun.
“Dasar pria lemah,” ucap Keysha sambil menepuk-nepuk kedua telapak tangannya, seolah menghilangkan debu usai menyelesaikan pekerjaan ringan.
Ketiga remaja pria itu kini meringkuk tak berdaya di atas tanah. Satu memegangi perutnya sambil meringis, satu lagi memegangi pipinya yang tampak memerah, dan yang terakhir hanya bisa terduduk lemas sambil menunduk. Tak satu pun dari mereka sanggup bangkit, nyali mereka runtuh bersama rasa sakit yang menghajar tubuh.
“Lain kali, kalau mau jadi lelaki, jadi yang benar. Di sekolah ini banyak siswa keras kepala, jangan sok jago kalau ujung-ujungnya tumbang,” ucap Keysha, melangkah mendekati Arga.
Arga, yang sejak tadi masih berdiri dengan napas tersengal, menatap sambil tersenyum. Meski wajahnya sedikit lebam, dia tetap menunjukkan ekspresi penuh rasa terima kasih.
“Makasih... karena udah nolong aku,” ucapnya sopan, suara pelan tapi tulus.
Keysha berhenti tepat di hadapan Arga. Wajahnya tegas, namun sorot matanya hangat. Dia mengulurkan tangan dengan percaya diri.
“Keysha,” katanya singkat, mengenalkan diri tanpa basa-basi, tapi tetap dengan senyuman tipis.
“Arga,” jawab Arga sambil menyambut tangan itu. Dia sedikit menunduk, memberi gestur hormat kecil.
Tak hanya dirinya, Keysha juga menunjuk gadis lain yang sejak tadi berdiri tenang di samping Arga.
“Kenalin juga, dia temanku. Namanya Kinan,” ucap Keysha.
Arga dan Kinan pun saling berjabat tangan. Kinan hanya tersenyum sopan, tak banyak bicara, namun terlihat ramah.
“Udah ya, kami pergi dulu. Lain kali, jaga diri baik-baik. Jangan sampai nyusahin orang lain kalau bisa dihindari,” ucap Keysha sambil berbalik, lalu melangkah pergi bersama Kinan.
Arga menatap kepergian mereka dengan sorot mata yang dalam. Sosok Keysha baru saja meninggalkan kesan kuat dalam pikirannya—tegas, cepat, dan jauh lebih tangguh dari perkiraan siapa pun.
“Terima kasih... atas bantuannya,” ucap Arga pelan, menunduk penuh hormat, meski Keysha sudah menjauh.
Setelah Keysha dan Kinan benar-benar menghilang di tikungan lorong sekolah, Arga menghela napas panjang. Ada perasaan campur aduk dalam dadanya—antara lega karena selamat, malu karena tak berdaya, dan takjub pada sosok gadis bernama Keysha.
Meski pakaian seragamnya sudah kotor dengan noda tanah dan sedikit sobekan di bagian siku, dan wajahnya memar di sisi kiri, Arga tetap melangkah pelan menuju ruang kepala sekolah. Sepatu kanannya bahkan sudah lepas bagian solnya sedikit akibat tendangan tadi, tapi ia tak peduli. Langkah kakinya tetap mantap, walau sempat terseret sedikit karena sakit di betis.
Beberapa siswa yang ia lewati di lorong hanya melirik sebentar lalu kembali dengan urusannya masing-masing. Ada yang berbisik, ada yang pura-pura tidak melihat. Tapi Arga tak menghiraukan itu semua.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments