NovelToon NovelToon
Tuan Muda Kami, Damien Ace

Tuan Muda Kami, Damien Ace

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Mafia / Romansa / Persaingan Mafia
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: Ferdi Yasa

Mereka bilang, Malaikat ada di antara kita.

Mereka bilang, esok tak pernah dijanjikan.

Aku telah dihancurkan dan dipukuli, tapi aku takkan pernah mati.

Semua darah yang aku tumpahkan, dibunuh dan dibangkitkan, aku akan tetap maju.

Aku telah kembali dari kematian, dari lubang keterpurukan dan keputusasaan.

Kunci aku dalam labirin.

Kurung aku di dalam sangkar.

Lakukan apa saja yang kalian inginkan, karena aku takkan pernah mati!

Aku dilahirkan dan dibesarkan untuk ini.

Aku akan kembali dan membawa bencana terbesar untuk kalian.

- Damien Ace -

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ferdi Yasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 33 Tergoda Olehnya

Sudah hampir tengah malam ketika Darren akhirnya tiba di bar.

Pria itu turun dari mobil tergesa, membuka pintu dan langsung masuk ke dalam.

“Di mana Alex?” tanyanya cepat pada bartender yang sedang merapikan gelas.

Bartender itu mendengus. “Aku menghubungimu sejak sore dan kau baru datang sekarang. Terlambat. Aku sudah menelepon Rayyan, menyuruh dia menjemputnya.”

“Hah, syukurlah ….” Darren menarik kursi, menjatuhkan diri dengan napas lega. “Apa Rayyan membawanya pulang sejak tadi?”

“Sekitar satu jam yang lalu.” Bartender itu mengangkat alis. “Kau mau minum?”

“Tidak perlu.”

Pria di balik meja itu melangkah mendekat, mencondongkan tubuh di depan Darren. Karena mereka sudah lama bersahabat, obrolan di antara mereka selalu cair — kadang lebih mirip dua teman lama yang bertukar keluh kesah daripada bawahan dan atasan.

“Kenapa kau lama sekali? Kau … berkencan?” godanya sambil menyeringai.

“Berkencan?” Darren menyandarkan punggung, menatap langit-langit sejenak sebelum menghela napas pendek. “Entahlah. Tapi ya, makan malamku lancar malam ini.”

Dari wajahnya saja sudah terlihat — Darren tampak berbeda. Ada semacam cahaya ringan di matanya, seperti remaja yang baru jatuh cinta.

Bartender itu terkekeh, menepuk meja. “Jadi, kapan kau melamarnya?”

“Kau mengacaukan kebahagiaanku saja.” Darren berdecak, tapi senyum kecil tetap tersisa di ujung bibirnya.

“Kenapa? Apa pertanyaan itu salah?”

“Tentu saja salah. Ini baru makan malam pertama yang berjalan baik, dan kau sudah bicara soal lamaran. Aku sudah pernah melamarnya dulu, dan dia menolak. Jangan ulang pertanyaan itu lagi, oke? Hubunganku dengannya masih … terlalu jauh. Leana masih ingin menjalin hubungan profesional dulu. Kalau aku terburu-buru, dia bisa kabur lagi.”

“Ck, ck, ck … terlalu lama.” Sang bartender menggeleng pelan. “Saat semua temanmu sudah punya satu, dua anak, kau masih sibuk makan malam dengan Leana. Kalau terus begini, nanti anak-anak mereka sudah kuliah, baru kau menikah. Lalu mereka akan menyebutmu kakek.”

“Brengsek kau—” Darren hampir saja mengayunkan tangannya untuk memukul kepala pria itu, tapi menahan diri. Ia justru mengambil rokok, menyalakannya dengan helaan panjang. “Hubungan yang diawali tergesa-gesa itu tidak baik. Mengerti?”

“Siapa bilang? Lihat saja Eve dan Alex. Mereka bertemu di sini, besoknya menikah, besoknya lagi punya anak. Sedangkan kau? Masih kalah telak.”

“Kurang ajar. Gajimu kupotong setengah bulan ini!”

Bartender itu malah tertawa lepas, menunjukkan gigi ratanya. “Ngomong-ngomong … Leana itu asalnya dari mana? Dia memang orang sini?”

“Dia ….” Darren terdiam sejenak. Alisnya berkerut.

Benar juga. Leana itu sebenarnya dari mana?

“Entahlah. Aku juga tidak tahu dia berasal dari mana.” Ia mengedikkan bahu, mencoba menepis rasa aneh yang tiba-tiba muncul.

Bartender itu menyipit. “Kau ini bagaimana? Mengencani wanita tanpa tahu asal-usulnya?”

“Kakek yang mengirimnya,” jawab Darren cepat. “Kau tahu sendiri, Pria Tua itu sedikit cerewet. Kalau dia mengirim seseorang, berarti orang itu kepercayaannya. Lagi pula, Leana itu cekatan — bisa diandalkan.”

“Terserah kau. Tapi kalau aku jadi kau, aku akan cari tahu lebih dulu. Zaman sekarang, kita tidak tahu siapa yang membawa belati di belakang punggungnya.”

Nada suaranya berubah sedikit serius, seolah memberi peringatan.

“Hei, Leana tidak seperti itu!” potong Darren, nada suaranya agak meninggi. “Dia bahkan lebih dekat dengan Kakek daripada aku sendiri.”

“Ya, siapa tahu. Aku cuma mengingatkan,” ucap bartender itu ringan, lalu beranjak kembali ke meja bar.

Begitu pria itu pergi, Darren terdiam.

Kata-kata barusan terngiang lama di kepalanya.

Wajahnya kehilangan senyum — untuk sesaat, seolah sesuatu yang kecil tapi ganjil baru saja menancap di pikirannya.

…..

Laura kembali dengan berantakan malam ini. Sepatu yang dia pakai dia lemparkan ke sembarang arah, rambut pasangan, dan tas berserakan di lantai.

Segala macam sumpah serapah menggelegar di langit rumah kontrakan mereka. Ada Shania yang menunggunya sejak tadi, diam, bergumam sendiri, dan melamun.

Melihat Laura kembali, wajahnya menunjukkan kebahagiaan. Tapi setelah itu dia meringkuk di sudut ruangan mendengar Laura yang melampiaskan kemarahannya.

“Shania … sampai kapan kau akan menjadi berguna untukku, hah?” Dia mendekatinya, duduk di lantai di sisi Shania dengan kesal. “Kau tahu apa yang baru saja aku alami?”

Shania menggeleng dengan polos.

“Aku baru saja menemui Alex.” Laura mengatakannya dengan hati-hati, lalu tertawa setelahnya. “Dan itu hampir! Hampir saja aku berhasil membunuhnya. Aku sudah membawa pisau ini, mengarahkan tepat ke jantung pria itu.”

Saat Laura menjelaskannya, dia juga menunjukkan pisau yang dia bawa, mengarahkannya ke Shania. Ujung yang tajam, permukaan yang dingin dan mengkilat itu membuat Shania bergidik ngeri.

“Aku hampir saja berhasil membunuhnya, Shania!” teriaknya sekali lagi. “Tapi … tapi aku ….”

Wajah Laura berubah muram. Dia menurunkan pisaunya kembali, menyandar di sisi Shania dengan lemas.

Matanya menatap kosong. Otaknya memutar apa yang baru saja dia lakukan di bar tadi.

“Tapi aku melihat dadanya. Sangat seksi. Itu bagian yang tidak bisa kusentuh di masa lalu. Lalu aku menyentuhnya, merasakannya, menikmatinya. Tanganku bergerak dengan sendirinya. Aku tidak tahu tiba-tiba aku lupa tujuanku.”

“Aku membelai perutnya, merasakannya dengan lidahku. Kau tahu, itu adalah bagian yang hangat dan dingin sekaligus. Aku masih tergoda olehnya, Shania. Aku … aku tidak ingin membunuhnya. Aku ingin mendapatkannya seperti dulu, Shania!”

Laura menggeleng keras, memutar tubuh, menatap Shania dengan serius.

“Shania, aku akan mendapatkan Alex lagi. Aku ingin menjadi budaknya, aku ingin dia mengikat tanganku seperti ini.” Dia menyatukan kedua lengannya, menunjukkan itu pada Shania. “Kau tahu ini, kan? Aku ingin dia menyiksaku dan menikmatiku sepuasnya.”

Laura menghela napas lelah, menyandarkan punggungnya ke tembok lagi.

“Apa aku sudah gila sepertimu, Shania? Apa kau pernah menjadi budak Alex? Kau harus tahu, di masa lalu, semua wanita menginginkan untuk menggantikanku, tapi dia hanya menahanku. Dia sangat kasar, sangat buas dan menakutkan. Tapi aku suka! Ya, aku sangat menyukainya, Shania.”

Tiba-tiba Laura bangkit dari sana, bergerak dengan semangat. “Ya, aku akan mendapatkannya lagi, Shania! Aku akan menggunakan topeng ini untuk mendekatinya lagi. Aku akan memberikan dia kesenangan yang tidak dia dapatkan dari istrinya yang bodoh itu.”

Selesai Laura mengatakan itu, ponselnya berdering. Dia dengan cepat menggapai tasnya, mengangkat panggilan itu.

“Kau sudah melakukannya?” Suara seorang wanita menyambut Laura begitu dia mendapatkan jawaban.

“Aku tidak bisa melakukannya …,” ucapnya ragu-ragu.

“Aku sudah memberimu banyak kesempatan dan kau masih menyia-nyiakannya? Brengsek! Kau mau berkhianat padaku, hah?!” Wanita itu berteriak keras, membuat telinga Laura sedikit berdegung.

“Hei, bukan kau satu-satunya yang menginginkan tujuan ini. Tapi … apa kau tahu, itu tidak akan menyenangkan lagi. Dia sudah hampir gila karena kehilangan anaknya, jadi biarkan dia menikmati itu sedikit lebih lama lagi. Dan juga, aku tidak punya banyak waktu tadi karena anjing kesayangannya itu muncul dan membawanya pergi. Masih untung aku bisa bersembunyi dan melarikan diri.”

Laura mendengus, pura-pura kesal untuk menutupi kesalahan.

“Hei, Jal4ng. Kau sedang tidak membohongiku, kan? Kau tidak memiliki pikiran untuk melindunginya, kan?”

“Tentu saja tidak!” Laura mengelak keras, padahal hatinya sedikit bergeser. Suaranya lebih rendah saat mengatakan, “Aku sudah katakan, aku hanya memiliki kebencian untuknya.”

“Baiklah. Tapi jika aku tahu kau sedang ingin kembali lagi padanya, aku sendiri yang akan mengambil nyawamu!"

Sambungan terputus sebelum Laura membalas. Ia menatapnya sejenak, lalu melemparkan ponselnya ke lantai dan mengerang.

“B4ngsat …!” pekiknya. “Dia benar-benar sangat licik! Lihat saja, setelah ini aku akan membuat dia menjadi pelayanku!”

Ponsel yang dia banting tadi dia pungut lagi dengan cepat, mengusapnya dengan hati-hati. Seperti mengusap barang berharga, Laura membersihkan permukaannya. “Aku tidak bisa kehilangan ponselku atau jal4ng itu tidak memberikannya lagi yang seperti ini.”

Laura pergi ke Shania, mengenggam pundak wanita itu dengan kuat. “Kau mendukungku, kan? Kau ada di pihakku kan, Shania? Tentu saja. Aku yang membawamu pergi, dan aku yang memeliharamu. Kau harus menjadi anjingku yang baik selamanya.”

***

1
Dheta Berna Dheta Dheta
😭😭😭😭
Idatul_munar
Gimana ayah nya tu..
Arbaati
hadir Thor...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!