Tuan Muda Kami, Damien Ace

Tuan Muda Kami, Damien Ace

Bab 1 Kesalahan Fatal

Tiga bulan yang lalu terasa begitu membahagiakan, bukan?

Tiga pernikahan berlangsung di waktu dan tempat yang sama.

Tiga? Entahlah … apakah masih bisa disebut pernikahan kedua bagi Alex dan Eve?

Tapi siapa peduli—malam itu, semua orang benar-benar bahagia. Seolah-olah itu adalah kali pertama mereka menyaksikan Direktur Ace menikah.

Terlebih lagi, Eve sedang mengandung. Malam itu penuh tawa dan haru, kebahagiaan tumpah ruah di setiap area.

Bahkan sampai sekarang, foto-foto pernikahan mereka masih beredar luas di media sosial—menjadi topik hangat yang tak kunjung basi.

Setelah malam itu, Scott City seakan diguyur kebahagiaan. Banyak pasangan yang justru menemukan cinta mereka di acara itu.

Termasuk Noah, yang kabarnya kini semakin dekat dengan Celline.

Sayangnya, hal itu tidak berlaku untuk Darren.

Leana begitu sulit untuk didekati, membuat Darren kelimpungan hanya demi mendapatkan hatinya.

Apa dia tidak tahu, kalau hasrat Darren untuk segera menikah sedang membara? Seperti bara api yang kian menyala setiap kali Leana menjauh.

“Darren, kau sangat payah!”

Daisy menutup album foto pernikahan orang tuanya dengan wajah kesal.

Setelah melihat semua teman ayah dan ibunya punya pasangan, hanya Darren yang masih sendirian.

Bagian mana dari pria itu yang tidak disukai wanita?

Kenapa dia tidak bisa juga menaklukkan Leana?

Jika semua yang melekat di tubuh Darren adalah kesempurnaan, bukankah berarti masalahnya ada di dalam dirinya? Pasti dia benar-benar payah dalam menghadapi wanita!

Umpatan Daisy terdengar jelas ke telinga Darren, membuat mata pria itu selebar piring. “Apa yang kau katakan barusan? Ulangi!”

“Kau, payah!” Daisy benar-benar mengulanginya—dengan nada lebih tegas. “Apa kau masih tidak bisa mendengar? Kalau begitu aku akan berteriak!”

Daisy menarik napas dalam, bersiap menaikkan suaranya. “Darren, kau pa—!”

Sebelum kata itu keluar sempurna, Darren berlari dan langsung membekap mulut Daisy. “Anak kecil tidak boleh bicara sembarangan. Mengerti?” ujarnya dengan wajah masam.

Mau marah rasanya, tapi … sepertinya Daisy benar juga. Ia memang payah.

Apa yang kurang darinya? Apa yang salah? Kenapa Leana selalu menolak ajakannya?

Kenapa semua temannya begitu mudah mendapatkan cinta mereka, sementara dirinya tidak?

“Kenapa?” tanya Daisy, menatap Darren yang sedang termenung. “Apa kau baru sadar kalau kau memang payah?”

Darren menekuk lutut, berjongkok di depan Daisy. “Katakan padaku, hal apa yang disukai wanita?”

“Permen.”

“Ah, sudahlah.” Darren mengibaskan tangannya pasrah. “Percuma saja bertanya padamu. Aku kira pikiranmu sudah cukup dewasa, ternyata kepalamu masih penuh dengan lolipop.”

“Tentu saja!” Daisy menatapnya serius. “Memangnya ada hal lain yang disukai wanita selain sesuatu yang manis? Kalau kau tidak percaya, kenapa tidak tanya langsung saja pada Leana? Aku heran kenapa orang dewasa selalu mempersulit sesuatu. Bukankah akan lebih mudah kalau bertanya pada orangnya langsung? Kenapa harus berputar-putar begitu? Kalian, para orang dewasa, benar-benar membingungkan.”

“Kecilkan suaramu! Nanti Leana bisa dengar.” Darren mendengus kesal sambil duduk di sofa tunggal di seberang Daisy.

“Sebenarnya aku sudah tanya padanya,” lanjutnya, menghela napas panjang. “Tapi dia malah bilang kalau hal yang dia sukai adalah aku tidak memperlambat pekerjaannya dan tidak menghalangi dia bekerja. Menyebalkan, kan?”

Daisy justru terbahak. “Darren, kau benar-benar menyedihkan! Sepertinya kau harus belajar bagaimana caranya mendekati wanita. Tapi ... jangan tanya pada Ayahku.”

“Kenapa?” Darren menatap curiga.

“Ayah itu kasar!” Daisy menyilangkan tangan, wajahnya penuh keyakinan. “Sekarang aku tahu kenapa Ibu dulu sempat lari dari Ayah.”

“Memang kenapa?”

“Ayah mengikat Ibu dengan borg0l. Pantas saja Ibu kabur.”

Bola mata Darren langsung membesar. Ia cepat memajukan tubuhnya, menoleh kanan-kiri memastikan tidak ada orang lain di sekitar mereka. “Hei ... dari mana kau tahu soal itu?” tanyanya dengan nada hati-hati.

“Aku dan Damien menemukannya di gudang,” jawab Daisy polos.

“Oh … itu, itu pasti milik petugas kepolisian yang tidak sengaja terbawa. Ya, itu pasti punya mereka.” Darren tergagap, wajahnya mulai pucat.

Dalam hati, ia mengumpat, “Sialan, Alex … bagaimana bisa benda seperti itu lolos dari rumah?”

Daisy menatapnya takjub. “Sungguh? Wah, sekarang polisi pakai borgol beludru dengan bulu-bulu halus warna merah dan pink, ya? Itu bagus sekali! Mereka jadi tidak menakutkan lagi.”

“Ah, iya ... betul sekali.” Darren mengusap tengkuknya, merasa punggungnya merinding. “Baiklah, sudah sore. Aku antar kau pulang sekarang.”

Dengan cepat, Darren berdiri, membereskan tas sekolah Daisy, lalu menarik tangan gadis kecil itu agar segera pergi.

Saat mereka melintasi lorong, mereka melewati ruangan Leana yang letaknya tepat di depan ruang Darren.

Daisy melambai ceria. “Hai, Leana!”

Leana mengangkat kepala dan tersenyum hangat. “Hai, Daisy.”

“Lea, aku pulang lebih awal. Kalau kau butuh sesuatu, kirimkan saja padaku nanti,” ujar Darren cepat-cepat, hanya menatap sekilas sebelum menarik Daisy keluar dari ruangan.

“Baik, Pak,” jawab Leana singkat.

Kini, setelah Kakek Liam membagi perusahaan secara adil, Darren mendapat bagian sesuai hak warisnya.

Dan tentu saja, Leana bukan tanpa alasan ditempatkan di sana — dialah “mata kedua” Kakek Liam, yang ditugaskan diam-diam untuk memastikan Darren tidak keluar jalur.

Leana menatap punggung mereka yang menjauh, alisnya berkerut bingung. Biasanya Darren akan berusaha mencari-cari alasan agar bisa berbicara lebih lama dengannya, tapi kali ini pria itu pergi terburu-buru, seolah sedang mengejar waktu.

“Kenapa kau datang ke kantorku, hah?” gumam Darren pelan setelah beberapa langkah keluar ruangan.

“Kenapa? Kau tidak suka bertemu denganku?” Daisy menengadah menatapnya polos.

“Aku jadi tidak bisa menggoda Leana dengan bebas. Harusnya aku bisa makan malam dengannya malam ini.”

Daisy mendengus. “Bahkan kalau aku tidak datang sampai tahun depan pun, kau tetap tidak akan berhasil mendapat Leana. Jangan cari-cari alasan pakai aku! Kau payah. Kau tidak bisa merayu wanita dengan baik, kau—”

“Baik, baik! Itu cukup, oke?” potong Darren cepat, mendengus kesal sambil mengangkat tubuh kecil itu lalu menggendongnya. Kalau dibiarkan, ocehan Daisy bisa terdengar seisi gedung.

“Ngomong-ngomong, di mana Damien? Kenapa dia tidak bersamamu?”

“Damien membosankan,” jawab Daisy santai. “Dia langsung pulang dan tidak mau aku ajak main.”

Darren membawa Daisy turun ke lobi. Edgar sudah menunggu di bawah.

“Dia pulang bersamaku. Kau bisa jalan lebih dulu, Ed,” kata Darren.

Edgar mengangguk, tapi tetap menyalakan mobil dan mengikuti dari belakang, seperti biasa — waspada tanpa diperintah.

Mobil Darren melaju sedikit lebih cepat dari biasanya. Wajahnya serius, pikirannya dipenuhi kekhawatiran.

Ia harus bicara dengan Alex sesegera mungkin — tentang apa yang diketahui Daisy tadi. Anak itu mungkin mudah dibujuk dengan alasan sederhana, tapi Damien? Tidak. Bocah itu punya pemahaman yang jauh lebih tajam dari usianya.

Saat tiba di rumah keluarga Ace, kebetulan Alex dan Eve juga baru pulang. Begitu melihat Darren bersama Daisy, mereka berdua langsung turun dari mobil.

“Hai, Sayang ... kau pergi dengan Darren hari ini?” tanya Eve lembut, merentangkan tangan dan memeluk putrinya.

“Aku pergi ke perusahaannya,” jawab Daisy riang. “Aku sempat ajak Damien, tapi dia tidak mau.”

“Kalau begitu ayo masuk. Kita lihat apa yang sedang Kakakmu lakukan,” ajak Eve sambil menggandeng Daisy masuk ke rumah.

Alex hampir ikut masuk, tapi langkahnya terhenti saat melihat tatapan Darren — tajam, gelisah, seolah memintanya untuk tetap di tempat. Ada sesuatu yang jelas ingin ia bicarakan, dan itu bukan hal sepele.

“Ada apa?” tanya Alex dengan dahi berkerut, menatap Darren yang terlihat gelisah.

Darren melirik ke arah rumah, memastikan Daisy sudah cukup jauh sebelum menurunkan suaranya. “Alex, kau benar-benar ceroboh! Bagaimana bisa kau membiarkan anak-anakmu menemukan ... barang-barang seperti itu?”

Alis Alex berkerut lebih dalam. “Apa maksudmu?”

“Daisy baru saja mengatakan padaku kenapa ibunya dulu sempat pergi darimu,” ucap Darren cepat. “Dia bilang, itu karena kau mengikat Eve dengan borg0l. Kau tahu, dari mana dia tahu itu? Dari gudang! Dia dan Damien menemukannya di sana!”

Alex mendesah panjang, berdecak kesal sambil meninju udara. “Sial!” umpatnya pelan.

“Apa yang kau pikirkan, hah? Menyimpan itu dan membiarkan anak-anakmu menemukannya?” Darren mengomel tanpa jeda.

“Diamlah!” potong Alex dengan nada frustrasi. “Aku bahkan tidak tahu kenapa itu masih di sana. Aku sudah menyuruh Frans membuang semuanya.”

“Kalau begitu kau sebaiknya bicara langsung padanya. Dan kau juga harus hati-hati, Alex. Untung saja Daisy masih bisa percaya dengan alasan sederhanaku tadi. Tapi Damien? Aku tidak yakin kau bisa menipunya. Anak itu terlalu pintar untuk usianya. Kalau dia sudah tahu, aku harap dia tidak meniru ... hal-hal yang pernah kau lakukan dulu.”

Wajah Alex langsung menegang. “Damien ... dia ada di rumah sejak tadi?”

“Ya. Dan kalau dugaanku benar, dia pasti sudah—”

Belum sempat Darren menyelesaikan kalimatnya, Alex langsung berlari masuk ke dalam rumah.

Begitu Alex naik ke lantai dua dan muncul di kamar Damien, semua orang menatapnya dengan ekspresi bingung — terutama Eve.

“Alex, ada apa?” tanyanya, melihat wajah suaminya yang pucat dan cemas.

Tapi Alex tidak menjawab. Ia langsung melangkah ke arah Damien yang sedang fokus menatap layar laptopnya.

Tanpa banyak bicara, dia mengambil laptop itu begitu saja. “Aku perlu memeriksa milikmu hari ini.”

Damien hanya sempat memandang ayahnya dengan wajah bingung ketika laptop itu sudah berpindah tangan.

“Alex?” Eve menatap suaminya tak mengerti.

“Tenang saja, aku hanya perlu memastikan sesuatu,” ujar Alex cepat, lalu berjalan keluar dengan langkah besar.

Eve menoleh ke anaknya. “Ada apa? Kau tidak melakukan sesuatu yang membuat Ayahmu panik seperti itu, kan?”

Damien mengangkat bahu santai. “Aku juga tidak tahu, bu. Kalau tahu, aku pasti cerita. Mungkin kau bisa tanya langsung pada Ayah — aku sendiri penasaran.”

Eve menghela napas dan menyusul Alex ke kamar mereka.

Di sana, Alex tampak duduk di tepi ranjang dengan ekspresi tegang, matanya terpaku pada layar laptop Damien. Jemarinya bergerak cepat, membuka folder demi folder.

“Alex, ada apa sebenarnya?” tanya Eve dengan nada cemas. “Kenapa kau panik seperti ini?”

“Darren bilang Daisy dan Damien menemukan borgol di gudang,” ujar Alex serius, menatap layar laptop Damien yang kini terbuka di depannya. “Eve, kalau Frans menyimpan semua itu di sana, aku yakin itu bukan cuma borgol. Aku khawatir Damien sudah mencoba mencaritahunya.”

Wajah Eve menegang seketika. Ia menghampiri Alex dengan cepat, ikut menatap layar. “Alex … kenapa kau masih menyimpannya? Kau bilang sudah membuang semuanya waktu itu.”

“Mungkin ….” Alex berucap ringan, tanpa menoleh. “Kalau aku rindu bermain denganmu.”

Eve terdiam. “Alex—”

Ia melirik sekilas, menyunggingkan senyum tipis yang membuat Eve makin salah tingkah.

“Jangan menatapku seperti itu!” sergahnya, menahan nada suaranya agar tetap tenang. “Fokuslah! Periksa riwayat laptop anakmu!”

Alih-alih menurut, Alex justru menutup layar laptop itu dan menarik pinggang Eve agar lebih dekat. Tatapannya menancap dalam. “Lalu bagaimana kalau aku memang merindukannya?”

Bola mata Eve bergerak gelisah. Ada sesuatu dalam tatapan Alex yang dulu pernah membuatnya gentar — dan kini, masih sama.

Melihat ekspresi itu, Alex tersenyum kecil. Tangannya membelai lembut pipi Eve, menyelipkan helai rambut ke belakang telinganya. “Aku hanya bercanda,” bisiknya lembut. “Aku tidak ingin mengulang itu lagi.”

Tidak setelah apa yang terjadi di kapal pesiar waktu itu.

Eve menarik napas lega. “Baiklah … lalu Damien?”

“Riwayatnya bersih,” jawab Alex. “Tapi aku tidak bisa yakin. Mungkin dia sudah menghapus jejaknya. Aku akan menyuruh Edgar menyelidikinya lebih dalam. Untuk sementara, aku akan membatasi akses internet mereka. Terutama Damien. Aku akan mengawasinya dari jauh.”

Eve mengangguk pelan. “Katakan pada Pak Frans untuk segera membuang semuanya. Anak-anak selalu penasaran pada hal-hal yang tak seharusnya mereka tahu.”

Alex mengangkat satu alis, nada menggoda kembali muncul. “Semuanya?”

“Ya, semuanya! Apalagi yang ingin kau sisakan?”

“Hmm ….” Alex menatapnya tajam, senyum tipis muncul di bibirnya. “Apa kau sedang mencoba membuat penawaran denganku?”

Ia mencubit lembut dagu Eve, mengangkat wajahnya agar menatapnya. Dan di sana — di balik sorot mata itu — rindu yang ia tahan selama ini menyala lagi.

Seribu malam bulan madu pun tak akan cukup untuk menebus lamanya mereka berpisah.

Semakin lama ia menatap, semakin kuat dorongan itu tumbuh. Ia ingin menelan wanita ini bulat-bulat.

“Eve, aku—”

Suara ketukan pintu menghentikannya.

“Tuan, boleh saya masuk?” Terdengar suara Frans dari luar.

Alex mendengus pelan, lalu menjawab tanpa melepas Eve sedikit pun. “Masuk.”

Pintu terbuka, dan pria tua itu melangkah masuk sambil menunduk dalam-dalam. “Tuan, mengenai anak-anak … saya mohon maaf. Saya benar-benar teledor hingga melupakan bagian itu dan membiarkan mereka masuk. Saya sudah membuat kesalahan besar.”

“Ya, kau memang sudah membuat kesalahan fatal, Frans,” ujar Alex tajam. “Aku sudah memerintahkanmu untuk membuangnya.”

“Saya sangat menyesal, Tuan,” ucap Frans, menunduk lebih dalam. “Saya akan membuangnya sekarang juga. Semuanya, jika Anda sudah benar-benar tidak menginginkannya lagi.”

Alex melirik ke arah Eve. Tatapannya berubah — ada sinar aneh di sana, samar tapi berbahaya.

***

Hai, semuanya … terima kasih dan selamat datang kembali di cerita ini.

Untuk pembaca baru, selamat datang dan semoga betah. Cerita ini adalah season 2 dari cerita “60 Hari Untuk Hamil”.

Kalian bisa memilih untuk membaca season 1, atau melewatinya. Di season 2 ini, cerita akan lebih fokus ke Damien dan Daisy, hingga mereka tumbuh ke remaja sampai dewasa.

Sama seperti di season 1 sebelumnya, cerita ini juga menggunakan teknik naratif dengan multi-layered conflict atau dalam istilah lain sering disebut juga “konflik berlapis” (layered conflict structure).

Jika kalian ingin cerita dengan nuansa lebih ringan, mungkin kalian bisa singgah di judul saya yang lain, “Tuan Foster, Angkat Aku Jadi Anakmu” dengan sentuhan romansa dan humor.

Terima kasih, dan selamat membaca ….

Terpopuler

Comments

Arbaati

Arbaati

hadir Thor...

2025-10-07

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!