Laura jatuh cinta, menyerahkan segalanya, lalu dikhianati oleh pria yang seharusnya menjadi masa depannya—Jordan, sahabat kecil sekaligus tunangannya. Dia pergi dalam diam, menyembunyikan kehamilan dan membesarkan anak mereka sendiri. Tujuh tahun berlalu, Jordan kembali hadir sebagai bosnya … tanpa tahu bahwa dia punya seorang putra. Saat masa lalu datang menuntut jawaban dan cinta lama kembali menyala, mampukah Laura bertahan dengan luka yang belum sembuh, atau justru menyerah pada cinta yang tak pernah benar-benar hilang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33. Leon Bukan Cuma Butuh Ayah atau Ibu
Sore itu, Laura berdiri di balik kaca ruang ICU. Tubuh kecil putranya tertidur lemah dengan berbagai alat medis menempel.
Leon, buah hatinya, satu-satunya cahaya hidupnya sedang bertarung melawan sakit bukan hanya di tubuh, tetapi juga di hatinya yang mungil. Seorang anak yang hanya ingin satu hal, bertemu ayahnya.
Pelan-pelan Laura membuka ponsel. Jemarinya menari dengan ragu di atas layar, sebelum akhirnya berhenti pada sebuah nama yang selama ini dia hindari, Jordan William.
Tangan Laura gemetar. Namun, Laura tahu kali ini bukan tentang dirinya. Ini tentang Leon, tentang anak mereka. Laura tidak bisa egois lagi.
Dengan hati bergetar, Laura menekan tombol panggilan. Satu kali dering, dua kali, tiga.
"Laura?" Suara Jordan terdengar dari seberang. Pelan, tetapi jelas. Lelah, tetapi penuh harap.
Laura tak mampu menahan tangisnya lagi.
"Jo ... Leon butuh kamu."
Suara di seberang membeku seketika.
"Aku akan ke sana sekarang juga."
Telepon terputus secara sepihak. Laura mengusap wajah kasar. Kali ini dia tidak bisa lagi menuruti egonya.
Laura harus memikirkan Kaiser yang ternyata sangat menginginkan sosok Jordan. Perempuan tersebut kembali menatap Leon yang masih memejamkan mata melalui kaca. Rasa bersalah kini menghantam dada Laura.
"Seharusnya mama nggak membawamu pergi, Leon. Seharusnya mama bersabar sedikit lagi. Maaf," ucap Laura lirih dengan derai air mata mengalir di pipinya.
***
Sementara itu di Jakarta, Jordan membeku. Dia masih terpaku di ruang kerjanya. Kini di hadapannya ada Noah yang juga terdiam.
Ya, hari itu Noah dan Jordan sedang mendiskusikan proyek baru dengan satu perusahaan asing. Namun, di tengah pertemuan keduanya Laura menelepon untuk memberikan kabar yang kurang baik. Jordan mengusap wajah kasar.
"Aku harus pergi sekarang!" Jordan beranjak dari kursi.
"Aku ikut!" seru Noah sambil ikut berdiri.
Namun, Jordan menghentikan langkahnya secara mendadak. Dia balik kanan lantas menatap tajam lelaki di hadapannya. Noah mengerutkan dahi.
"Untuk apa kamu ikut denganku?" tanya Jordan dengan rahang yang mengeras dan tangan mengepal di dalam saku celana.
"Aku sudah menganggap Leon seperti anakku sendiri. Jadi ...."
"Anak?" Jordan semakin melotot.
Lelaki tersebut melangkah maju sehingga membuat Noah menelan ludah kasar. Dia sadar kalau sudah salah bicara sehingga membuat bosnya itu murka. Noah berdeham dan segera mengoreksi ucapannya.
"Aduh, bukan. Maksudku ...." Noah memutar otaknya agar tidak kembali menyinggung Jordan.
"Begini, Jo. Aku sudah bersama dengan Leon sejak dia lahir. Jadi, aku sangat menyayanginya. Kamu tahu? Kebersamaan seseorang dengan manusia lain bisa menimbulkan rasa kasih sayang."
"Jadi, ini tentang Leon atau Laura?" Jordan menyipitkan matanya.
"Aduh, kamu jangan salah paham, Pak. Kali ini aku bicara benar-benar tentang Leon! Aku sudah nggak ada niat lagi untuk mengejar cinta Laura. Aku sadar kalau dia tidak pernah menyukaiku sebagai lelaki spesial. Dia hanya nyaman dan merasa aman ketika bersamaku, karena kami ini teman." Noah tersenyum kecut.
Lelaki tersebut mulai menyadari dan menerima kenyataan itu. Meski awalnya pahit, perlahan Noah mulai bisa menerima semuanya. Dia berusaha berdamai dengan keadaan karena semua yang terjadi di dunia tidak selalu harus sesuai dengan keinginannya.
"Sayangnya aku nggak sudi satu pesawat denganmu!" ujar Jordan.
Jordan melanjutkan langkah keluar dari ruangannya. Noah terdiam. Namun, sedetik kemudian lelaki tersebut tersenyum lebar.
"Tenang saja! Aku akan memesan tiket pesawat lain!" teriak Noah sebelum akhirnya ikut keluar daru ruangan tersebut.
Mereka berdua pergi ke Bali di hari yang sama. Namun, beda pesawat. Jordan datang lebih dulu dan langsung datang ke rumah sakit.
Langkahnya begitu cepat menyusuri lorong sepi rumah sakit di malam hari. Napas lelaki itu memburu. Di ujung jalan menuju ruang ICU, Jordan melihat seseorang duduk termenung di sana.
Ya, Laura sedang tertunduk lesu. Tubuhnya terlihat lebih kurus dari sebelum pergi. Langkah Jordan berhenti tepat di hadapan Laura.
"Lau," panggil Jordan.
Laura mendongak ke arah Jordan. Matanya sembab dan terdapat lingkaran hitam mengelilinginya. Hati Jordan begitu hancur melihat kondisi Laura yang sangat buruk.
"Jo, bagaimana ini?" Laura hendak beranjak dari atas bangku, tetapi dia terhuyung.
Jordan bergegas mendekati Laura. Dia menopang tubuh perempuan tersebut, lantas memeluknya. Bahu Laura mulai bergetar.
"Aku benar-benar ibu yang buruk. Aku menyakiti Leon karena keegoisanku! Aku harus bagaimana, Jo?"
Tangisan Laura layaknya silet yang kini menyayat hati Jordan. Lelaki tersebut memeluk tubuh Laura. Dia tak bisa berkata-kata.
Jordan kali ini hanya mendengarkan setiap penyesalan yang diungkapkan oleh Laura. Dia mengusap punggung Laura tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Selama ini Jordan memang tidak pandai membujuk wanita agar berhenti menangis.
Detik itu juga, Jordan berjanji dalam hati. Jika dia tidak bisa menenangkan Laura, maka dia tidak boleh membuatnya menangis. Jordan berjanji akan menghukum dirinya jika sampai hal itu terjadi lagi.
"Nggak apa-apa, Lau. Semua akan baik-baik saja mulai sekarang. Pasti Leon segera membaik dan sembuh. Mari kita usahakan bersama kesembuhan Leon." Jordan mengungkapkan kalimat itu setelah isak tangis Laura mulai berhenti.
"Maaf karena telah lari lagi. Jika akhirnya membuat Leon terluka, aku tidak akan pernah melakukannya. Seharusnya kita menghadapi semuanya bersama. Maaf, karena telah meninggalkanmu dengan masalah itu. Bukankah aku ini seorang pengecut, Jo? Aku selalu lari setiap mendapatkan masalah." Isak tangis kembali keluar dari bibir Laura.
"Aku terus merancang dan membuat game, agar orang-orang bisa menyelesaikan rintangan di setiap levelnya. Tapi ... aku justru lari dari setiap masalah yang menghampiri! Aku memang pengecut!"
"Ssstttt," ucap Jordan.
Lelaki tersebut melepaskan pelukannya. Dia menatap Laura yang masih menunduk. Jordan menekan dagu Laura dari bawah menggunaka ujung telunjuk.
"Kamu bukanlah pengecut, Lau. Kamu adalah pejuang yang sedang lelah. Aku bisa memahaminya. Kamu hanya butuh istirahat, bukan lari."
"Jo, apa kita ...." Laura menggantung ucapannya, kemudian menggeleng.
"Bukan, maksudku aku. Apakah aku masih bisa memperbaiki semuanya?" Sepasang mata Laura kini membola.
Pupil mata perempuan tersebut sedikit bergetar. Dia seperti anak kecil yang tengah menunggu jawaban atas pertanyaan yang diberikan untuk ayahnya. Jordan tersenyum lembut dan kembali mengusap pipi perempuan yang sangat dicintainya itu.
"Aku akan menemanimu memperbaiki semua. Lupakan masa lalu. Mari kita fokus dengan Leon. Dia bukan hanya butuh aku atau kamu. Tapi ...." Jordan merangkum wajah Laura.
"Kita berdua. Leon butuh sosok ibu dan ayah dalam satu atap. Mari kita mmberikan kebahagiaan keluarga yang untuh untuk Leon."
Laura terdiam. Masih ada keraguan yang kini tersirat pada mata Laura. Bibirnya masih terkunci. Hal itu tentu saja membuat Jordan sedikit patah hati.
"Tapi, kita juga tidak harus berada di bawah satu atap yang sama, Lau. Aku tidak mau memaksamu ...."