"Menikahi Istri Cacat"
Di hari pernikahannya yang mewah dan nyaris sempurna, Kian Ardhana—pria tampan, kaya raya, dan dijuluki bujangan paling diidamkan—baru saja mengucapkan ijab kabul. Tangannya masih menjabat tangan penghulu, seluruh ruangan menahan napas menunggu kata sakral:
“Sah.”
Namun sebelum suara itu terdengar…
“Tidak sah! Dia sudah menjadi suamiku!”
Teriakan dari seorang wanita bercadar yang jalannya pincang mengguncang segalanya.
Suasana khidmat berubah jadi kekacauan.
Siapa dia?
Istri sah yang selama ini disembunyikan?
Mantan kekasih yang belum move on?
Atau sekadar wanita misterius yang ingin menghancurkan segalanya?
Satu kalimat dari bibir wanita bercadar itu membuka pintu ke masa lalu kelam yang selama ini Kian pendam rapat-rapat.
Akankah pesta pernikahan itu berubah jadi ajang pengakuan dosa… atau awal dari kehancuran hidup Kian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Biasa atau Sengaja?
Langkah anggun terdengar mendekat.
Aisyah—wanita paruh baya yang tak lain adalah nyonya rumah, ibu Kian—muncul dengan balutan gamis pastel dan kerudung rapi. Sikapnya tenang, auranya tetap anggun meski wajahnya tertutup cadar.
Semua pelayan langsung menunduk hormat.
Dengan sorot mata tegas tapi halus, Aisyah menatap para pelayan itu sejenak, lalu menoleh pada Kanya.
“Ini adalah Kanya,” katanya, suara tegasnya nyaris tak menyisakan ruang untuk ragu. “Istri Kian. Mulai sekarang, perlakukan dia sebagaimana kalian memperlakukan anggota keluarga.”
Ketiga pelayan itu terkejut. Nyaris bersamaan, mereka kembali menunduk, kali ini lebih dalam, lalu berseru nyaris bersamaan, “Maaf, Nyonya… kami tidak tahu…”
Aisyah mengangguk kecil. “Wajar. Karena ia belum tinggal di sini sebelumnya.”
Ia lalu menoleh pada Kanya dan berkata lembut, “Kau tidak harus memasak, Nak. Tapi kalau itu membuatmu nyaman… lakukanlah.”
Kanya tersenyum kecil dari balik cadarnya. “Terima kasih, Ma.”
Aisyah mengangguk pelan, lalu melangkah pergi tanpa berkata lebih. Kepergiannya menyisakan suasana kikuk di dapur itu, namun perlahan satu per satu pelayan mulai melunak.
Salah satu dari mereka—seorang perempuan bernama Parti, yang paling tua di antara mereka—akhirnya berkata pelan, “Kalau begitu… apa Nyonya muda mau membantu memotong bahan sayur dulu?”
Kanya mengangguk. Ia segera menggulung lengan gamisnya dengan cekatan.
Parti memerhatikannya. Walau gerak Kanya sedikit lebih lambat karena kaki kirinya, namun tangan gadis itu terampil saat memegang pisau. Rapi. Tenang. Tak seperti tamu rumah besar kebanyakan.
Yang dua lainnya ikut terdiam. Tapi dalam hati mereka mulai bertanya-tanya…
Istri seperti apa sebenarnya wanita ini?
Bercadar, pincang, sopan… tapi ada sesuatu dalam sikapnya yang membuat mereka tak bisa sepenuhnya menyepelekan.
Dan hari itu, di tengah aroma bawang goreng dan suara denting piring, dapur rumah besar itu mulai menerima kehadiran seorang wanita asing—yang perlahan… akan mengubah banyak hal.
Usai membantu memasak, Kanya kembali ke kamar.
Begitu membuka pintu, ia langsung disambut pemandangan yang sama seperti tadi pagi: gundukan selimut besar di sisi ranjang, tak bergerak sedikit pun. Ia berdiri sejenak, menghela napas panjang. Pria itu—suaminya—masih bergelung dalam kenyamanan tidur, seolah tak peduli pada waktu atau dunia di luar sana.
Kanya tak berkata apa-apa. Ia hanya berjalan perlahan ke arah lemari, mengambil pakaian bersih, lalu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Udara dingin menyambutnya begitu air menyentuh kulit. Tapi ia lebih memilih dingin yang membasuh tubuhnya, ketimbang dingin sikap suaminya yang sejak semalam seperti menampar-nampar harga dirinya.
Dan ketika ia selesai—dengan rambut yang masih basah dan tubuh yang bersih dibalut gamis sederhana—ia kembali ke kamar… hanya untuk menemukan Kian sudah berdiri dengan raut wajah kesal.
"Lama banget sih mandinya," gerutunya dingin, lalu melenggang masuk ke kamar mandi tanpa menunggu tanggapan.
Kanya hanya terdiam. Tak ada gunanya membalas. Ia menghela napas untuk yang entah keberapa kali pagi ini, lalu berjalan ke arah lemari pakaian Kian. Tangannya terhenti sesaat, bingung.
“Hari ini dia mau ke mana? Dan… pakai baju apa?” gumamnya lirih.
Setelah menimbang sebentar, ia mengambil celana bahan warna gelap dan kemeja putih gading—aman, netral, dan pantas dikenakan ke mana pun. Ia melipatnya rapi dan meletakkannya di atas tempat tidur.
Tak lama kemudian, pintu kamar mandi terbuka.
Dan seperti semalam, Kian muncul dengan tubuh basah, hanya dibalut handuk putih di pinggang. Air menetes dari ujung rambutnya, menelusuri dada bidang dan perut berotot yang jelas terlihat—dan seolah sengaja dibiarkan.
Kanya menunduk cepat, sudah belajar dari kejadian semalam. Tapi jantungnya masih saja memukul-mukul dinding dadanya dengan keras. Ia mencoba tetap tenang.
"Aku tak tahu hari ini kau mau ke mana,” ucapnya tanpa menatap. “Jadi aku siapkan kemeja dan celana panjang.”
Kian tak langsung merespons. Ia hanya membuka laci, mengambil boxer, lalu—tanpa rasa malu—memakainya begitu saja di depan Kanya.
Refleks, gadis itu memalingkan wajah. Bibir bawahnya tergigit, berusaha keras menenangkan detak jantung yang mulai tak beraturan.
"Kenapa sih dia selalu begitu? Seolah aku nggak ada. Apa sengaja? Buat apa?" batin Kanya penuh tanya. "Ah, nggak boleh suudzon. Mungkin... itu kebiasaannya. Tapi kenapa rasanya aneh kalau dia se-cuek itu di depanku?"
Sementara itu, Kian melanjutkan mengenakan celana panjang dengan santai. Setelahnya, ia berkata pelan tapi tegas, “Bantu aku pakai kemeja.”
Nada suaranya datar. Tapi jelas—itu perintah.
Kanya menelan ludah. Perlahan ia melangkah mendekat. Tatapannya jatuh pada rambut Kian yang masih basah, juga kulitnya yang masih mengilap oleh sisa air.
"Nggak mungkin aku bantu dia pakai kemeja dalam keadaan setengah basah begini."
"Aku ambil handuk dulu," ujarnya buru-buru tanpa menunggu tanggapan.
Tak lama kemudian ia kembali, membawa handuk. Ia menatap kursi di depan meja rias dan berkata pelan, “Duduk dulu.”
Tanpa berkata apa-apa, Kian duduk di kursi.
Dengan jantung berdebar, Kanya mulai mengeringkan punggung dan dada suaminya. Ia berusaha cepat, tapi tetap lembut, meski tangannya gemetar.
Ia sudah belajar menenangkan diri. Namun, dari balik cadar, napasnya mulai tak beraturan.
“Aku hanya membantunya mengeringkan badan dan rambut... lalu mengenakan baju.” Batinnya berusaha menenangkan diri.
Tapi kenyataannya… menyentuh pria yang sah menjadi suaminya, dengan tubuh masih setengah basah dan aroma sabun maskulin yang lekat di kulit… membuat suasana mendadak hening, sepi, dan penuh ketegangan tak kasat mata.
Kian tampak menyadari getar di ujung jemari Kanya. Tapi ia tak berkata apa-apa. Tatapannya hanya tertuju pada wajah di balik cadar itu—diam-diam mengamati sorot mata yang redup, dan gerak tubuh yang terlihat tenang... tapi kaku.
"Gadis ini… benar-benar bisa jadi hiburan," batinnya geli, tapi tak menunjukkan di wajah.
Setelah tubuh Kian kering, Kanya mulai mengeringkan rambut pria itu. Jemarinya bergerak lembut, memijit perlahan, membuat Kian merasa nyaman—meski ia enggan mengakuinya, bahkan pada diri sendiri.
Selesai dengan rambutnya, tangan kanan Kanya terulur mengambil kemeja dari ranjang. Ia membentangkannya perlahan.
Kian berdiri, tubuh tegapnya mendekat.
Saat Kanya membantu memasukkan tangan Kian ke lengan baju, kulit hangat pria itu menyentuh jemarinya sekilas.
Tangannya masih sedikit gemetar. Tapi tidak separah semalam, atau saat mengeringkan tubuh Kian tadi.
Kian tersenyum samar. Menahan tawa kecil.
“Masih juga gemetar,” ujarnya pelan.
Kanya tak menjawab. Ia hanya menunduk sedikit, menutupkan kancing terakhir di kerah kemeja itu.
“Sudah,” bisiknya lirih.
Kian masih menatapnya sesaat, sebelum berpaling. Ia mengambil ponsel dan jam tangan dari atas nakas.
Kanya kembali mundur pelan, menjaga jarak. Dalam hati, ia mencoba menata ulang detak jantungnya yang sempat kacau. Ia tak tahu kapan akan benar-benar terbiasa tinggal satu atap dengan pria ini. Tapi untuk saat ini, ia hanya bisa berusaha—dan berdoa agar Allah membantunya tetap waras.
Dan Kian? Ia diam. Tapi entah kenapa… hatinya terasa sedikit lebih hangat.
Bukan karena pakaian yang dikenakannya. Tapi karena ketulusan gadis itu—yang tak meminta apapun, tapi tetap melayani. Diam-diam, ia menyadarinya.
Dan justru karena sikap Kanya yang tanpa tuntutan itulah… pikirannya makin kacau..
Tak lama kemudian, mereka menuruni tangga menuju ruang makan. Pintu besar itu tertutup rapat, namun aroma sedap dari baliknya menggoda indera penciuman.
Begitu pintu dibuka dan Kian melangkah masuk, Kanya mengikut di belakangnya dengan langkah pelan. Di dalam, Keynan dan Aisyah sudah duduk lebih dulu.
Namun langkah Kanya sempat terhenti. Matanya—meski tersembunyi di balik cadar—memandang sosok wanita yang duduk di samping Keynan. Ia mengenakan gamis elegan berwarna pastel, jilbab panjang terurai lembut menutup dadanya, dan untuk pertama kalinya Kanya melihat wajah itu tanpa cadar. Aisyah. Wajah yang anggun, matang, dan teduh… tanpa sekat.
Subhanallah…
Dalam hati Kanya bergumam, "Ternyata wajah ibu Kian cantik sekali... bahkan dengan kerutan halus di sudut matanya, pesonanya tetap memancar."
Kanya buru-buru menunduk dan melangkah mendekat, lalu duduk di sebelah suaminya. Wajahnya tetap tertunduk sopan.
“Silakan, ayo sarapan,” ujar Keynan ramah.
Aisyah menoleh ke arah Kanya. Ada senyum hangat di wajahnya saat ia berkata, “Kanya… di sini hanya ada keluarga. Kalau kau mau, tak apa melepas cadarmu.”
Kanya terdiam.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Waktu menolong Friska - Kian masih mengaku kekasihnya - w a d u h.
Kian - baru sadar - kenapa pergi menjemput Friska. Baru ingat kata-kata papa Keynan. Dinding yang tak tahu apa-apa kau tinju - kasihan.
Ee...eehh menyalahkan Kanya - gara-gara Kanya - orang kamu juga salah.
Kian - jangan mempermainkan ikatan suci yang namanya - perkawinan. Belajarlah kembali mencoba menerima kehidupan yang bukan pilihanmu - dan nyatanya saat dihadapan ayah Hasan - kau telah memilih jalanmu. Perlakukan Kanya dengan layak sebagai seorang istri - kalau Kanya sudah nyaman - wajahnya pasti dipersebahkan untukmu - Kian...wkwkwk.
Tinggal kamunya saja yang masih besarin EGO - gimana.
Makanan kampung sangat cocok dimulut bodel Kayden.
Dibedakin mukanya juga tidak protes sampai bikin ngakak ayah Xander - juga readers pastinya - donat...donat bertoping gula lembut /Facepalm//Facepalm//Facepalm/
kanya aja sdh menyanggupi akan memberikan Hak nya kalau kamu sanggup mencintai nya Dan hidup selamanya bersamanya ..kamu aja yg plin plan mas kian
seharusnya kamu juga mikir setiap pernikahan Siri pihak yg paling di rugikan itu wanita, kalau bisa buat kanya menjadi istri sah secara agama Dan negara dulu.baru minta hakmu kian
Papa Keynan dan Mama Aisyahkah..kalo iya bagus dong biar Kian di kasih wewejang lagi dari Papa Keynan yang telah melanggar untuk menemui Friska bahkan memeluknya....
jika kamu ingin mendapatkan hakmu terimalah dulu Kanya dengan baik dan tulus saling nenerima walapun belum sepenuhnya,,minimal kamu bersikap baiklah pada Kanya jangan terlalu datar dan coba untuk mencintai Kanya...
kamu juga blum mengenal Kanya,
sebagai suami apa yang kamu ketahui tentang Kanya???
coba kamu mulai terima Kanya,jadikan dia prioritas mu, cintai dia setulus hati mu.
jangan hanya Friska doank yang kamu simpan dihati mu.
lagian kamu belum mengenal Kanya
merasa dikhianati padahal kamu dan Kian pasangan pengkhianat sebenarnya
untung Kanya wanita bijak dan taat agama,klo gak mungkin Friska udah viral karena mengambil suami orang...