Di tengah gelapnya dunia malam, seorang Gus menemukan cahaya yang tak pernah ia duga dalam diri seorang pelacur termahal bernama Ayesha.
Arsha, lelaki saleh yang tak pernah bersentuhan dengan wanita, justru jatuh cinta pada perempuan yang hidup dari dosa dan luka. Ia rela mengorbankan ratusan juta demi menebus Ayesha dari dunia kelam itu. Bukan untuk memilikinya, tetapi untuk menyelamatkannya.
Keputusannya memicu amarah orang tua dan mengguncang nama besar keluarga sang Kiyai ternama di kota itu. Seorang Gus yang ingin menikahi pelacur? Itu adalah aib yang tak termaafkan.
Namun cinta Arsha bukan cinta biasa. Cintanya yang untuk menuntun, merawat, dan membimbing. Cinta yang membuat Ayesha menemukan Tuhan kembali, dan dirinya sendiri.
Sebuah kisah tentang dua jiwa yang dipertemukan di tempat paling gelap, namun justru belajar menemukan cahaya yang tak pernah mereka bayangkan.
Gimana kisah kelanjutannya, kita simak kisah mereka di cerita Novel => Penebusan Ratu Malam.
By: Miss Ra.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Suasana di dalam perpustakaan itu seketika membeku. Kata-kata Arsha yang jujur, telanjang, dan tanpa saringan seolah merobek ketenangan yang selama ini menyelimuti ruangan penuh kitab suci tersebut.
Kiai Hafidz terdiam. Namun, itu bukan diamnya orang yang sedang merenung, melainkan diamnya gunung berapi yang siap memuntahkan laharnya. Tangan beliau yang tadi mengusap kepala Arsha kini mengepal kuat di atas meja jati. Napasnya terdengar berat, satu-satu, memenuhi keheningan yang menyesakkan.
"Astaghfirullahalazim... Astaghfirullahalazim..." lirih Kiai Hafidz. Suaranya rendah, namun getarannya sanggup membuat nyali siapa pun menciut.
Arsha tidak berani mendongak. Ia tetap menunduk dalam, menatap jemarinya yang saling bertaut erat di pangkuan. Ia bisa merasakan tatapan tajam sang Abah menembus hingga ke ulu hatinya.
"Arsha," panggil Kiai Hafidz, kini suaranya meninggi, sarat akan otoritas yang tak terbantah. "Kau sadar apa yang baru saja kau ucapkan? Kau bicara tentang masa depanmu, tentang nasab yang akan kau teruskan, dan tentang martabat pesantren ini!"
Kiai Hafidz berdiri dengan hentakan yang cukup keras hingga kursi kayunya berderit panjang. Wajahnya yang biasa teduh kini memerah tegang. Amarahnya bukan karena kebencian, melainkan karena rasa terkejut dan kecewa yang menghujam harga dirinya sebagai seorang pemimpin umat.
"Kau adalah putra mahkota Al-Falah! Ribuan pasang mata menatapmu sebagai teladan. Dan sekarang kau datang padaku, meminta restu untuk menikahi seorang wanita yang... yang kau sendiri tahu bagaimana dunia akan melabelinya?" Kiai Hafidz menjeda, napasnya memburu. "Di mana akal sehatmu, Nak?"
Arsha tetap diam. Ia tahu, dalam posisi ini, kata-kata pembelaan hanya akan dianggap sebagai pembangkangan. Ia harus menerima hantaman amarah itu sebagai bentuk penebusan.
"Ikut Abah ke ndalem sekarang," titah Kiai Hafidz tegas. Beliau menyambar sorbannya yang tergeletak di meja dengan gerakan gusar. "Hal ini tidak bisa kita bicarakan hanya berdua. Ummi-mu harus tahu putra yang ia banggakan ini ingin membawa 'noda' ke dalam rumah ini."
Tanpa menunggu jawaban, Kiai Hafidz melangkah lebar keluar dari perpustakaan. Langkah kakinya yang menghentak di lantai kayu terdengar seperti dentum peringatan. Arsha berdiri dengan lutut yang terasa lemas, namun ia memaksakan diri untuk tegak. Ia membisikkan nama Allah berkali-kali dalam hati, memohon kekuatan.
Arsha berjalan mengekor di belakang abahnya. Perjalanan melintasi taman menuju rumah utama terasa ribuan kali lebih jauh dari perjalanan Jakarta-Pesantren yang baru saja ia tempuh.
Ia melewati kembali koridor kelas santri putri. Kegaduhan yang tadi sempat tercipta kini sudah lenyap, berganti dengan keheningan karena para santriwati melihat ekspresi wajah Kiai Hafidz yang begitu tegang. Mereka menunduk dalam, tidak berani sekadar melirik. Arsha merasakan beban di pundaknya semakin berat. Ia merasa seperti seorang terpidana yang sedang digiring menuju tiang gantungan.
Ayesha... andai kamu tahu betapa sulitnya ini, batin Arsha pedih. Namun di sisi lain, ia tidak menyesali kejujurannya. Ia lebih memilih kehilangan restu dengan kejujuran daripada mendapatkan pernikahan dengan kebohongan.
Sesampainya di ruang tamu ndalem, Ummi Halimah sedang menata beberapa cangkir teh hangat di atas meja. Beliau tersenyum saat melihat suaminya datang, namun senyum itu perlahan luntur saat melihat rahang Kiai Hafidz yang mengeras dan sosok Arsha yang mengekor di belakang dengan wajah tertunduk lesu.
"Ada apa, Abah? Kenapa wajahnya mendung sekali? Baru saja Arsha sampai, kenapa sudah begini?" tanya Ummi Halimah cemas. Ia meletakkan nampan peraknya dan mendekati suaminya.
Kiai Hafidz tidak menjawab langsung. Beliau duduk di kursi kebesarannya dengan napas yang masih belum stabil. "Duduk, Arsha!" perintahnya.
Arsha duduk di kursi kayu di hadapan kedua orang tuanya. Ia merasa seperti sedang berada di ruang sidang.
"Umi," Kiai Hafidz menoleh pada istrinya. "Putramu ini... Gus-mu ini... dia ingin menikah."
Wajah Ummi Halimah seketika cerah. "Alhamdulillah! Itu kan kabar baik, Abah. Kenapa Abah malah marah? Siapa wanitanya? Arsha, kenapa tidak bilang langsung pada Ummi?"
Kiai Hafidz tertawa getir, sebuah tawa yang menyayat hati Arsha. "Kabar baik? Dengarkan dulu siapa yang ingin dia bawa ke sini. Arsha, katakan pada Ummi-mu. Katakan sejujurnya seperti yang kau katakan pada Abah tadi. Jangan ada yang dikurangi!"
Ruangan itu mendadak sunyi. Arsha menarik napas sedalam yang ia bisa. Ia menatap wajah ibunya yang penuh kasih, wajah yang selama ini selalu mendoakannya di setiap sepertiga malam.
"Ummi..." suara Arsha bergetar. "Wanita itu... Dia... Dia bernama Ayesha. Dia adalah wanita yang Arsha pilih karena Arsha melihat ketulusan taubatnya. Tapi... dia memiliki masa lalu yang sangat kelam. Dia berbeda agama. Dia... Dia juga pernah terjerumus dalam... dalam noda yang paling dibenci agama kita."
Mata Ummi Halimah membelalak. Tangannya yang tadi ingin meraih tangan Arsha terhenti di udara. "Maksudmu, Nak?"
Arsha menceritakan semuanya lagi. Tentang bagaimana Ayesha terjebak, tentang dunia malam yang menghimpitnya, dan tentang bagaimana wanita itu kini berusaha merangkak menuju cahaya Allah dengan segala luka dan trauma yang ia bawa. Arsha tidak mempercantik cerita itu. Ia menyajikannya apa adanya, sepahit mungkin.
Setiap kalimat yang keluar dari mulut Arsha seperti sembilu yang menyayat hati Ummi Halimah. Wanita mana yang tidak hancur mendengar putra kebanggaannya, seorang Gus yang suci, ingin mempersunting wanita dengan latar belakang seperti itu?
"Astaghfirullah, Arsha..." Ummi Halimah menutup mulutnya dengan tangan, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Kenapa harus dia, Nak? Di luar sana ada ribuan santriwati yang hafidzah, yang terjaga nasabnya, yang menantimu... Kenapa kamu memilih jalan yang begitu terjal?"
"Karena Arsha melihat cahaya Allah di matanya, Ummi," jawab Arsha dengan suara yang kini lebih stabil, meskipun tetap rendah. "Arsha tidak memilih masa lalunya, Arsha memilih masa depannya. Arsha ingin menjadi wasilah baginya untuk tetap istiqomah."
"Cukup!" Kiai Hafidz memotong dengan suara menggelegar. Beliau berdiri lagi, menunjuk ke arah pintu. "Pesantren ini dibangun dengan tetesan keringat dan air mata para leluhur untuk menjaga kesucian ilmu. Bagaimana mungkin kau ingin mencampuradukkan kesucian itu dengan sesuatu yang kotor?"
"Abah, bukankah Allah Maha Pengampun?" Arsha memberanikan diri sedikit menyanggah. "Bukankah Nabi menerima taubat siapa pun? Jika kita menutup pintu bagi mereka yang ingin kembali, lalu di mana letak rahmatan lil 'alamin yang selama ini kita ajarkan?"
"Jangan mengguruiku tentang dalil, Arsha!" bentak Kiai Hafidz. "Aku tahu tentang taubat, tapi aku juga tahu tentang maslahat. Menikahimu dengan dia bukan hanya tentang kalian berdua, tapi tentang bagaimana santri-santrimu nanti memandangmu! Bagaimana jika dunia mencemooh Al-Falah karena memiliki menantu seperti itu?"
Arsha terdiam. Pertanyaan abahnya adalah kenyataan pahit yang juga menghantui pikirannya. Namun, ia teringat janji yang ia ucapkan pada Ayesha di apartemen kemarin. Ia teringat mata Ayesha yang penuh ketakutan akan penolakan.
Ummi Halimah kini terisak pelan. Hatinya terbelah antara rasa sayang pada putranya dan tanggung jawab menjaga kehormatan keluarga.
"Arsha," ucap Ummi Halimah di sela tangisnya. "Pikirkan lagi, Nak. Ummi sangat menyayangimu. Ummi ingin yang terbaik untukmu. Jangan biarkan perasaan sesaat menghancurkan apa yang sudah dibangun Abahmu puluhan tahun."
Arsha bersimpuh di kaki ibunya, lalu berpindah ke kaki ayahnya. Ia mencium kaki kedua orang tuanya itu dengan penuh kehancuran hati.
"Abah, Ummi... Arsha tidak bermaksud merendahkan martabat keluarga. Arsha hanya ingin menjalankan apa yang Arsha yakini benar di mata Allah. Jika Abah dan Ummi tidak merestui, Ayesha sudah berpesan... Arsha harus pergi dari hidupnya selamanya."
Arsha mendongak, matanya kini basah oleh air mata yang sedari tadi ia tahan. "Tapi sebelum Arsha melakukan itu, Arsha mohon... beri Arsha satu kesempatan untuk menunjukkan siapa Ayesha sebenarnya. Jangan hukum dia karena masa lalunya yang sudah dia tangisi setiap malam."
Kiai Hafidz memalingkan wajah, tidak sanggup melihat wajah memelas putranya. Ruang tamu itu kini dipenuhi aroma kesedihan yang pekat.
"Abah tidak bisa memberi keputusan sekarang," ucap Kiai Hafidz dengan suara yang mendingin. "Masuklah ke kamarmu. Shalatlah, minta petunjuk pada Allah. Dan jangan keluar dari pesantren sebelum Abah yang memintanya."
Arsha mengangguk lemah. Ia berdiri dengan sisa tenaganya, menyalami tangan kedua orang tuanya yang terasa dingin, lalu berjalan gontai menuju kamarnya di lantai dua ndalem.
Di kamarnya yang sederhana, Arsha langsung jatuh tersungkur di atas karpet. Ia meraih ponselnya sejenak, melihat foto profil Ayesha yang kosong. Ia ingin mengirim pesan, ingin mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja, namun ia tidak ingin berbohong.
Ayesha... pertaruhan ini baru saja dimulai, bisiknya dalam hati sebelum akhirnya menenggelamkan wajahnya dalam sujud yang panjang.
...----------------...
Next Episode....
duh Gusti nu maha agung.... selamatkan keduanya.