Sharon tidak mengerti mengapa takdir hidupnya begitu rumit. Kekasihnya berselingkuh dengan seseorang yang sudah merenggut segalanya dari dirinya dan ibunya. Lalu ia pun harus bertemu dengan laki-laki kejam dan melewatkan malam panas dengannya. Malam panas yang akhirnya makin meluluhlantakkan kehidupannya.
"Ambil ini! Anggap ini sebagai pengganti untuk malam tadi dan jangan muncul lagi di hadapanku."
"Aku tidak membutuhkan uangmu, berengsekkk!"
Namun bagaimana bila akhirnya Sharon mengandung anak dari laki-laki yang ternyata seorang Cassanova tersebut?
Haruskah ia memberitahukannya pada laki-laki kejam tersebut atau menyembunyikannya?
Temukan jawabannya hanya di BENIH SANG CASSANOVA 2.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Bab 22. Kenangan masa lalu
Sore itu, saat Dion pulang ke rumah, aroma harum masakan khas rumahan langsung menyambut hidungnya. Rumah itu terasa hangat, sehangat senyum ibunya, Alda, yang sudah berdiri di ambang pintu dengan celemek di pinggang.
"Eh, Dion! Baru pulang?" sapa Alda ceria sambil mengelap tangan dengan lap kecil.
"Iya, Ma," jawab Dion sambil mengecup tangan ibunya. "Ma, masak apa wangi banget?"
"Masak ayam kecap kesukaan kamu," ujar Alda sambil tersenyum lebar. "Eh, Dion ... Mama mau nanya deh."
Dion, yang sudah melepas sepatu dan hendak berjalan ke ruang makan, menoleh penasaran. "Nanya apa, Ma?"
Alda mendekatinya sambil tersenyum penuh arti. "Itu lho ... kapan kamu ajak Sharon sama anak-anaknya makan malam di sini? Mama udah kangen lihat mereka. Apalagi Xaviera dan Xaviero, lucu banget, kayak boneka. Mana muka mereka mirip kamu juga. Apa jangan-jangan sebenarnya mereka itu anak kamu?"
Dion terkekeh pelan. "Mama jangan ngada-ngada deh." Dion terkekeh. "Iya, Ma, nanti aku atur waktunya. Sharon sekarang lagi sibuk juga."
Alda melipat tangan di dada, matanya berbinar-binar. "Kalau bisa sekalian bawa kabar baik ya, Nak. Kapan kamu dan Sharon mau meresmikan hubungan kalian? Mama tuh udah nggak sabar lihat kamu bahagia, punya keluarga sendiri."
Dion hanya bisa tersenyum kecil, ada rasa hangat sekaligus getir yang mengalir di dadanya. Ia tahu maksud ibunya baik, tapi dia juga sadar, perasaan Sharon masih perlu waktu.
"Doain aja ya, Ma," kata Dion akhirnya. "Aku nggak mau buru-buru. Aku mau Sharon benar-benar yakin sama aku."
Alda mengusap lengan Dion dengan lembut. "Mama doain setiap hari, Nak. Semoga Tuhan kasih jalan terbaik buat kamu."
Setelah sedikit mengobrol, Dion pamit naik ke atas untuk beristirahat. Ia menaiki tangga perlahan, tapi saat melewati lantai dua, langkahnya otomatis melambat.
Pintu ruang kerja ayahnya sedikit terbuka. Dari sela pintu, Dion bisa melihat sang ayah duduk di kursi besar, menatap televisi dengan pandangan kosong.
Penasaran, Dion mendekat tanpa mengeluarkan suara.
Di layar televisi, sedang ditayangkan liputan tentang keberhasilan seorang pengusaha muda yang membesarkan perusahaan keluarganya hingga sukses di tingkat internasional. Ada cuplikan pabrik-pabrik megah, ruang meeting mewah, hingga gala dinner besar-besaran.
Dion memperhatikan raut wajah ayahnya—wajah yang biasanya tegas itu kini terlihat sendu, matanya kosong, seperti terbawa jauh ke dalam pikirannya sendiri.
Dion menghela napas panjang.
Ia tahu persis apa yang sedang dipikirkan ayahnya.
Diam-diam, Dion mengetuk pintu.
"Pa," panggilnya pelan.
Ayahnya menoleh, lalu mematikan televisi cepat-cepat, seolah malu ketahuan larut dalam kenangan.
"Sudah pulang, Nak?" suara ayah Dion terdengar biasa saja, tapi Dion bisa merasakan ada getir di baliknya.
"Iya, Pa. Mau aku bikinin teh?" tawar Dion.
Sang ayah tersenyum tipis. "Nggak usah. Kamu istirahat aja. Papa cuma lagi ... nonton sambil mikir-mikir aja."
Dion mendekat, lalu duduk di kursi seberang. Ia tak berkata apa-apa, hanya menemani. Kadang, kehadiran diam seperti itu lebih berarti daripada seribu kata.
Setelah beberapa saat, sang ayah berkata pelan, "Papa bangga sama kamu, Dion. Walaupun Papa mungkin nggak bisa kasih warisan besar, tapi kamu tetap jalanin hidup kamu dengan jujur dan berusaha keras. Itu lebih penting daripada semua yang Papa gagal raih."
Dion merasakan dadanya menghangat sekaligus sesak. Ia tersenyum, menahan emosi.
"Kalau Papa mau tahu," ucap Dion perlahan, "aku justru belajar dari Papa. Belajar untuk bangkit, belajar untuk tetap rendah hati, dan belajar untuk menghargai apa pun yang aku punya."
Sang ayah mengangguk pelan, matanya sedikit berkaca-kaca. "Terima kasih, Nak."
Keheningan kembali menyelimuti ruangan, tapi kali ini, bukan karena kesedihan. Melainkan karena adanya pemahaman mendalam antara ayah dan anak bahwa meskipun masa lalu penuh luka, masa depan tetap bisa diisi dengan harapan.
...***...
Di kamarnya yang tenang, Sharon duduk bersandar di ranjang sambil memegang ponsel. Lampu tidur menyala temaram, membiarkan bayang-bayang lembut menari di dinding. Di pangkuannya, Xaviera dan Xaviero sudah terlelap, masing-masing memeluk boneka kesayangan mereka.
Untuk mengisi waktu sebelum tidur, Sharon berselancar di media sosial, melihat kabar-kabar ringan tentang dunia luar yang terasa begitu jauh dari kehidupannya. Ia menggulir layar tanpa tujuan, hingga sebuah headline menarik perhatiannya.
"Leonardo Xavier Reynaldi dan Metha Adi Prawira Resmi Umumkan Rencana Pernikahan Mereka Tahun Ini!"
Mata Sharon membelalak, jemarinya otomatis berhenti menggulir.
Foto besar Leon dan Metha terpampang jelas. Leon mengenakan setelan jas santai, tersenyum lebar, sementara Metha tampak memeluk lengannya dengan penuh kepemilikan.
Raut wajah Sharon perlahan berubah sendu. Ada sesuatu yang menyesak di dadanya. Ia tahu ia tak punya hak apa-apa atas Leon. Ia pun tak pernah menuntut hak ataupun meminta pertanggungjawaban apa pun darinya, bahkan soal anak-anak mereka.
Namun tetap saja, melihat Leon akan menikah, bukan dengan dirinya atau bahkan sekadar menyadari keberadaan Xaviera dan Xaviero, membuat hatinya terasa miris.
Ia menoleh ke arah kedua buah hatinya yang tidur pulas, wajah mereka damai, tak menyadari apa pun.
"Maafin Mama, Nak...," bisik Sharon dalam hati. "Mama tahu kalian pantas punya sosok ayah. Tapi Mama juga takut ... takut kalian terluka."
Sharon menggigit bibir bawahnya, menahan gejolak emosi yang mulai meluap. Ia mengusap kepala Xaviera dan Xaviero dengan lembut, seolah dengan sentuhan itu ia bisa menenangkan hatinya sendiri.
...***...
Di tempat lain, di sebuah apartemen mewah yang sunyi, Leon menatap ponselnya dengan kening berkerut. Ia baru saja menerima banyak pesan dan mention di media sosial, hampir semuanya membahas hal yang sama—pernikahannya dengan Metha.
Pernikahan?
Dipercepat?
Leon bahkan tidak pernah membicarakan hal itu!
Dengan tangan gemetar oleh emosi yang campur aduk, ia langsung menekan tombol panggilan ke Metha.
Nada sambung berdering beberapa kali sebelum akhirnya Metha mengangkat dengan suara manja, "Leon? Ada apa sayang, kok malem-malem nelepon?"
Leon mengeraskan suaranya, nadanya dingin. "Metha, apa yang kamu lakukan?"
Metha terdengar bingung. "Maksud kamu apa?"
"Kenapa semua orang ngomongin soal pernikahan kita? Kenapa ada berita tentang pernikahan kita yang dipercepat?! Aku bahkan nggak pernah setuju apa pun soal itu!" Leon hampir membentak. Leon benar-benar terkejut. Bahkan foto dia dan Metha yang bergandengan mesra sambil tersenyum lebar tersebar luas. Sementara ia saja tak pernah mengambil foto seperti itu. Dan kalaupun pernah, ekspresinya selalu datar. Tidak sampai tersenyum lebar seperti itu. Jelas itu adalah hasil editan.
Metha terdiam beberapa saat, lalu dengan cepat mencari alasan. "Aku juga baru tahu, Leon! Sumpah, ini bukan aku yang atur. Semua ini ... perintah Aunty Mey."
Leon terdiam, berusaha mencerna.
"Mama?" gumamnya.
"Iya," lanjut Metha dengan suara merajuk. "Tante Mey pikir ini saat yang tepat buat mengumumkan ke publik. Biar semua orang tahu, kamu serius sama aku. Dia cuma mau yang terbaik buat kamu, aku, dan perusahaan keluarga kita."
Leon menekan pelipisnya dengan frustrasi. Ini jelas lebih dari sekadar 'mau yang terbaik'. Ini manipulasi. Dan selama ini, ia membiarkan dirinya terjebak dalam permainan yang ia bahkan tidak sepenuhnya pahami.
"Metha, aku nggak suka caranya," kata Leon tajam. "Aku nggak pernah kasih izin buat semua ini. Dan mulai sekarang, aku mau kamu konsultasi sama aku dulu sebelum ngambil langkah apa pun itu."
Suara Metha terdengar sedikit ketakutan. "Iya, Leon ... Maaf ... Aku cuma nurut sama Tante Mey. Aku kira kamu bakal seneng."
Leon memutuskan panggilan tanpa membalas.
Ia menjatuhkan ponselnya ke sofa, membenamkan wajah di kedua telapak tangannya.
Ada rasa asing yang menyesakkan dadanya. Sebuah firasat buruk yang tak bisa ia abaikan. Ia menatap langit-langit kosong apartemen itu, seolah mencari jawaban:
"Apa aku sedang membuat kesalahan besar?"
Bersambung...
Fyi: Alhamdulillah retensinya cukup. Tapi sekadar cukup. Nggak gede. Entah di mana salahnya. Soalnya retensi kan dibaca oleh sistem dari pembaca itu sendiri. Yang was-was itu pas 40 bab entar. Semoga aja tetap aman deh. Aamiin. ☺️
Semoga ini jd awal yg baik bagi Leon bisa ketemu sm ank2nya jg sharon
semoga di mudahkan dan dilancarkan ya..
padahal ceritanya bagus lho