Masih kelanjutan dari PETUALANGAN AJI DI MASA DEPAN.
Petualangan Aji kali ini lebih kelam. Tidak ada Pretty, dkk. Hanya dirinya, Sari (adiknya), bidadari nyentrik bernama Nawang Wulan, Tumijan, Wijaya, dan beberapa teman barunya seperti Bonar dan Batubara.
Petualangan yang lebih kelam. Agak-agak horor. Penuh unsur thriller. Sungguh tak bisa ditebak.
Bagaimanakah dengan nasib Pretty, dkk? Oh, tenang, mereka masih memiliki porsi di serial ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IG @nuellubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Asal Usul Legenda Jaka Tarub
Sudah seminggu ini, Aji berada di tempat tinggal Jaka Kerub. Di sana ia lumayan sering bersemedi. Ia pun diajarkan bermacam-macam aji-aji. Jaka Kerub juga menceritakan beragam petualangan waktunya. Ternyata Jaka Kerub pun sama seperti Aji. Ia pernah terlempar ke berbagai zaman.
"Kau tahu tentang legenda Jaka Tarub?" tanya Jaka Kerub sambil mengunyah daging rusa buruannya.
"Kakek buyutku pernah bercerita tentang itu," jawab Aji sembari ikut makan daging rusa. "Itu legenda, yang entah benar, entah hanya dongeng, tentang seorang pria yang mengintip tujuh bidadari yang sedang mandi di sungai."
Sekonyong-konyong Aji teringat dengan pengalamannya yang serupa dengan legenda tersebut. Bagaimana dirinya bisa mengenal perempuan bidadari bernama Nawang Wulan. tersebut.
*****
(lihat BAB 233 dari PETUALANGAN AJI DI MASA DEPAN)
Aji berjongkok di balik semak, berusaha menahan napas. Suara gemericik air sungai terdengar jernih, berpadu dengan tawa riang tujuh perempuan yang sedang mandi. Aroma bunga kenanga yang mereka gunakan untuk membilas rambut tercium lembut di udara. Cahaya matahari sore menembus sela pepohonan, menimpa air sungai dan memantul ke wajah mereka, membuat kulit mereka berkilau keemasan.
Spontan Aji menelan ludah. Ia tahu bahwa yang sedang dilihatnya bukan pemandangan biasa. Perempuan-perempuan itu bukan perempuan desa biasa. Gerak-gerik mereka terlalu anggun, suara mereka terlalu merdu, dan aura di sekitar mereka terlalu kuat untuk manusia biasa.
Apalagi perempuan ketujuh.Ia memiliki rambut hitam legam yang panjangnya sampai ke pinggang, matanya bulat, dan kulitnya seputih melati. Saat tertawa, lesung pipinya muncul jelas. saat air membasahi bahunya yang jenjang, Aji merasa jantungnya berdetak dua kali lebih cepat.
“Cantik sekali…” bisik Aji tanpa sadar.
Namun sebelum ia sempat beranjak, salah satu dari tujuh perempuan itu tiba-tiba menoleh. Seolah mendengar sesuatu. Aji langsung menunduk, berusaha bersembunyi di balik semak. Namun sepertinya keberuntungannya habis. Mendadak ada ekor burung yang bertengger di dahan terkejut dan terbang, membuat dedaunan bergetar keras.
“Siapa di sana!?” suara nyaring menggema.
Aji membeku. Ia tahu kalau ia tidak segera bertindak, ia akan ketahuan. Matanya cepat menyapu sekitar. Pandangannya tertumbuk pada selendang ungu yang tadi ditaruh di antara bebatuan.
Entah karena panik atau karena takdir yang bermain, tangan Aji secara refleks mengambil selendang itu dan berlari ke arah hutan kecil di tepi sungai.
“Selendangku!” teriak perempuan ketujuh, suaranya nyaring dan bergetar antara marah dan panik.
Tujuh perempuan itu segera keluar dari sungai. Tubuh mereka bersinar samar. Pada saat mereka berpakaian, Aji baru menyadari sesuatu bahwa mereka bukan manusia biasa. Dari ujung telapak kaki mereka yang tak menyentuh tanah, dari aroma wangi yang makin pekat, Aji tahu mereka lebih mirip bidadari.
Aji terus berlari sampai napasnya hampir habis. Ia berhenti di balik pepohonan besar, lalu menatap selendang ungu di tangannya. Kain itu lembut luar biasa, seperti terbuat dari cahaya bulan. Saat disentuh, terasa hangat, tapi juga menenangkan.
*****
Jaka Kerub tertawa saat Aji menceritakan kisahnya bertemu dengan Nawang Wulan da enam saudarinya tersebut. Ujarnya, "Sebetulnya itu terjadi saat aku masih seusia kau, Aji. Aku tahu tentang bidadari yang sekarang menemanimu hingga tanah ini. Dia namanya Nawang Wulan, bukan?"
Aji terperangah. Ia memilih untuk tak menjawab apa-apa. Pikir Aji, 'Sakti benar kesaktiannya Jaka Kerub ini.'
Jaka Kerub berhenti mengunyah. Tatapannya kini lurus, jauh lebih dalam daripada sekadar rasa ingin tahu. Api unggun di depan mereka berkeretak kecil, memantulkan cahaya jingga ke wajah tua itu.
“Kau tak perlu menjawabnya,” katanya pelan. “Aku bisa merasakan jejaknya. Aura kahyangan itu menempel padamu. Ia terasa halus, tapi sedikit mengganggu sebetulnya.”
Aji menghela napas. Sudah terlalu banyak orang yang menyinggung tentang jejak di dalam dirinya, namun dari mulut Jaka Kerub, kata itu terasa lebih nyata. “Kalau begitu, Kakek tahu juga bagaimana akhir cerita Jaka Tarub?”
Jaka Kerub tersenyum miring. “Legenda selalu dipotong di bagian yang membuat manusia tampak bodoh. Padahal yang tidak diceritakan justru yang paling penting.”
Ia menambahkan kayu ke api, lalu melanjutkan, “Bukan selendangnya yang membuat bidadari itu kembali ke kahyangan. Tapi kesadarannya sendiri, yang membuat dia bisa pulang ke kahyangan. Saat Nawang Wulan—atau siapa pun namanya di masa itu—menyadari dirinya sedang ditahan oleh nafsu dan rasa memiliki seorang manusia pria. Pria itu adalah aku.”
Aji terdiam. Ingatannya melompat ke semua momen bersama Nawang Wulan. Cara dirinya menahan untuk tak bertanya terlalu banyak, untuk tak menggenggam terlalu erat, karena setiap kali ia melakukannya, pasti sesuatu seperti jarak tak kasatmata selalu tercipta.
“Kau berbeda dengan Jaka Tarub,” lanjut Jaka Kerub. “Kau tidak mencuri untuk memiliki. Kau mencuri—atau tepatnya terseret—karena kau adalah titik lintasan.”
“Lintasan?” ulang Aji.
“Ya, Aji. Lintasan antara manusia, kahyangan, dan dunia yang lebih gelap.” Jaka Kerub menatap api. “Dan itulah sebabnya adikmu diambil. Mereka yang tinggal di lapisan bawah sadar dunia tidak tertarik pada darah bangsawan, tidak pula pada prajurit. Mereka tertarik pada poros.”
Aji mengepalkan tangan. “Aku ingin menghentikan semua ini. Aku lelah menjadi poros sepertinya.”
Jaka Kerub tersenyum tipis, tapi ada kepedihan di sana. “Dulu aku juga berkata begitu. Tapi waktu tidak pernah mau melepaskan orang-orang terpilih. Ia hanya memilih siapa yang cukup keras untuk tidak hancur begitu saja.”
Malam semakin larut. Angin menggeser dedaunan di sekitar pondok. Aji akhirnya berbicara, ragu namun jujur, “Kalau Kakek pernah seperti aku… apakah Kakek pernah kehilangan seseorang?”
Jaka Kerub terdiam lama. Lalu ia mengangguk sekali. “Lebih dari satu. Dan sampai hari ini, aku masih menjadi titik temu bagi kenangan mereka.”
Aji menelan ludah. “Apakah Sari akan kembali?”
“Kalau kau siap kehilangan sesuatu sebagai gantinya,” jawab Jaka Kerub tanpa menatapnya.
Api unggun mengecil. Di kejauhan, bulan menggantung tepat di atas Danau Toba, bulat dan pucat. Aji merasa dadanya berat, tapi untuk kali pertama ia tahu bahwa jalan ke depan bukan sekadar tentang keberanian, melainkan keikhlasan.
Lalu, pada malam itu, di tempat terpencil milik Jaka Kerub, Aji mulai memahami satu hal. Bahwasanya selendang bidadari bukanlah simbol cinta, melainkan pengingat bahwa tak semua yang singgah boleh ditahan-tahan.