NovelToon NovelToon
DEWA PERANG NAGA TERLARANG: Menantu Sampah Yang Mengguncang Langit

DEWA PERANG NAGA TERLARANG: Menantu Sampah Yang Mengguncang Langit

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Balas Dendam / Robot AI / Anak Yang Berpenyakit / Kultivasi Modern
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Zen Feng

Baskara—menantu sampah dengan Sukma hancur—dibuang ke Jurang Larangan untuk mati. Namun darahnya membangunkan Sistem Naga Penelan, warisan terlarang yang membuatnya bisa menyerap kekuatan setiap musuh yang ia bunuh. Kini ia kembali sebagai predator yang menyamar menjadi domba, siap menagih hutang darah dan membuat seluruh kahyangan berlutut. Dari sampah terhina menjadi Dewa Perang—inilah perjalanan balas dendam yang akan mengguncang sembilan langit!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zen Feng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 26: DOSA MASA LALU

Malam jatuh menyelimuti Kota Batu Karang laksana laut hitam yang pekat.

Di dalam kamarnya yang mewah namun terasa dingin dan kosong, Wibawa Cakrawala duduk di tepi ranjang. Kepalanya tertunduk, tangannya yang gemetar mencengkeram leher botol arak yang sudah setengah kosong.

Besok adalah final.

Besok dia harus berhadapan dengan Baskara.

Besok... dia mungkin akan mati.

Ia mengangkat botol itu, menenggak isinya dengan rakus, membiarkan cairan berapi itu membakar tenggorokannya, mencoba mengusir rasa dingin yang merayapi tulang punggungnya.

'Seperti Ayah...'

Pikiran itu menyusup tiba-tiba, membuat Wibawa tertawa getir. Tawa yang terdengar seperti pecahan kaca.

'Aku mulai menjadi menyedihkan seperti pria yang kubunuh itu.'

Matanya menatap kosong pada bayangan lilin yang menari liar di dinding. Dan perlahan, seperti hantu yang dipanggil oleh ketakutan, kenangan masa lalu yang sudah lama ia kubur dalam-dalam mulai mengapung ke permukaan.

Kenangan yang penuh darah dan kebencian.

FLASHBACK - 15 TAHUN YANG LALU

"KAU TIDAK BERGUNA!"

Teriakan melengking ibunya—Ike—memecah keheningan malam, seperti petir yang menyambar rumah tangga mereka.

Wibawa kecil, baru berusia tujuh tahun, meringkuk di balik pintu kayu yang sedikit terbuka. Mata kecilnya mengintip ke ruang tengah, menyaksikan pemandangan yang sudah menjadi makanan sehari-harinya.

Lagi. Lagi dan lagi.

"Aku sudah berusaha, Sayang!" suara ayahnya—Sunari—terdengar parau, lelah, dan penuh keputusasaan. "Aku sudah mencoba mendekati Dharma! Aku sudah—"

PLAK!

Tamparan keras mendarat di pipi Sunari. Wajah pria itu tertoleh ke samping, pipinya memerah seketika.

Wibawa melihat ibunya berdiri di sana dengan wajah penuh penghinaan, seolah sedang menatap kotoran, bukan suaminya sendiri.

"Berusaha?!" Ike tertawa—tawa yang tajam mengiris hati. "Kau bahkan gagal di babak pertama turnamen keluarga! BABAK PERTAMA! Bahkan kultivator sampah dari cabang pinggiran pun bisa lolos! Kau mempermalukanku!"

Sunari menunduk, bahunya merosot. Ia tidak berani menatap mata istrinya. Tidak berani melawan.

Dan di balik pintu, Wibawa kecil merasakan sesuatu retak di dalam dadanya.

Lemah. Ayahnya sangat lemah.

"Kau tahu kenapa aku menikahimu?" Ike melangkah maju, telunjuknya menusuk-nusuk dada Sunari dengan kasar. "Karena aku pikir kau akan jadi Patriark! Aku pikir kau akan membawa keluarga kita ke puncak! Tapi apa? KAU HANYA PECUNDANG MENYEDIHKAN!"

"Ike, kumohon... jangan bicara begitu... Wibawa bisa mendengar—"

"WIBAWA HARUS TAHU!" teriak Ike, menoleh ganas ke arah pintu tempat Wibawa bersembunyi. Tatapannya menusuk tajam ke arah anaknya sendiri. "Dia harus tahu bahwa ayahnya adalah sampah! Agar dia tidak tumbuh menjadi pecundang sepertimu!"

Sunari hanya diam. Hancur.

Malam itu, Wibawa kecil belajar pelajaran pertamanya yang paling kejam:

Kekuatan adalah segalanya. Kelemahan adalah dosa yang tak terampuni.

BEBERAPA BULAN KEMUDIAN

Wibawa terbangun tengah malam oleh suara aneh dari kamar orang tuanya.

Bukan suara pertengkaran kali ini.

Tapi... suara isak tangis.

Ayahnya menangis.

Wibawa berjalan jinjit, mengintip lewat celah pintu. Ia melihat ayahnya duduk sendirian di tepi ranjang, wajahnya tertutup kedua tangan, tubuhnya terguncang hebat.

"Aku tidak berguna," bisik Sunari berulang-ulang seperti mantra kutukan. "Aku sampah... aku sampah..."

Keesokan harinya, Wibawa melihat ayahnya keluar rumah dengan langkah gontai. Bukan menuju tempat latihan, tapi menuju distrik lampu merah di pinggiran kota.

Rumah bordil.

Wibawa mengikutinya diam-diam.

Tiga jam kemudian, Sunari keluar dengan sempoyongan, mabuk berat, bau arak murah menyengat, dengan bekas lipstik wanita asing di lehernya.

Saat itulah, Wibawa kecil merasakan rasa hormatnya mati sepenuhnya.

'Ini yang dilakukan orang lemah. Mereka lari. Mereka mabuk. Mereka mencari pelarian.'

Sejak hari itu, Wibawa berhenti memanggil Sunari sebagai "Ayah".

Baginya, pria itu sudah mati.

2 TAHUN KEMUDIAN - WIBAWA 10 TAHUN

"LAGI! PUKUL LAGI!"

Ike berdiri di halaman belakang, memegang cambuk rotan. Matanya menyala gila mengawasi Wibawa yang berlatih memukul batang kayu hingga tangannya berdarah-darah.

"Ibu... sakit... aku lelah..."

CTAR!

Cambuk melayang, menyabet punggung kecil Wibawa.

"JANGAN MERENGEK!" teriak Ike histeris. "KAU TERDENGAR LEMAH SEPERTI AYAHMU! AKU TIDAK AKAN MEMBIARKANMU JADI SEPERTI DIA! KAU HARUS KUAT! KAU HARUS JADI PATRIARK!"

Wibawa menggigit bibir hingga berdarah, menahan air mata, dan kembali memukul kayu itu.

'Aku tidak boleh lemah. Aku tidak boleh seperti dia.'

Malam harinya, saat Ike sudah pergi, seseorang datang menghampirinya di tempat latihan.

Tetua Satriya. Kakeknya. Ayah dari Sunari.

Pria tua dengan aura Inti Emas Bintang 4 itu memandang Wibawa, lalu melirik sinis ke arah kamar tempat Sunari tidur dalam keadaan mabuk.

"Cucuku," suara Satriya rendah namun berwibawa. "Nasibmu harus lebih baik dari ayahmu. Ayo, ikut Kakek. Aku akan melatihmu menjadi naga."

Wibawa, yang haus akan sosok panutan yang kuat, mengikutinya tanpa ragu.

Tetua Satriya melatihnya dengan keras—jauh lebih sadis dari ibunya—tapi efektif.

Dalam setahun, Wibawa mencapai Ranah Penempaan Tubuh Bintang 5. Jenius kecil.

"Bagus," puji Satriya, mengelus kepala Wibawa. "Kau adalah kebanggaanku. Tidak seperti sampah itu."

Wibawa merasakan kebanggaan yang membuncah.

Namun, kebanggaan itu perlahan bercampur dengan racun yang mematikan. Karena semakin dekat ia dengan kakeknya, semakin ia melihat... kegelapan yang tersembunyi di balik dinding kediaman itu.

3 TAHUN KEMUDIAN - MALAM JAHANAM

Wibawa, kini 13 tahun, terbangun karena haus. Ia berjalan menuju dapur, namun langkahnya terhenti saat mendengar suara aneh dari ruang latihan pribadi Tetua Satriya.

Suara desahan. Suara dua orang.

Didorong rasa penasaran, ia mendekat. Mengintip dari celah ventilasi.

Dan apa yang ia lihat membuat darahnya membeku, lalu mendidih.

Tetua Satriya. Dan Ike, ibunya.

Mereka tidak sedang berlatih.

Mereka bergumul. Intim. Menjijikkan.

Lebih dari sekadar mertua dan menantu.

Wibawa mundur perlahan, tangannya membekap mulut agar tidak muntah.

Ia berlari kembali ke kamarnya, meringkuk di bawah selimut dengan tubuh gemetar.

'Kakek... dan Ibu...'

Dunia Wibawa yang sudah retak, kini hancur lebur. Beberapa hari setelahnya, gosip mulai menyebar di kalangan pelayan. Bisik-bisik tetangga. Dan sebulan kemudian, gosip itu sampai ke telinga Sunari.

MALAM PEMBUNUHAN - WIBAWA 13 TAHUN

Sunari mendobrak masuk ke kediaman Tetua Satriya. Matanya merah, napasnya bau alkohol, tapi di tangannya tergenggam sebuah pisau dapur yang berkilat.

"AYAH!" teriaknya, suaranya pecah oleh sakit hati yang tak tertahankan. "KELUAR KAU, TUA BANGKA BIADAB! KELUAR!"

Wibawa terbangun. Ia keluar ke halaman dan melihat ayahnya berdiri di sana, menangis sambil mengacungkan pisau.

"Kau... kau tidur dengan istriku..." Sunari meraung. "Anakku... cucumu sendiri... bagaimana bisa kau..."

Tetua Satriya tidak muncul. Pintu kamarnya tertutup rapat.

Tapi Wibawa... ia melangkah keluar dari bayangan pilar.

"Ayah," panggilnya dingin. Terlalu dingin untuk anak 13 tahun. "Apa yang kau lakukan?"

Sunari berbalik, air mata membasahi wajahnya yang kusut. "Wibawa... Nak... Kakekmu... dia iblis... dia dan Ibumu..."

"Lalu?" Wibawa melangkah mendekat. "Kau mau membunuhnya? Dengan pisau dapur itu? Dengan kekuatanmu yang menyedihkan?"

"Wi-Wibawa... kau tidak mengerti—"

"Aku mengerti," potong Wibawa. Ia kini berdiri tepat di hadapan ayahnya.

"Aku mengerti bahwa kau terlalu lemah untuk menjaga istrimu. Terlalu lemah untuk membuat orang menghormatimu. Terlalu lemah untuk hidup di dunia ini."

Sunari tersentak. Ia menatap anaknya seolah melihat orang asing. "Apa... apa yang mereka lakukan padamu..."

"Mereka menjadikanku kuat," jawab Wibawa. Tangannya terangkat, dialiri Prana merah Ranah Pengumpulan Prana Bintang 2. "Sesuatu yang tidak pernah bisa kau lakukan."

"Tidak... Wibawa... jangan..."

Terlambat.

Satu hantaman.

BUAGH!

Wibawa menghantam dada ayahnya dengan telapak tangan penuh Prana.

Jantung Sunari, yang sudah lemah karena alkohol dan kesedihan, berhenti seketika. Tubuhnya terpental, menghantam dinding, lalu merosot ke tanah.

Mata itu terbuka, tapi tak ada lagi cahaya di dalamnya.

Mati. Di tangan anaknya sendiri.

Wibawa berdiri di sana, menatap mayat ayahnya. Tangannya masih terulur.

Ia menunggu rasa sedih datang. Menunggu rasa bersalah.

Tapi tidak ada.

Hanya... kekosongan.

Pintu kamar terbuka. Tetua Satriya keluar, menatap mayat anaknya dan cucunya yang berdiri tegak.

Pria tua itu tersenyum tipis.

"Bagus," bisiknya. "Kau sudah membuang kelemahanmu."

Sebulan kemudian, Ike ditemukan gantung diri di kamarnya karena tidak tahan dengan rasa malu dan tekanan batin. Wibawa tidak meneteskan air mata di pemakamannya.

Sejak saat itu, hati Wibawa menjadi lubang hitam.

Ia mengisi kekosongan itu dengan ambisi. Dengan kekuasaan.

Dan dengan obsesi pada satu-satunya hal yang terlihat murni di matanya: Larasati.

Sepupunya yang cantik dan lembut. Cahaya yang ingin ia miliki untuk mengusir kegelapannya sendiri.

Namun Larasati menolaknya. Lagi dan lagi.

Dan ketika Larasati memilih Baskara—seorang sampah yang mirip dengan ayahnya—kebencian Wibawa meledak.

Ia melihat bayangan ayahnya dalam diri Baskara.

Dan ia ingin membunuhnya. Berulang kali.

KEMBALI KE MASA KINI

PRANG!

Wibawa melempar botol arak kosong ke dinding hingga hancur berkeping-keping. Napasnya memburu, matanya basah oleh air mata frustrasi.

'Besok aku harus melawannya. Baskara yang dulu sampah... kini menjadi monster. Monster yang lebih kuat dariku.'

TOK. TOK. TOK.

"Masuk," suara Wibawa parau. Ia masih terduduk di lantai yang dingin.

Pintu terbuka. Tetua Satriya melangkah masuk dengan tenang, membawa sebuah tas kulit kecil. Ia memandang cucunya yang menyedihkan dengan tatapan datar.

"Berdiri," perintahnya.

"Aku tidak bisa, Kakek!" Wibawa menggeleng histeris. "Kau lihat dia?! Dia mematahkan pedang baja dengan tangan kosong! Dia akan membunuhku! Aku tidak mau mati konyol!"

"Aku bilang berdiri!"

"AKU MAU MUNDUR! AKU MENYERAH!"

"Kau tidak bisa mundur! Kehormatan keluarga ada di pundakmu!" Satriya membentak, lalu suaranya merendah penuh bisa. "Jangan jadi pecundang seperti ayahmu."

Mata Wibawa menyala marah.

"JANGAN BANDINGKAN AKU DENGAN PRIA ITU!"

Satriya tersenyum tipis. Umpannya dimakan.

"Bagus. Kalau begitu buktikan."

Ia membuka tasnya, mengeluarkan dua buah botol kecil.

Satu berisi cairan merah pekat yang bergejolak seperti darah mendidih.

Satu lagi berisi cairan hijau keruh yang berbau tajam.

"Aku tidak akan membiarkanmu kalah."

Wibawa menatap botol merah itu. "Apa... itu?"

"Pil Ledakan Darah (Blood Explosion Pill). Ini akan membakar Jing (esensi kehidupan) dalam tubuhmu. Kekuatanmu akan meningkat tiga kali lipat selama sepuluh menit. Cukup untuk meremukkan kepala Baskara."

Tangan Wibawa gemetar saat menyentuh botol dingin itu. "Efek sampingnya?"

"Kau akan lumpuh total selama sebulan. Dan mungkin... kultivasimu turun satu tingkat," jawab Satriya santai. "Tapi kau akan hidup. Dan kau akan menang."

Wibawa menelan ludah. Lumpuh sebulan. Turun tingkat. Harga yang mahal.

Tapi dibandingkan mati?

"Dan ini?" Wibawa menunjuk botol hijau.

"Racun Pemecah Prana," bisik Satriya. "Campurkan ke minuman Baskara sebelum pertandingan. Ini tidak berwarna, tidak berasa. Saat ia mengaktifkan Prana di arena, alirannya akan kacau. Dia akan menjadi sasaran empuk."

Pil terlarang. Racun licik.

Wibawa menatap kedua benda itu. Ini adalah jalan pengecut. Jalan yang hina.

“Aku juga menyiapkan formasi sihir untuk Baskara,” ujar Satriya.

Wibawa mendongak, matanya penuh harap, "Formasi?"

Satriya menyeringai. "Sudah terpasang di bawah lantai arena sejak sore tadi. Formasi Penindas Aura. Itu akan menekan kekuatan Baskara hingga 50%. Cukup untuk membuatnya setara denganmu."

Wibawa tertawa. Tawa yang hampa, putus asa, dan sedikit gila.

"Pil. Racun. Formasi. Aku... aku benar-benar sudah menjadi penjahat, ya?"

Satriya menepuk bahu Wibawa, lalu membungkuk dan berbisik di telinganya.

"Sejarah ditulis oleh pemenang, Wibawa. Tidak ada yang peduli caranya. Yang mereka pedulikan adalah siapa yang berdiri terakhir."

"Lagipula... kau mirip ibumu. Ambisius. Rela melakukan apa saja demi tujuan."

Wibawa menepis tangan kakeknya dengan kasar.

"JANGAN SEBUT WANITA ITU, TUA BANGKA!"

Satriya hanya tertawa kecil, lalu berbalik pergi.

"Minum pil itu lima menit sebelum naik panggung. Habisi dia."

Pintu tertutup.

Wibawa tinggal sendirian. Ia menggenggam botol merah itu erat-erat hingga jarinya memutih. Matanya yang merah menatap refleksi dirinya di cermin—wajah yang penuh ketakutan dan kegilaan.

"Aku harus menang..." bisiknya. "Apa pun caranya... aku harus menang."

JANJI DI BAWAH BULAN

Di sisi lain kediaman yang bising, Taman Danau Belakang justru terlelap dalam keheningan yang kontras. Tenang. Damai.

Cahaya bulan purnama tumpah ruah di permukaan air, menciptakan ilusi perak yang berkilauan. Di tepi danau, di bawah naungan pohon willow yang rimbun, Baskara duduk bersandar.

Larasati duduk nyaman di antara kedua kaki suaminya, punggungnya menempel rapat pada dada bidang yang kokoh itu. Seolah tubuh Baskara adalah benteng teraman baginya di dunia ini.

Hening menyelimuti mereka. Hanya suara napas yang menderu selaras dan desir angin malam. Namun, sebagai seorang istri, Larasati bisa merasakannya. Di balik sandaran yang nyaman itu, otot-otot Baskara menegang waspada. Detak jantung pria itu berdegup stabil, namun kuat laksana genderang perang yang ditabuh perlahan.

Suaminya sedang bersiap untuk membunuh.

"Apa ibumu tahu kau menyelinap keluar menemuiku, hmm?"

Baskara mencondongkan wajahnya, bibirnya menyapu lembut daun telinga istrinya. Suaranya rendah, serak, dan mengirimkan getaran hangat ke sekujur tubuh Larasati.

"Mungkin... tapi dia tidak akan berani marah, 'kan?"

"Oh ya?"

"Ya..." Larasati menyandarkan kepalanya lebih dalam ke bahu Baskara. "Semenjak kau kembali dan menyapu habis para pendekar itu, Ibu bergidik ngeri hanya dengan mendengar namamu. Mulai sekarang, tak ada yang berani memarahiku."

"Baguslah. Tapi bagaimana jika aku melakukan ini..." Baskara mengeratkan lilitan lengannya di pinggang ramping Larasati, lalu dengan jahil menggigit pelan cuping telinga istrinya yang sensitif. "...apa dia akan marah?"

"Ah! Baskara, geli!"

Larasati tertawa renyah, tubuhnya menggeliat manja dalam kukungan lengan suaminya. "Hentikan! Aku yang akan marah nanti, Tuan Muda Nakal!"

"Bukankah kau menyukainya, Istriku?"

"Ehm... tentu saja, tapi tidak di tempat terbuka seperti ini!"

Tawa mereka pecah, menyatu dengan angin malam. Sejenak, mereka seperti sepasang pengantin muda yang dimabuk asmara, melupakan badai darah yang menanti esok hari. Tangan besar Baskara beralih membelai surai hitam istrinya dengan penuh kasih sayang.

Namun, tawa itu perlahan surut.

"Baskara..." bisik Larasati memecah keheningan. Jemarinya meremas punggung tangan suaminya yang melingkar di perutnya. "Jangan lawan Wibawa besok."

Baskara tidak langsung menjawab. Ia justru mengecup puncak kepala Larasati, menghirup aroma rambutnya dalam-dalam. "Kenapa?"

Larasati memutar tubuhnya, memaksa dirinya menatap wajah tampan suaminya. Matanya mulai berkaca-kaca.

"Aku mengenalnya. Aku tumbuh bersamanya. Wibawa... dia bukan manusia yang punya kehormatan. Dia licik, kejam, dan akan melakukan segala cara kotor untuk menang. Aku takut... aku takut dia sudah menyiapkan jebakan mematikan untukmu."

Baskara tersenyum tipis—sebuah senyum yang menenangkan namun memancarkan aura dominasi yang kental. Ibu jarinya terulur, menyeka butiran air mata di pipi Larasati.

"Aku tahu."

"Kalau kau tahu, kenapa kau masih—"

"Karena ini bukan soal menang atau kalah, Sayang," potong Baskara lembut. Tatapannya menukik tajam ke dalam manik mata Larasati, seolah mengunci jiwa wanita itu. Ada kegelapan yang pekat di sana, namun juga rasa perlindungan yang tak terbatas.

"Ini soal keadilan."

Baskara mengangkat wajahnya, menatap dingin ke arah kediaman utama yang tampak angkuh di kejauhan.

"Dia yang membuangku ke jurang kematian. Dia yang ingin melenyapkan eksistensiku. Dan yang paling tak bisa kumaafkan... dia yang membuatmu menangis sendirian setiap malam selama aku menghilang."

Rahang Baskara mengeras, urat-urat di lehernya menonjol samar.

"Dia pikir dia bisa menghancurkan hidup kita dan lolos begitu saja? Tidak. Besok, aku akan menagih semua hutang darah itu. Lunas."

"Tapi bagaimana jika kau mati?" Suara Larasati pecah. Ia mencengkeram jubah Baskara putus asa. "Aku baru saja mendapatkanmu kembali. Aku tidak bisa kehilanganmu lagi, Baskara!"

"Aku tidak akan mati."

Baskara menangkup wajah istrinya dengan kedua tangan, memaksanya melihat keyakinan yang berapi-api di matanya.

"Dengar aku. Aku sudah merangkak keluar dari neraka paling dasar hanya untuk kembali padamu. Kau pikir trik murahan Wibawa mampu mengirimku kembali ke sana?"

Ia menunduk, mengecup kening Larasati lama dan penuh perasaan. Sebuah sumpah tanpa kata.

"Aku berjanji, aku akan menang. Dan setelah kepala Wibawa terinjak di bawah kakiku... kita akan bebas. Selamanya."

Larasati terisak pelan, membenamkan wajahnya di dada bidang suaminya, mencari detak jantung yang menenangkannya. "Janji..."

"Aku berjanji."

Mereka berdiam dalam pelukan di bawah sinar bulan, membiarkan waktu seolah berhenti, hingga akhirnya kelelahan emosional membuat Larasati terlelap dalam dekapan hangat suaminya.

Baskara tetap terjaga.

Saat napas istrinya sudah teratur, senyum lembut di wajah Baskara perlahan lenyap, digantikan oleh ekspresi dingin yang membekukan darah. Matanya yang hitam pekat perlahan memancarkan kilat merah samar. Ia menatap tajam ke arah arena turnamen di kejauhan.

[Tuan,] suara mekanis Sistem tiba-tiba bergema di kepalanya.

[Analisis area selesai. Terdeteksi fluktuasi energi abnormal di bawah lantai arena.]

'Tetua Satriya?' batin Baskara dingin.

[Positif. Itu adalah Formasi Penindas Aura Tingkat Menengah. Didesain khusus untuk menekan basis kultivasi target hingga tersisa 40%.. Dan... sensor racun saya mendeteksi residu 'Racun Pemecah Prana' di

dapur persiapan peserta.]

Bukannya takut, sudut bibir Baskara justru terangkat membentuk seringai iblis.

'Racun. Formasi penekan. Pil terlarang.'

'Mereka benar-benar putus asa rupanya.'

[Apa rencana Anda, Tuan? Apakah kita akan menghancurkan formasi itu sebelum pertandingan?]

'Tidak.'

Baskara menatap bulan yang bersinar angkuh di langit. Tatapannya jauh lebih mengerikan daripada malam itu sendiri.

'Biarkan saja. Aku akan meminum racun itu. Aku akan melangkah masuk ke dalam jebakan formasi itu. Aku akan membiarkan Wibawa menggunakan kekuatan penuhnya dengan segala kecurangannya.'

[...Anda ingin menghancurkan mentalnya?]

'Tepat sekali. Membunuhnya terlalu mudah.'

'Aku ingin dia melihat... bahwa meski dia curang, meski dia mengerahkan seluruh tipu daya dunia persilatan, dia tetap hanyalah semut di hadapanku.'

'Keputusasaan saat dia sadar bahwa dia tak bisa menang... itu adalah hukuman yang jauh lebih kejam daripada kematian.'

Tangan Baskara kembali mengelus lembut rambut Larasati yang tertidur pulas, kontras dengan pikiran kejam di kepalanya.

"Tidur yang nyenyak, Istriku," bisiknya pada angin malam yang berhembus.

"Karena besok... langit Keluarga Cakrawala akan runtuh."

DI SUDUT GELAP ATAP

Dua sosok berjubah hitam legam mengamati pemandangan itu dari kejauhan. Aura mereka tersembunyi sempurna.

"Menarik," bisik wanita berambut pirang, Nona Kirana. "Bocah itu tahu ada jebakan, tapi dia tetap tenang."

Bharata, pria kekar di sampingnya, menyeringai. "Dia memiliki hati seorang Raja, Nona. Atau mungkin... hati seorang Iblis."

"Kita lihat besok, Bharata. Jika dia bisa bertahan dari kelicikan Keluarga Cakrawala..." mata biru Kirana berkilat, "...maka Sekte Langit Biru akan menyambutnya dengan karpet merah."

[BERSAMBUNG KE BAB 27]

1
Meliana Azalia
Hahahaha 🤣
Ronny
Alamak ngerinyoo, lanjut thor🔥
Heavenly Demon
anjayy manteb manteb keren ni Baskara
Zen Feng
Feel free untuk kritik dan saran dari kalian gais 🙏
Jangan lupa like dan subscribe apabila kalian menikmati novelku 😁😁
Ren
mantab saya suke saya suke /Drool/
Ren
kedelai tidak jatuh di lubang yang sama dua kali👍
Ren
nasib orang lemah dimana mana selalu diremehin 😭
apang
toorrrrr si wibawa harus dimatiin ya
Ronny
Nekat si mc nekat banget
Heavenly Demon
suka banget pembalasan dendamnya, mntabss
Heavenly Demon
pembalasan dendam yang satisfying
Heavenly Demon
mantab dari cupu jadi suhu
Abdul Aziz
anjay seru banget figtnya ga cuma ngandelin otot tapi otak juga, brutal parah 😭 jangan sampe berhenti di tengah jalan thor, harus sampe tamat ya!!!
oya untuk tingat ranah bisa kamu jelasin lebih detail thor di komen agak bingung soalnya hehe
Abdul Aziz
gila gila bener bener brutal! mantab👍
Abdul Aziz
hoho balas dendam pertama
Abdul Aziz
lanjut lanjut thor gila fightnya brutal banget keren👍👍👍
Abdul Aziz
anjai modyar kan lo hampir aja
Abdul Aziz
kena batunya lo bas, keras kepala si lo
Abdul Aziz
huahahaa🤣 otaknya uda sengklek
Abdul Aziz
blak blakan banget ini mesin 🤣🤣🤣🤣
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!