Impian setiap wanita adalah menikah dengan pria yang mencintai dan dicintainya. Namun takdir berkata lain untuk Azura, gadis cantik yang terpaksa menikah dengan pria pengidap gangguan jiwa demi kepentingan keluarga tirinya.
Meski sang ayah masih hidup, hidup Azura sepenuhnya digenggam oleh ibu tiri yang licik dan kejam. Akankah Azura mampu bertahan dalam pernikahan yang tak diinginkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ep. 27 - Sepenggal masa lalu
"Oleh karena itu, berusahalah agar aku segera mendapat cucu."
Perkataan Adrian beberapa hari lalu terus terngiang di kepala Azura. Setiap kali teringat, hatinya terasa berat. Bukan karena ia tak mau... tapi bagaimana bisa?
Rangga, laki-laki yang berstatus sebagai suaminya tidak pernah menyentuhnya, bahkan tak sadar betul bahwa mereka sudah menikah.
Pria itu bisa bersikap tenang, tertawa seperti anak kecil, dan tiba-tiba berubah jadi sosok yang begitu dingin dan menakutkan.
Namun, Azura bukan gadis yang sama seperti dulu. Kini, ia sudah menjadi wanita yang mulai menerima takdir dan siap menghadapi kenyataan meski pahit.
Kini ia menoleh ke arah ranjang dan melihat Rangga yang masih terlelap dalam tidurnya sambil memeluk bantal kecil seperti anak kecil yang tak ingin kehilangan mainannya.
"Bagaimana mungkin seseorang yang tampak begitu rapuh... pernah hampir membunuhku?," gumam Azura.
Keesokan harinya...
Setelah menyelesaikan semua pekerjaannya sebagai nyonya rumah, Azura memanggil asisten senior yang paling dipercaya di rumah itu, yaitu Bu Sari.
"Bu Sari," panggil Azura, "boleh aku bertanya sesuatu?."
"Tentu, Nona Azura. Silakan," jawab Bu Sari dengan penuh hormat.
Azura sempat ragu untuk bertanya tapi akhirnya ia pun bertanya, "Apa Bu Sari tahu... apa yang terjadi pada Rangga di masa lalu?."
Bu Sari tampak terkejut. Sejenak, ia hanya diam dengan sorot mata yang bimbang.
"Ada sesuatu, kan?," desak Azura.
Bu Sari pun akhirnya mengangguk. "Banyak hal, Nona... Tapi saya tidak yakin apakah saya boleh menceritakannya."
"Aku tidak ingin menyudutkan Rangga. Aku hanya ingin tahu... dan mungkin bisa membantunya."
Setelah hening beberapa saat, Bu Sari akhirnya membuka cerita.
“Tuan Rangga dulu anak yang ceria. Pintar, hangat, dan sangat menyayangi ibunya. Tapi semua berubah sejak nyonya... ibunya meninggal dunia dalam kondisi yang sangat mengerikan.”
Glekkk!
"Mengerikan?."
"Iya... katanya Nyonya bunuh diri. Tapi ada desas-desus bahwa kematiannya disebabkan oleh tekanan, dan tuan Rangga yang saat itu masih kecil, ia menemukan mayat ibunya tergantung di kamar mandi..."
"Hmfth!!." Azura menutup mulutnya karena terkejut.
"Sejak hari itu... Tuan Rangga mulai berubah. Ia suka berbicara sendiri, berteriak saat malam, dan tidak mau menyentuh siapa pun. Tapi karena status keluarganya, Tuan Adrian tidak mau orang tahu bahwa anaknya terganggu secara mental."
Azura mendengarkan dan menghayatinya sehingga perlahan-lahan membuat hatinya seperti ditusuk rasa pilu. Tidak menyangka pria dingin dan menyeramkan itu ternyata menyimpan luka sedalam itu.
"Jadi dia... menyimpan semuanya sendiri?," gumam Azura.
"Iya, Nona. Bahkan terapi pun sempat dihentikan karena dianggap membuat tuan Rangga lebih ‘liar’. Beberapa tahun lalu, dia sempat mengamuk dan melukai salah satu pengurus rumah. Setelah itu dia dikurung dan tak pernah bergaul dengan siapa pun sampai pernikahan dengan Nona terjadi..."
Malam harinya, Azura duduk di sisi tempat tidur sambil menatap Rangga yang kini sedang bermain dengan lipatan kertas.
"Kau kesepian, ya Rangga?," gumam Azura.
Rangga pun menoleh lalu tersenyum. "Ibu... Ibu akan datang. Tapi jangan bilang siapa-siapa, ya?."
Lagi-lagi ia menyebut "ibu". Sosok yang begitu membekas di batin Rangga hingga hari ini.
"Rangga... jika suatu hari kamu sembuh, apa kamu akan tetap ingat aku?," bisik Azura lirih.
Namun Rangga hanya tertawa kecil, lalu mendekat dan duduk di lantai sambil memeluk kaki Azura dan bersenandung pelan.
Azura menatap rambut Rangga yang kusut, lalu perlahan membelainya.
"Aku akan bantu kamu, Rangga. Aku janji. Meskipun kamu tidak tahu siapa aku bagimu sekarang... aku akan tetap ada di sini."
**
Suatu hari ketika langit siang cukup cerah, di sertai angin lembut yang bertiup di antara deretan bunga-bunga yang ditanam Azura di halaman vila.
Dengan mengenakan gaun santai dan topi lebar, Azura tengah menikmati waktu senggangnya sambil menyiram mawar putih yang baru saja mekar..
Ia nampak damai dan menikmati harumnya aroma mawar ketika tiba-tiba suara ribut-ribut dari arah gerbang utama mengusik ketenangannya.
"CEPAT BUKA!!!."
Azura menyipitkan matanya dan mencoba mengenali sosok-sosok yang beradu mulut dengan dua satpam penjaga gerbangnya itu.
Dan, seketika matanya membelalak saat melihat sosok perempuan paruh baya dengan suara lantang dan seorang gadis muda berambut panjang berdiri di belakangnya sambil menatap sinis ke arah vila.
Di dekat mereka juga berdiri seorang pria berusia senja yang terlihat lelah dan diam membisu.
"Ayah??," gumam Azura.
Sekilas hatinya menghangat. Terakhir kali melihat sang ayah adalah saat pernikahannya yang saat itu pun berlangsung dalam situasi yang penuh tekanan.
Namun, rasa rindu sebagai anak tetap saja ada. Spontan Azura meletakkan semprotan air dan berjalan cepat ke arah gerbang.
Sesampainya di sana, dua satpam tampak kewalahan menghadapi makian dari wanita paruh baya itu.
"Maaf, Bu. Tapi kami hanya menjalankan perintah Tuan Adrian. Tamu yang tidak terdaftar tidak diperkenankan masuk," jelas salah satu satpam dengan nada sopan tapi tegas.
"Apa-apaan kalian ini!" bentak Rita. "Kami keluarga sah dari Azura! Dan kalian berani menghalangi kami?!."
"Ada apa ini, Pak? Mereka keluargaku. Kenapa tidak dibukakan gerbangnya?" tanya Azura pada para penjaga.
Satpam muda itu pun langsung menunduk sopan dan menjawab, "Maaf, Nona. Ini sesuai instruksi langsung dari Tuan Adrian. Beliau memerintahkan agar siapa pun dari keluarga Nona yang tidak ada dalam daftar tamu dilarang masuk."
Azura tertegun. Potongan-potongan pertanyaan yang sempat berkecamuk di benaknya kini akhirnya terjawab.
"Pantas saja Ibu dan Nadine tidak pernah datang menemuiku lagi..." batinnya.
Tapi sebelum Azura bisa membuka mulut, Rita sudah menyerang dengan kata-katanya yang tajam.
"Hei, Azura! Mentang-mentang sudah jadi nyonya besar di rumah mewah ini, kamu bahkan tidak izinkan keluarga yang membesarkanmu untuk masuk?!," teriaknya lantang sambil menghentakkan tas mahalnya ke pagar besi.
Azura yang terkejut pun mencoba menjelaskan, "Maaf, Bu... Tapi—"
"Tutup mulutmu!," potong Nadine tiba-tiba. Lalu, gadis itu maju dan berdiri di sebelah ibunya dengan tangan disilangkan dan wajah yang menyeringai sinis.
"Dulu kamu cuma anak tidak berguna di rumah. Sekarang tiba-tiba jadi istri orang kaya, kamu lupa diri, ya?!."
Sementara itu seperti biasa, Ayah Azura masih berdiri di tempatnya dan tidak mengatakan sepatah kata pun. Ia hanya menatap ke tanah, seolah semua ini terlalu berat untuknya.
"Kenapa, Ayah? Kenapa tidak melerai mereka?" tanya Azura dalam hati.
Sang ayah hanya mengangkat wajah, lalu menatap putrinya itu. Tatapannya sayu, penuh penyesalan, tapi tetap tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya.
"Kami hanya ingin masuk untuk bicara!," lanjut Rita dengan suara yang masih meninggi. "Aku sudah terlalu sering datang ke sini dan selalu diusir! Apa itu pantas untuk ibu tirimu yang sudah mengurus kamu sejak kecil?!."
Azura mengatupkan bibirnya dengan erat. Hatinya bergolak. Bagaimanapun kerasnya Rita, wanita itu tetap pernah menjadi bagian dari hidupnya. Meskipun luka-luka masa lalu yang ia torehkan pun tidak mudah dilupakan.
Azura lalu menoleh pada dua satpam.
"Buka gerbangnya. Biarkan mereka masuk," ucap Azura, meski terdengar berat.
Satpam itu pun saling pandang dan merasa ragu.
"Tapi, Nona... Ini perintah dari Tuan Adrian langsung."
"Aku yang bertanggung jawab," potong Azura tegas.
Gerbang pun akhirnya dibuka dengan perlahan.
Begitu masuk, Rita langsung berjalan mendahului dengan langkah yang penuh kemarahan. Sedangkan Nadine menyusul di belakang dengan tatapan mencemooh, sementara ayah Azura berjalan paling akhir dan masih saja diam.
"Apa yang mereka inginkan kali ini?"
BERSAMBUNG...
tambah lagi doooooooong