Lima belas tahun menikah, Ghea memergoki suaminya berselingkuh dengan sekretarisnya. Lebih menyakitkan lagi, di belakangnya sang suami menyebutnya sebagai wanita mandul dan tak becus melayani suami. Hatinya hancur tak bersisa.
Dalam badai emosi, Ghea pergi ke klub malam dan bertemu Leon—pria muda, tampan, dan penuh pesona. Dalam keputusasaan, ia membuat kesepakatan gila: satu miliar rupiah jika Leon bisa menghamilinya. Tapi saat mereka sampai di hotel, Ghea tersadar—ia hampir melakukan hal yang sama bejatnya dengan suaminya.
Ia ingin membatalkan semuanya. Namun Leon menolak. Baginya, kesepakatan tetaplah kesepakatan.
Sejak saat itu, Leon terus mengejar Ghea, menyeretnya ke dalam hubungan yang rumit dan penuh gejolak.
Antara dendam, godaan, dan rasa bersalah, Ghea terjebak. Dan yang paling menakutkan bukanlah skandal yang mengintainya, melainkan perasaannya sendiri pada sang berondong liar.
Mampukah Ghea lepas dari berondong liar yang tak hanya mengusik tubuhnya, tapi juga hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4. Varendra Mahardika
Leon bangkit dan meraih pergelangan tangan Ghea. Lembut. Tapi tegas.
Dan tiba-tiba, ibu jarinya menyentuh bibir Ghea. Satu gerakan kecil, intim, membuat udara di sekitar mereka menghilang. Tatapannya menusuk, liar, dan memabukkan. Lalu tanpa peringatan, dia mengusap sudut bibir wanita itu dan… menjilatinya.
Tubuh Ghea membeku.
“Logikamu boleh bohong, Ghea. Tapi tubuhmu waktu itu… matamu… cara kamu gemetar di pelukanku—itu semua nggak bisa bohong.”
Ghea mengerjap. Kata-kata itu tak cuma mengguncangnya. Mereka menusuk, mencabik sisa-sisa kendali yang berusaha ia pertahankan.
“Kamu harus berhenti,” bisiknya, nyaris memohon. “Aku istri orang, Leon…”
Leon menatap matanya, lekat. Tak ada ejekan di sana. Hanya tatapan lelaki yang melihat retakan yang selama ini Ghea sembunyikan dari semua orang.
“Tapi kamu kesepian. Disakiti. Dikhianati. Dan kamu butuh seseorang yang… hadir. Yang benar-benar lihat kamu.”
Ghea tersentak. Jantungnya mencelos.
"Bagaimana dia bisa tahu?
Bagaimana bisa seakurat itu?
Apa dia... menyelidiki aku?"
Ghea menarik napas berat. Kepalanya berdenyut, pikirannya penuh sesak. Dinding-dinding yang ia bangun dengan susah payah mulai retak. Suaranya bergetar saat ia berusaha menahan badai dalam dirinya.
“Aku harus pergi…” ucapnya cepat, nyaris tak terdengar.
Ia menepis tangan Leon dan melangkah cepat meninggalkan meja. Napasnya pendek. Panik. Tapi sebelum ia benar-benar menjauh, suara Leon kembali terdengar—pelan, namun menghantam seperti peluru.
“Berapa lama kamu mau bertahan di pernikahan kosong, Ghea? Sampai kamu nggak punya apa-apa lagi dari dirimu sendiri?”
Langkah Ghea terhenti. Seketika.
"Apa maksudnya?
Dari mana dia tahu bahwa ini... pernikahan kosong?
Apa David sudah lama mengkhianatiku? Dan aku... selama ini terlalu buta untuk melihatnya?"
Ia menggenggam tasnya erat, begitu kuat hingga kukunya menancap ke kulit. Matanya memanas, tapi ia tak menoleh. Ia tahu, jika ia menoleh... ia akan jatuh. Ia akan roboh.
"Leon... siapa kamu sebenarnya?"
"Apa kamu bagian dari jebakan? Atau kamu satu-satunya yang benar-benar melihatku?"
Dan saat ia berjalan pergi, langkahnya kaku namun cepat, Leon hanya berdiri di sana, menatap punggungnya seperti pria yang tahu:
wanita itu belum selesai dengannya.
Bibirnya bergerak, nyaris tak terdengar.
“Kamu pikir aku cuma bayang-bayang, Ghea? Tunggu sampai kamu sadar… aku adalah realita yang selama ini kamu inginkan.”
Di Butik - Kamar Mandi
Ghea menatap pantulan dirinya di cermin.
Wajah yang biasa ia kenali sekarang tampak asing. Ada sembab di sana. Ada mata lelah yang tak ia sadari selama ini.
“Kapan terakhir kali kami tertawa berdua?”
“Kapan terakhir kali David menyentuhku... bukan hanya karena kewajiban?”
“Kapan kami benar-benar jadi suami-istri, bukan sekadar rekan bisnis yang tinggal serumah?”
Tangannya menggenggam wastafel erat.
Ia mencoba menarik napas panjang, tapi sesak itu tak hilang.
Air matanya nyaris jatuh, tapi ia tahan.
Ia tidak ingin menangis... lagi.
Akhirnya ia menyerah. Ia tahu dirinya tidak akan bisa menyelesaikan apapun hari ini.
Ia mengemasi barang-barangnya dan pulang lebih awal.
Sesampainya di rumah, Ghea naik ke kamar. Ia duduk di ranjang, mencoba mengingat sesuatu—apapun.
Tapi yang muncul justru pertanyaan pahit.
"Apa benar selama ini aku terlalu sibuk?"
"Apa karena aku terlalu nyaman dengan kesibukan, hingga tak sadar semuanya berubah?"
Ia membuka laci meja kerja David—bukan untuk mengintip, tapi sekadar ingin merasa dekat lagi dengan suaminya.
Namun di antara kertas-kertas kerja, ia menemukan amplop putih mencolok.
Tanpa sadar, tangannya gemetar saat membukanya.
Slip pembayaran.
Logo developer mewah.
Unit apartemen di kawasan elit.
Atas nama Tessa Sabila.
Lunas.
Tunai.
Ghea membeku.
Jantungnya berdetak tak karuan, tapi tubuhnya tak bergerak.
Tangannya mencengkeram slip itu erat.
"Dia membelikan pelakor itu apartemen? Apartemen mewah?!"
"Dan aku di rumah ini... masih berpikir aku bisa memperbaiki semuanya?"
Kertas itu jatuh dari tangannya.
Tangis yang ia tahan sejak pagi akhirnya pecah tanpa bisa dihentikan.
“Bodoh. Aku bodoh."
"Aku yang diam-diam belajar cara membuat masakan kesukaannya."
"Aku yang tetap menunggunya pulang meski tahu ia pulang larut."
"Aku yang rela pura-pura tak tahu dia berkhianat... demi tetap bisa menyebut rumah ini rumah tangga.”
“Tapi dia?"
"Dia memberi rumah pada wanita lain…”
"Aku bukan cuma patah."
"Aku hancur. Habis."
"Tapi tetap saja, aku masih ingin tahu…"
"Apa yang salah dariku?”
Ghea menunduk, air mata membasahi gaunnya.
Namun di sela tangis, ia menggigit bibir bawahnya—keras.
“Tidak… tidak… aku tak boleh terus begini."
"Aku gak boleh lemah. Aku harus bangkit dan berjuang.”
Ia menyeka air matanya dengan telapak tangan gemetar.
Matanya sembab, tapi sorotnya mulai berubah.
Ada nyala kecil di sana.
Nyala yang selama ini tertimbun rasa percaya... dan dikhianati.
Gedung Mahardika Group menjulang kokoh di tengah ibu kota, bangunan kaca raksasa dengan desain modern dan aura kekuasaan yang mencekam. Sebuah mobil hitam legam berhenti tepat di pintu masuk utama.
Dari dalamnya, keluar seorang pria berjas abu gelap, masker hitam menutupi separuh wajahnya, rambut hitam gelap sebahu tergerai seperti bayangan malam. Langkahnya tegap, berirama tenang, namun menyimpan tekanan yang membuat siapa pun menahan napas saat ia lewat.
Varendra Mahardika.
CEO paling muda dan paling tertutup di negara ini. Ia tak pernah tampil di media, tak pernah memberikan wawancara, tak satu pun wanita yang bisa mendekat lebih dari satu meter darinya. Dunia hanya mengenalnya dari rumor—bahwa suaranya dalam seperti gemuruh, bahwa ia menolak semua sentuhan manusia, dan bahwa ia menatap seolah mampu melihat isi pikiranmu.
Di belakang masker itu, tak ada senyum. Tak ada ampun.
Semua pegawai berdiri dan menunduk saat ia melintas. Seperti angin dingin dari utara, kehadirannya menghempas dengan tekanan tak kasatmata. Rafael, sang asisten pribadi, berdiri paling depan, iPad di tangan, jas rapi, wajah kaku seperti prajurit siap mati.
“Selamat pagi, Tuan Mahardika,” sapa Rafael singkat.
Varendra tak menjawab. Hanya anggukan pelan sebelum melangkah masuk.
“Proposal kerja sama dari Arta Karya Interior baru saja masuk ke sistem kita,” lapor Rafael, mencoba menyamakan langkah.
Ia menelan ludah sebelum melanjutkan, “Perusahaan itu dipimpin oleh David Harliwan.”
Langkah Varendra mendadak terhenti.
Tak ada suara. Tapi udara di sekeliling seolah membeku.
Sepasang mata di balik masker itu menatap lurus ke depan—dingin, tajam, menusuk.
“David Harliwan,” gumamnya rendah. Suaranya berat dan datar. “Suami dari Ghea Amarathana?”
“Iya, Tuan,” jawab Rafael hati-hati.
Ia tak berani menambahkan apa-apa, meski dalam hati kalimat itu nyaris meluncur:
"Suami dari wanita yang diam-diam fotonya selalu Tuan pandangi."
Lalu… Varendra tertawa. Pendek. Pelan.
Dingin seperti ujung pisau es.
“Pria brengsek itu,” desisnya. “Leon akan menemuinya.”
Leon. Lagi?
Rafael menoleh sekilas. Ia sudah terlalu sering mendengar nama itu.
Seseorang yang tak tercatat dalam struktur perusahaan. Tak punya ruangan. Tak pernah hadir di rapat direksi. Tapi tiap kali ada klien penting—terutama wanita—Varendra hanya berkata:
"Leon yang akan menemuinya."
Dan kini, Leon akan dikirim untuk menemui... David.
Suami dari Ghea Amarathana.
Rafael mengangguk pelan, menurunkan pandangannya, menyembunyikan kerutan di dahinya.
“Tentu, Tuan. Akan saya atur jadwalnya.”
Ghea.
Rafael ingat betul foto itu. Bukan dari media sosial. Bukan dari media manapun.
Sebuah foto candid—seorang wanita duduk di teras kafe, menatap langit dengan senyum tipis.
Momen yang terlalu tenang… terlalu intim… untuk sekadar kekaguman dari jauh.
Ghea.
Wanita yang dikenal kalangan sosialita sebagai istri dari David Harliwan—arsitek berbakat yang kini menjabat CEO Arta Karya Interior.
Namun hanya sedikit yang tahu siapa dia sebenarnya: Ghea Amarathana, putri tunggal mendiang pemilik perusahaan tersebut. Warisan bisnis itu berpindah ke tangan David setelah ayahnya meninggal—bukan karena paksaan, tapi karena Ghea memang tak pernah tertarik menekuni dunia korporat.
Ia lebih suka menggambar sketsa gaun, memilih kain, mencocokkan warna, dan merancang pakaian. Ia mendirikan butik kecil, lalu menyerahkan pengelolaannya pada sahabatnya, Vika—karena ia sendiri tak pernah pandai berbisnis.
Merancang pakaian bukan pelarian—melainkan panggilan.
Ia tahu dirinya bukan pewaris yang ideal untuk duduk di kursi pimpinan.
Tapi sebagai perancang busana, Ghea tahu persis siapa dirinya.
Saat mereka kembali berjalan, Rafael menatap punggung Varendra yang kembali melangkah. Tegas. Tak tergoyahkan.
Ada banyak hal yang tak ia mengerti dari pria ini.
Tapi satu hal kini terasa pasti:
Tak satu pun wanita bisa menembus benteng Varendra Mahardika.
Kecuali wanita itu… Ghea.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Vika ini terlalu curiga sama Leon yang akan menghancurkan Ghea lebih dalam daripada David - sepertinya kok tidak.
Ghea bersama Leon merasa hidup - merasa utuh dan sepertinya Leon benar mencintai Ghea dan pingin membantu Ghea mengembalikan haknya sebagai pewaris perusahaan tinggalan orang tuanya yang sekarang dikuasai si pecundang David.
Tapi baik juga kalau Vika mau menyelidiki siapa Leon dan apa maksud Leon mendekati Ghea.
W a d uuuuuhhhh siapa dia yang menjadikan Ghea membeku - tangannya mencengkeram tali tas.
Leon senang ini terbukti malah tersenyum wkwkwk
tapi tenang saja Vika, Leon orangnya baik dia yang akan menghancurkan David bersama selingkuhannya.