Kekhilafan satu malam, membuat Shanum hamil. Ya, ia hamil setelah melakukan hal terlarang yang seharusnya tidak boleh dilakukan dalam agama sebelum ia dan kekasihnya menikah. Kekasihnya berhasil merayu hingga membuat Shanum terlena, dan berjanji akan menikahinya.
Namun sayangnya, di saat hari pernikahan tiba. Renaldi tidak datang, yang datang hanyalah Ervan—kakaknya. Yang mengatakan jika adiknya tidak bisa menikahinya dan memberikan uang 100 juta sebagai ganti rugi. Shanum marah dan kecewa!
Yang lebih menyakitkan lagi, ibu Shanum kena serangan jantung! Semakin sakit hati Shanum.
“Aku memang perempuan bodoh! Tapi aku akan tetap menuntut tanggung jawab dari anak majikan ayahku!”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22. Hal Yang Tak Terduga
“Kak Ervan, kamu ke mana sih? Pergi gitu aja dari klinik. Aku sampai panik, mama dab papa nanya. Kamu nggak pamit sama sekali ...” Suara Meidina terdengar manja dan kesal bercampur jadi satu.
“Aku ada urusan di kantor, sangat urgent,” jawab Ervan singkat. Tatapannya melirik ke arah Shanum yang kini menyeringai penuh ejekan.
“Urusan apa sih? Sama siapa? Kok kamu tiba-tiba pergi, aku jadi ... ya, cemas.”
“Jangan tanya. Aku akan kembali nanti malam. Kita makan malam di tempat biasa.” Ervan menutup telepon sebelum Meidina sempat merengek lebih lama. Ia mendengus, lalu memijat pelipisnya.
Shanum tertawa kecut. “Wah, Pak Ervan sangat sibuk ya. Satu sisi harus jaga citra keluarga, satu sisi lagi calon istrinya butuh perhatian. Dan Shanum? Harus menahan semua ketegangan tanpa boleh protes.”
Ervan menatap Shanum tajam. “Saya tidak butuh penilaian kamu.”
“Sayangnya Shanum sudah terlibat terlalu dalam, Pak. Saya bukan boneka. Shanum bukan ‘sesuatu’ yang bisa ditaruh di lemari lalu diambil saat dibutuhkan.”
“Lalu kamu mau apa?” tanya Ervan tajam. “Kabur? Cerai? Langgar kontrak yang kamu tandatangani sendiri?”
Shanum tersenyum miring. “Shanum akan bertahan. Tapi tidak untuk Bapak. Untuk diri Shanum sendiri. Shanum tidak akan izinkan Bapak—atau siapa pun—mengendalikan saya dengan dalih pernikahan yang tidak dianggap ini.”
Ervan mendekat, wajahnya hanya sejengkal dari Shanum. Tapi kali ini, tidak ada ketegangan romantis seperti dalam film. Yang ada hanya dua manusia yang saling menantang, saling ingin membuktikan siapa yang lebih kuat.
“Kamu boleh benci saya. Tapi jangan pernah permalukan saya di depan orang lain. Itu saja.”
Shanum mengangguk pelan, lalu berbisik, “Kita lihat siapa yang duluan mempermalukan siapa.”
Ervan mengepalkan tangan, lalu berbalik menuju balkon. Ia butuh udara. Butuh ruang. Tapi sebelum sempat membuka pintu kaca, suara Shanum kembali terdengar di belakangnya, lirih namun tajam.
“Dan tolong, Pak ... mulai besok, jangan datang-datang lagi mencari Shanum. Shanum takut ... panci-panci Shanum bisa meledak melihat wajah Bapak.”
Shanum berdiri. Dengan dagu terangkat dan langkah tegap, ia menuju pintu penthouse tanpa melirik ke belakang sedikit pun. Baginya, pembicaraan selesai. Tidak ada lagi yang perlu dibahas. Tidak ada yang perlu dipertahankan.
Namun langkahnya baru sampai di ambang pintu ketika suara berat Ervan kembali menginterupsi.
“Kamu mau ke mana?”
Shanum tidak menjawab. Ia hanya memutar kenop pintu. Tapi belum sempat membukanya, sebuah tangan kekar menarik lengannya dengan cepat dan tiba-tiba tubuh mungilnya terhempas kembali ke sofa empuk di tengah ruangan.
“HENTIKAN, PAK ERVAN!” bentaknya, suara nyaring menggetarkan ruangan.
“Jangan pernah kabur dari pembicaraan, Shanum!” Suara Ervan menggema, matanya memerah karena emosi yang belum reda.
Namun sedetik kemudian, suasana berubah drastis.
Shanum terdiam, wajahnya menegang. Ia menggigit bibir bawahnya, tangan kanannya refleks memegang perut bagian bawah. Matanya meredup, dan wajahnya mulai pucat.
“Sha ....” Suaranya lirih, nyaris tak terdengar. “Perut Sha ... sakit ....”
Ervan yang masih berdiri tegak seketika menunduk. “Apa?”
Shanum mendesah, napasnya mulai pendek-pendek, keringat dingin merembes di pelipisnya. “Sakit ... perut Shanum ... ada yang nggak beres.”
Detik itu juga, dada Ervan serasa dipukul palu godam. Matanya membulat, lalu beralih ke arah perut istrinya—yang sedang mengandung. Bodoh! umpatnya dalam hati. Bagaimana bisa aku lupa dia sedang hamil?!
“Shanum? Shanum!” Ia merunduk, mencoba menahan tubuh Shanum yang mulai gemetar. “Sakitnya seperti apa? Perut bagian mana?”
Shanum menggeleng dengan napas terengah. “Bagian bawah ... seperti ditusuk-tusuk ... Shanum ... nggak tahu... ini normal atau—”
“Kita ke rumah sakit sekarang!” tegas Ervan, tanpa berpikir panjang.
Ia langsung membungkuk, lalu mengangkat tubuh Shanum dalam pelukannya. Gadis itu tidak menolak, terlalu kesakitan untuk melawan. Matanya tertutup, keningnya berkerut menahan nyeri yang menjalar dari perut ke seluruh tubuh.
“Rian!!” Ervan berteriak begitu pintu lift terbuka.
Sopir pribadinya yang masih menunggu di lobby langsung bangkit dari duduknya. “Ya, Pak?!”
“Ambil mobil. Sekarang. Ke rumah sakit terdekat. Cepat!”
...***...
Di dalam mobil, suasana begitu tegang. Tidak ada suara selain deru mesin dan desahan lemah Shanum yang masih tergolek di pangkuan Ervan.
“Bertahan, Sha. Kita hampir sampai,” bisik Ervan, jemarinya menyeka keringat dari wajah istrinya yang mulai pucat pasi.
“Sa—sakit,” ucap Shanum lirih, matanya masih terpejam.
“Diam. Fokus bernapas. Jangan banyak bicara.” Suara Ervan gemetar. Ia sendiri masih mencoba menenangkan diri, tapi jantungnya berdetak tak karuan. Ia bahkan tidak sadar kalau tangannya tak berhenti menggenggam jemari Shanum erat-erat.
Di benaknya, wajah Meidina, keluarganya, perjanjian yang ia buat bersama Shanum—semuanya buyar. Yang tersisa hanya satu hal: Shanum harus selamat. Dan tidak terjadi apa pun pada kandungannya.
***
Begitu tiba di rumah sakit, perawat langsung menyambut dengan tandu darurat. Ervan menggendong Shanum hingga ke pintu IGD, lalu menyerahkannya pada tim medis.
“Saudara saya sedang hamil! Dia mengeluh sakit perut bagian bawah!” katanya cepat.
“Pak, mohon tunggu di luar,” ucap salah satu perawat.
Ervan mengangguk, meskipun hatinya memberontak, entah mengapa ingin terus mendampingi. Ia melangkah mundur perlahan, lalu berdiri kaku di depan pintu ruang tindakan. Rian berdiri tak jauh darinya, memegang map dan ponsel, menunggu instruksi.
Ervan mengacak rambutnya, wajahnya tegang. Untuk pertama kalinya, ia merasakan ketakutan yang tak bisa dijelaskan. Bukan karena reputasi, bukan karena citra keluarga—tapi karena seseorang yang mungkin berarti lebih dari yang ia akui pada dirinya sendiri.
Beberapa menit kemudian, seorang dokter wanita muda keluar dari ruang tindakan. Wajahnya tenang, tapi penuh kewaspadaan.
“Dengan Pak Ervan?”
“Ya, saya.”
“Nama saya dr. Karina. Saya menangani saudara Bapak. Untuk sementara, kami sudah memberikan obat penghilang nyeri dan sedang observasi dengan alat USG. Tapi kami butuh pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan apakah ini hanya kontraksi ringan atau ada indikasi keguguran.”
Ervan menelan ludah. “Keguguran?”
“Masih terlalu dini untuk menyimpulkan. Kami akan pantau selama beberapa jam ke depan. Sementara itu, saudara Bapak harus bed rest total.”
“Boleh saya melihatnya sekarang?”
“Silakan. Tapi jangan terlalu banyak berbicara atau membuatnya emosional.”
Ervan mengangguk, lalu berjalan cepat ke ruang perawatan. Begitu membuka pintu, ia menemukan Shanum berbaring lemah di ranjang, dengan selang infus di tangan dan monitor detak jantung kecil di samping ranjangnya.
Wajah itu tetap cantik, meski pucat. Matanya terbuka sedikit saat mendengar pintu dibuka.
Bersambung ...
pokok nya paa klo Ervan macam2 lg ma Shanum,,jauhkan Shanum sejauh jauh nya utk menjaga kewarasan Shanum..dn biar Ervan bisa introspeksi diri...
bener2 gedeg aq ma Mr.Arogaaann 😬😬