"Jika memang kamu menginginkan anak dari rahim ku, maka harganya bukan cuma uang. Tapi juga nama belakang suami mu."
.... Hania Ghaishani .....
Ketika hadirnya seorang anak menjadi sebuah tuntutan dalam rumah tangga. Apakah mengambil seorang "madu" bisa menjadi jawabannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bibit Brivan
Senja merambat, meluruhkan langit menjadi kelabu keemasan.
Setelah suntikan terakhir sudah masuk ke tubuh Hania kemarin. Suntikan kecil yang menyakitkan di bagian bawah perut, tapi bukan itu yang membuat Hania sulit tidur semalam—melainkan kenyataan bahwa sebentar lagi, ia benar-benar akan menjalani proses yang mengubah hidupnya.
Sore itu, jam lima tepat.
Mario datang ke ke kamar Brivan. Dengan jas putihnya yang selalu rapi, dan clipboard di tangan. Dua orang suster berjalan di belakangnya. Suster Fira membawakan sebuah tas kecil berisi perlengkapan medis dan selembar kain hitam. Sementara suster lain, berjalan menghampiri Brivan dan berdiri di samping ranjang pria koma itu.
“Sudah waktunya,” ucap Mario singkat, dengan seringai tipis.
Tanpa banyak tanya, Hania berdiri. Hatinya berdebar kencang, tapi wajahnya tetap tenang. Ia sudah terlalu lelah untuk merasa panik. Kepalanya sudah terlalu berisik sejak kemarin, kewarasan Hania sudah diambang batas. Dia benar-benar sudah merasa gila, logikanya berontak. Akalnya memerintahkan Hania untuk menolak, lari dari semua hal yang tak masuk akal ini. Tapi sisi lain dirinya menegur, mengingatkan jika dia tak bisa lagi lari.
Ivana muncul di ambang pintu, ikut mengawasi. Pandangannya seperti biasa, menusuk dan tajam.
“Tutupi matanya.”
Fira mengangguk, melangkah maju dan menutup mata Hania dengan kain hitam lembut. Dunia menggelap. Tapi justru di kegelapan itu, pikiran Hania semakin gaduh. Mereka pun mulai meninggalkan
Kamar itu. Fira, melangkahkan kaki dengan dituntun oleh Fira. Keringat dingin membasahi tangan wanita itu.
Suara pintu mobil dibuka, langkah kaki berpindah dari lanta marmer mahal ke dalam mobil. Suara mesin menyala... semua seakan mempercepat detak jantungnya.
Hania mengigit bibirnya, menahan rasa gelisah yang mendera, meluapkan rasa takut yang mendekap kuat hatinya.
"Tak apa ... Kau bisa.. semua akan berlalu. Semakin cepat ini dimulai, semakin cepat ini selesai," Hania mengulang kalimat itu dalam hatinya berkali-kali. Menguatkan dirinya sendiri.
Selama perjalanan, tak ada suara. Hanya desing halus AC mobil dan langkah waktu yang terasa berat. Mobil berhenti. Tangan seseorang memegang tangan Hania, entah Mario atau Fira, atau mungkin orang lain, Hania juga tidak begitu tahu. Tangan itu membimbingnya turun, memegang lengannya erat tapi tetap sopan.
Suara langkah kaki mereka menggema, aroma alkohol, disinfektan, dan dingin yang khas menyergap inderanya. Hania yakin dia sudah memasuki gedung rumah sakit. Lalu lalang manusia terdengar bising, lengan Hania ditarik. Langkahnya dituntut semakin cepat. Mereka membawanya ke lantai dua. Melewati lorong putih panjang. Setiap langkah Hania terasa seperti menghitung waktu menuju eksekusi. Jantungnya terasa seperti dicengkeram tangan tak kasat mata.
"Duduklah," suara seseorang terdengar, dan kali ini Hania yakin itu suster Fira.
Hania mengangguk, dan menurut saat suster Fira menekan bahu Hania untuk duduk. Kain hitam penutup matanya dibuka. Cahaya putih menyilaukan menyambut retinanya. Beberapa detik sebelum fokus matanya kembali, Hania menyapukan pandangan ke sekitar, mereka ada di sebuah ruang kosong, yang hanya berisi beberapa bangku, mungkin ini adalah ruang tunggu.
“Kenapa aku harus dibawa seperti ini...” bisiknya.
Mario menoleh, dengan wajah tenang dengan tatapan datar.
“Karena kamu tidak boleh tahu terlalu banyak," sahut Mario dingin lalu pergi meninggalkan ruangan itu.
Hania hanya menghela nafas. Fira duduk di samping Hania, tatapannya lurus mengarah ke depan.
"Apa kau siap Han?" Tanya suster Fira tanpa menoleh, raut wajahnya dingin ada setitik sendu yang bisa Hana tangkap dari sorot matanya yang kosong.
"Bukankan tidak ada bedanya aku siap atau tidak, aku harus tetap menjalani ini."
Suster Fira menoleh dengan senyum kaku yang tersungging di bibirnya.
"Kau benar ... Tapi setidaknya setelah ini mereka akan memperlakukanmu dengan baik. Karena kau membawa keturunan Maheswara. Kau beruntung."
Alis Hania menyatu bingung. "Beruntung?" Apa dia tidak salah dengar, dari segi mana Fira bisa mengatakan hal itu.
Fira lalu bangkit , mengambil gaun medis dari lemari kecil di pojok ruangan.
"Lepaskan bajumu, dan pakai ini." Ia menyodorkan gaun medis berwarna hijau tua pada Hania.
"Dimana aku menganti baju?"
"Di sini, tutup saja tirai penyekatnya. Cepat kita tidak punya banyak waktu."
Hania berdecak, ia bangkit lalu berjalan menghampiri Fira. Tirai tebal ia tarik hingga membuat ruang berbentuk U. Hania menggerutu, kenapa tidak menganti baju di kamar mandi. Apa mereka takut jika Hania kabur. Tak berapa lama Hania pun selesai, dan membuka tirai itu lagi.
Ponsel Suster Fira bergetar, wanita berseragam putih itu melihat layarnya sekilas lalu menyentuh lengan Hania.
“Ayo, sudah saatnya.”
Hania menelan saliva-nya, membasahi tenggorokan yang tiba-tiba kering. Ia perlahan bangkit, dengan langkah berat Hania mengikuti ayunan kaki Fira. Wanita cantik dengan parfum aroma mawar itu mengetuk pintu ruangan yang tepat berada di sebelah ruang Hania menunggu.
"Fertility Room 3".
Nama yang tertulis di pintu, nama yang manis. Tapi bagi Hania, ruangan itu adalah tempat dia menyerahkan seluruh martabatnya pada keluarga Maheswara.
"Masuk," sahut suara berat dari dalam.
Fira membuka pintu pelan, ia masuk dengan Hania dibelakangnya melangkah dengan ragu.
“Silakan duduk, kami akan mulai sebentar lagi,” ujar Mario tanpa menoleh. Pria yang sudah memakai masker itu, sibuk mengenakan sarung tangan steril.
Suster Fira mengarahkan Hania duduk di atas ranjang tindakan. Gaun medis sudah menggantikan seragam kerjanya. Rambut panjangnya diikat rapi oleh suster Fira. Lampu di atas kepalanya menyala terang, menyoroti wajah pucatnya.
Ia menggigit bibir, menahan gemetar yang menyusup dari ujung jari kaki. Nafasnya memburu pelan. Kedua tangannya saling menggenggam erat, mencari pegangan dari dirinya sendiri.
'Hania... kamu bisa. Kamu harus bisa. Ini akan secepatnya berakhir, 1 tahun.... bahkan kurang ... Itu akan cepat berlalu'.
Suara kecil dalam hatinya menguat.
Mario mendekat, membawa satu tabung kecil berisi sp3rma Brivan, yang sudah terpilih. Cairan bening dalam tabung itu seolah menyala. Di labelnya tertulis nama pria yang kini sah menjadi suaminya. Pria yang bahkan tidak pernah menyentuhnya.
Hania memalingkan wajah.
“Proses ini tidak akan lama. Hanya beberapa menit,” kata Mario sedikit acuh.
Suster Fira membantu memposisikan tubuhnya, membuka lebar kedua kaki Hania di atas besi penyangga. Selimut medis menutupi sebagian tubuh Hania, hanya area yang dibutuhkan yang terbuka. Area bagian bawah Hania.
“Tarik nafas, dan tenangkan pikiranmu.”
Tapi bagaimana bisa?
'Enteng sekali mulutnya. Bagaimana bisa menenangkan diri saat tubuhku sedang dipersiapkan menjadi ladang tumbuh untuk benih lelaki asing? Dasar dokter gila,' umpat Hania dalam hati.
Air mata sempat menggantung di pelupuk matanya, tapi cepat-cepat ia telan. Tidak hari ini. Tidak di ruangan ini. Jantungnya berpacu, tangan Hania gemetar mencengkram kuat besi di kursi tindakan
"Siap?'
“Oke, lakukan,” bisiknya, setelah menghentak nafas.
Hania rebahan kaku di kursi tindakan, mirip posisi pasien yang akan melakukan pap smear. Mario berada tepat di bawahnya, tapi Hania tidak bisa melihat dengan jelas. Wanita itu memekik kecil saat pria itu memasang spekulum di alat vitalnya. Bukan sakit, hanya terkejut dan terasa aneh. Bibit-bibit pilihan hasil pencucian disiapkan, dalam semacam suntikan kecil, lalu dihubungkan ke ujung kateter.
Dokter Mario memasukan kateter IUI yang super kecil dan lentur, masukan pelan dan hati-hati melewat leher r2him sampai ke dalam rongga r4him. Tujuannya agar sp3rma bisa berenang sendiri menuju sel telur. Sp3rma pilihan langsung diantar ke ruang utama r4him, lebih dekat ke tuba falopi, tempat sel telur menunggu. Supaya lebih banyak sp3rma kuat yang bisa nyampe ke sel telur dan berhasil membuahi.
Proses itu berjalan. Hening. Hanya suara alat medis yang terdengar. Tidak ada rasa sakit luar biasa, tapi ada luka dalam yang mengalir pelan. Luka yang tak berdarah tapi terasa hingga ke sumsum.
Setelah selesai, Mario menepuk punggung tangannya perlahan.
“Oke kita selesai. Tetap seperti ini dulu selama 30 menit.” Ia bangkir dan meninggalkan Hania.
Hania tersenyum. Sebuah senyum kosong dari seseorang yang baru saja memberikan tubuhnya untuk kontrak yang tak bisa ia batalkan.
“Benihmu sudah melangkah kecil menuju di dalam tubuhku, Brivan. Aku akan jadi Ibu?"
Hari itu, benih kehidupan mungkin mulai tertanam. Tapi bersamanya, tertanam juga ribuan luka tak bernama yang akan tumbuh bersama waktu.
Dan Hania... hanya bisa berharap ia tak hancur lebih dulu sebelum semuanya selesai
emaknya Brivan buruan pulang selametin anakmu.. jangan sampe telat..
emak nya brivan bakalan pulang. dan si nenek tapasya pasti gak bisa bergerak sesuka hati nya setelah ini
Oh nggak bisa, yang mengandung anak brivan itu hania, jadi Audy gak ada hak emm
kapan aja,, Brivan pasti bisa bangun melawan bius yang kau ciptakan !!
apa ibunya Brivan ga tau ya klu Audy sdh keguguran dan anaknya lagi terbaring sakit.
Ibunya Brivan akan datang,, berharap bgt dia akan bisa membawa Brivan pergi bersamanya,jika Brivan menjauh dr Mario,itu artinya Brivan akan bisa segera sadar,,,
nah loh ibunya brivan mau ke indo jenguk brivan gimana ya nanti reaksinya kalau tau Audy udah ga mengandung lagi