NovelToon NovelToon
Seribu Hari Mengulang Waktu

Seribu Hari Mengulang Waktu

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Time Travel / Sistem / Cinta Seiring Waktu / Mengubah Takdir / Kelahiran kembali menjadi kuat
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: Aplolyn

"Tuan Putri, maaf.. saya hanya memberikan pesan terakhir dari Putra Mahkota untuk anda"
Pria di depan Camilla memberikan sebilah belati dengan lambang kerajaan yang ujungnya terlihat begitu tajam.
.
"Apa katanya?" Tanya Camilla yang tangannya sudah bebas dari ikatan yang beberapa hari belakangan ini telah membelenggunya.
"Putra Mahkota Arthur berpesan, 'biarkan dia memilih, meminum racun di depan banyak orang, atau meninggal sendiri di dalam sel' "
.
Camilla tertawa sedih sebelum mengambil belati itu, kemudian dia berkata, "jika ada kehidupan kedua, aku bersumpah akan membiarkan Arthur mati di tangan Annette!"
Pria di depannya bingung dengan maksud perkataan Camilla.
"Tunggu! Apa maksud anda?"
.
Camilla tidak peduli, detik itu juga dia menusuk begitu dalam pada bagian dada sebelah kiri tepat dimana jantungnya berada, pada helaan nafas terakhirnya, dia ingat bagaimana keluarga Annette berencana untuk membunuh Arthur.
"Ya.. lain kali aku akan membiarkannya.."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aplolyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

~ Bab 4

Para bangsawan yang hadir berdesis kecil, berbisik-bisik di antara mereka, menilai setiap gadis yang masuk. Bagi mereka, seleksi ini bukan sekadar memilih calon pendamping Putra Mahkota, melainkan kesempatan emas untuk menaikkan derajat keluarga.

Di depan aula, seorang Herald Kerajaan mengumumkan dengan suara lantang.

“Penilaian pertama akan menguji keanggunan, kecerdasan, dan kepiawaian sosial para kandidat. Mereka akan diuji dalam tiga tahap, yaitu tata krama meja, keterampilan seni, dan perdebatan singkat mengenai politik kerajaan.”

Bisik-bisik semakin ramai. Para keluarga bangsawan mencondongkan tubuh, penasaran.

Camilla menarik napas dalam, mengingat setiap detail kehidupannya yang dulu. Ia tahu persis apa yang akan datang.

Tes pertama, tata krama meja adalah jebakan halus. Dulu ia kehilangan poin hanya karena menyentuh gelas dengan tangan yang salah. Sebuah kesalahan kecil, tapi cukup bagi gosip untuk berkembang.

Kini ia sudah siap.

Meja panjang penuh hidangan mewah tersaji: anggur merah, sup hangat, roti panggang, daging asap, dan buah segar. Para kandidat duduk berjejer, sementara para juri mengamati dengan tajam setiap gerakan mereka.

Annette duduk di ujung lain, wajahnya tetap manis polos. Ia pura-pura kebingungan saat melihat banyaknya peralatan makan, lalu tersenyum malu-malu. Beberapa bangsawan pria langsung berdesis kagum, kepolosannya justru menambah pesona.

Camilla melirik sekilas, namun segera fokus. Ia dengan tenang mengambil sendok yang benar, gerakannya anggun dan terukur.

Tidak terburu-buru, tidak pula ragu. Saat memotong daging, bilah pisaunya tidak menimbulkan bunyi berlebih, gerakannya halus bagaikan tarian.

Lady Debora, yang duduk sebagai pengawas, mengangkat alis. “Hm..” gumamnya pelan, tidak menemukan celah untuk mengkritik.

Sementara itu, salah satu kandidat dari keluarga Marquis Valmont menjatuhkan garpu ke lantai. Bunyi logam beradu dengan marmer membuat seisi aula menoleh. Gadis itu pucat, buru-buru meminta maaf, tapi sudah terlambat, kesan buruk sudah tercipta.

Camilla tetap tenang, menyeruput supnya dengan cara yang nyaris sempurna. Dalam hati ia tersenyum samar.

Tidak kali ini.. aku tidak akan terperangkap pada kesalahan konyol.

Setelah jamuan, para kandidat diminta menunjukkan keterampilan seni mereka. Ada yang bermain harpa, ada yang melantunkan puisi, ada pula yang menari ringan.

Annette maju dengan kecapi kecil di tangannya. Jemarinya yang mungil memetik senar, menghasilkan melodi lembut yang seakan menenangkan hati semua yang mendengarnya.

Senyumnya sederhana, tulus, membuat beberapa bangsawan wanita pun terpesona.

“Indah sekali..” bisik salah satu duchess.

Tak dapat dipungkiri, ekspresi Arthur juga memperlihatkan bahwa dia tertarik pada Annette.

Camilla maju setelahnya. Ia tidak membawa alat musik, melainkan buku kecil berisi puisi kuno. Ia membuka halaman dan membaca dengan suara jernih, intonasinya kuat namun penuh perasaan.

Kata-katanya bukan sekadar lantunan, melainkan membawa makna tentang keberanian, tentang pengorbanan, tentang cinta tanah air.

Hening. Seisi aula terdiam, terbawa oleh kekuatan suaranya.

Arthur yang semula duduk dingin tanpa ekspresi, tanpa sadar menoleh lebih lama. Ada ketegasan dalam suara Camilla yang berbeda dari gadis lain, seperti api yang tersembunyi di balik wajah tenang.

Elenora mengetuk kipasnya pelan, matanya menyipit.

Gadis ini.. tidak bisa diremehkan.

Selanjutnya adalah ujian yang paling ditunggu. Para kandidat diberi topik singkat: “Bagaimana seharusnya kerajaan menjaga hubungan dengan negara tetangga di utara yang baru saja pulih dari perang?”

Beberapa gadis memberi jawaban standar: “Dengan perjanjian damai”, “Dengan hadiah diplomatik”, atau “Dengan pesta kerajaan.”

Annette, dengan polosnya, berkata, “Saya percaya senyum dan kebaikan hati bisa mencairkan kebekuan. Jika kita menunjukkan ketulusan, tidak akan ada yang ingin berperang lagi.”

Jawaban itu membuat banyak bangsawan tersenyum kagum. Begitu sederhana, begitu manis.

Camilla melangkah maju. Suaranya tenang, namun membawa bobot.

“Damai tidak pernah dijaga dengan senyum semata. Negara tetangga mungkin menghormati kebaikan hati kita, tetapi mereka akan lebih menghormati kekuatan kita. Diplomasi terbaik adalah keseimbangan yang menunjukkan ketulusan, namun juga memperlihatkan bahwa kerajaan ini cukup kuat untuk melindungi rakyatnya dari ancaman apa pun.”

Ruangan terdiam sejenak, lalu terdengar tepukan pelan dari salah satu bangsawan senior.

Arthur, yang sejak awal hanya mengamati, menatap Camilla lebih lama kali ini. Ada sesuatu dalam ucapannya, sebuah kebenaran yang tak bisa dipungkiri.

Elenora tetap tersenyum, meski dalam hatinya ia tidak suka.

Bahaya.. jika gadis ini dibiarkan bersinar terlalu terang, ia akan menjadi pusat perhatian lebih cepat dari yang kuinginkan.

Sesi penilaian pertama pun berakhir. Para kandidat mundur dengan senyum menahan tegang.

Ibu Suri Elenora duduk di kursinya yang megah, kipas putih gadingnya sesekali terbuka menutupi senyum tipis. Lady Debora berdiri di sisinya, mencatat hasil ujian para kandidat.

“Anak-anak muda itu seperti bunga musim semi,” Elenora membuka suara, nadanya tenang tapi menyimpan tajamnya penilaian. “Indah, segar, namun hanya beberapa yang akan bertahan saat badai datang.”

Lady Debora menunduk hormat. “Benar, Yang Mulia. Dari semua kandidat, dua nama menonjol yaitu Lady Annette dan Lady Camilla.”

Ibu Suri Elenora masih menatap daftar nama di pangkuannya. Kipas gadingnya bergerak pelan, memainkan udara sambil matanya bersinar penuh perhitungan.

“Camilla El Barak..” ia mengulang nama itu pelan. Kali ini, bukan dengan nada sinis, melainkan penuh minat. “Bukan hanya kecantikan, tetapi kecerdasan yang tajam. Dia berbicara seolah terlatih dalam seni diplomasi sejak lahir.”

Lady Debora, yang masih berdiri di sisi, tampak heran. “Apakah Ibu Suri sungguh mempertimbangkan Lady Camilla?”

Elenora menoleh, senyum lembut tapi dalam. “Debora, aku sudah melihat banyak bunga di istana ini. Indah, tapi rapuh. Camilla berbeda. Ia tahu kapan harus diam, kapan harus bicara… dan itu adalah kualitas seorang ratu.”

Lady Debora menunduk. “Kalau begitu, apakah pilihan Ibu Suri sudah jelas?”

“Kita tidak terburu-buru,” jawab Elenora bijak, meski nada licik tetap terasa. “Annette mungkin manis, menyenangkan hati orang, tapi anak seperti itu mudah layu begitu angin berhembus kencang. Sedangkan Camilla.. ia bisa menjadi pohon kokoh di tengah badai.”

***

Sementara itu, Arthur duduk di balik meja kayu besar, namun pikirannya tidak lagi pada laporan perang. Ia memandang kosong ke nyala lilin, memutar kembali wajah gadis-gadis yang tadi diuji.

Aiden melaporkan dengan hati-hati, “Yang Mulia, sebagian besar bangsawan mulai membicarakan Lady Camilla. Mereka menilai keberaniannya menonjol. Namun, ada juga yang jatuh hati pada kelembutan Lady Annette.”

Arthur menoleh perlahan, dan untuk pertama kalinya senyum samar muncul di wajahnya. “Annette..” gumamnya, suaranya rendah. “Dia tidak berusaha menonjol, tapi justru karena itu.. dia berbeda.”

Aiden menatap tuannya dengan ragu. “Tapi, Yang Mulia, Lady Annette tidak punya dukungan politik kuat di belakangnya.”

“Justru itu,” Arthur memotong cepat. “Dia murni. Tidak ada ambisi yang membebani langkahnya. Dia seperti.. cahaya kecil di tempat ini.”

Aiden hanya bisa menunduk, menyadari arah hati Putra Mahkota mungkin berlawanan dengan kepentingan istana.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!