NovelToon NovelToon
Mahkota Surga Di Balik Cadar Fatimah

Mahkota Surga Di Balik Cadar Fatimah

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Cintapertama / Mengubah Takdir / Obsesi / Cinta pada Pandangan Pertama / Fantasi Wanita
Popularitas:57
Nilai: 5
Nama Author: Mrs. Fmz

Darah kakaknya masih basah di gaun pestanya saat Zahra dipaksa lenyap.
Melarikan diri dari belati ayahnya sendiri, Zahra membuang identitas ningratnya dan bersembunyi di balik cadar hitam sebagai Fatimah. Di sebuah panti asuhan kumuh, ia menggenggam satu kunci logam bukti tunggal yang mampu meruntuhkan dinasti berdarah Al-Fahri. Namun, Haikal, sang pembunuh berdarah dingin, terus mengendus aromanya di setiap sudut gang.
Di tengah kepungan maut, muncul Arfan pengacara sinis yang hanya percaya pada logika dan bukti. Arfan membenci kebohongan, namun ia justru tertarik pada misteri di balik sepasang mata Fatimah yang penuh luka. Saat masker oksigen keadilan mulai menipis, Fatimah harus memilih: tetap menjadi bayangan yang terjepit, atau membuka cadarnya untuk menghancurkan sang raja di meja hijau.
Satu helai kain menutupi wajahnya, sejuta rahasia mengancam nyawanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 29: Kabar di Televisi

Cahaya biru dari layar televisi tua itu memantul di dinding gua yang lembap, menampilkan gambar wajah Zahra Al-Fahri tanpa cadar yang diambil dari arsip lama. Fatimah terpaku di tempatnya berdiri, merasa seolah seluruh oksigen di dalam ruangan itu tersedot keluar dalam sekejap mata.

Penyiar berita menyebutkan bahwa kepolisian telah menemukan bukti baru yang mengaitkan hilangnya Zahra dengan sebuah skema pencurian aset perusahaan yang sangat besar. Tuduhan itu bukan hanya sekadar fitnah biasa, tetapi sebuah upaya sistematis untuk memburu Zahra hingga ke lubang semut sekalipun.

"Dunia luar sudah menyiapkan tiang gantungan untukmu, Zahra," bisik wanita misterius itu sambil meletakkan nampan ramuan di samping tubuh Arfan yang masih tidak sadarkan diri.

Fatimah memalingkan wajah dari layar, jemarinya meremas kain cadar yang menempel di dadanya dengan sangat kencang hingga buku jarinya memutih. Ia menatap wanita di depannya yang memiliki guratan wajah sangat mirip dengan mendiang Luna, seolah melihat hantu dari masa lalu yang bangkit kembali.

"Bagaimana kau bisa tahu nama asliku dan mengapa kau bersembunyi di tempat ini?" tanya Fatimah dengan suara yang bergetar hebat karena kombinasi rasa takut dan bingung.

"Nama adalah identitas yang mudah diubah, tetapi cahaya di matamu adalah warisan yang tidak bisa kau sembunyikan dari mereka yang mengenal ibumu," jawab wanita itu dengan tenang.

Wanita itu melangkah mendekat, aroma bunga kenanga dan rempah-rempah yang kuat tercium dari balik jubah panjangnya yang berwarna kelabu pucat. Ia meraih tangan Fatimah, memberikan kehangatan yang terasa sangat asing namun sekaligus menenangkan bagi jiwa Fatimah yang sedang terkoyak.

"Panggil aku Bibi Aisyah, aku adalah penjaga rahasia Luna yang tidak sempat ia ceritakan kepada pengacara keras kepala yang sedang pingsan ini," lanjutnya sambil menunjuk Arfan.

"Jika kau penjaganya, mengapa kau membiarkan Luna mati dan membiarkanku hidup dalam ketakutan selama bertahun-tahun?" desak Fatimah dengan nada yang mulai menuntut penjelasan.

Aisyah menghela napas panjang, matanya menatap langit-langit gua seolah sedang membaca lembaran sejarah yang tertulis di sela-sela bebatuan yang berlumut. Ia menjelaskan bahwa keselamatan Fatimah adalah prioritas utama yang diperintahkan oleh Luna sebelum kecelakaan maut itu terjadi di jalan raya.

"Musuh yang kau hadapi adalah monster yang menggunakan hukum sebagai taringnya, Zahra," ujar Aisyah sambil membantu Fatimah duduk di atas amben bambu.

"Lalu apa gunanya bersembunyi di sini jika televisi itu sudah menyebarkan wajahku ke seluruh penjuru negeri ini?" tanya Fatimah dengan keputusasaan yang semakin mendalam.

Aisyah terdiam sejenak, lalu ia berjalan menuju sebuah lemari kayu tua yang tersembunyi di balik tirai kain usang di sudut terdalam gua tersebut. Ia mengeluarkan sebuah kotak logam yang terkunci rapat dan meletakkannya di depan Fatimah dengan gerakan yang sangat hati-hati dan penuh wibawa.

"Di dalam kotak ini terdapat bukti yang akan membersihkan namamu sekaligus menghancurkan dinasti Al-Fahri jika kau berani menggunakannya," ucap Aisyah dengan tatapan mata yang sangat tajam.

"Tapi Arfan terluka parah, aku tidak bisa meninggalkan dia atau membawanya dalam kondisi seperti ini untuk melawan mereka," balas Fatimah sambil menoleh ke arah Arfan.

Arfan tiba-tiba mengerang pelan, kelopak matanya bergetar sebelum akhirnya terbuka sedikit demi sedikit untuk menyesuaikan diri dengan cahaya remang di dalam gua. Ia melihat Fatimah sedang berdiskusi dengan seorang wanita yang sangat mirip dengan Luna, membuatnya mengira bahwa ia sudah berada di alam baka.

"Luna? Apakah itu kau? Maafkan aku karena gagal melindungimu saat itu," igau Arfan dengan suara serak yang nyaris tidak terdengar oleh telinga manusia normal.

"Istirahatlah, Tuan Arfan, Anda masih berada di bumi dan bersama orang-orang yang membutuhkan bantuan Anda," potong Fatimah sambil mengusap kening Arfan dengan kain basah.

Arfan mulai menyadari kenyataan saat rasa perih di perutnya kembali berdenyut kencang, mengingatkannya pada pertempuran berdarah di pasar yang baru saja mereka lewati. Ia berusaha bangkit namun Aisyah menekankan tangannya di bahu Arfan, memaksa pria itu untuk tetap berbaring demi keselamatan jahitan lukanya.

"Kau beruntung peluru itu hanya menyerempet kulitmu, pengacara, tetapi racun fitnah di luar sana jauh lebih mematikan daripada timah panas," ujar Aisyah tanpa basa-basi.

"Siapa wanita ini, Fatimah? Dan mengapa wajahnya bisa sangat identik dengan mendiang istriku?" tanya Arfan dengan napas yang masih tersengal-sengal.

Fatimah menjelaskan secara singkat tentang Bibi Aisyah dan kotak logam yang baru saja ditunjukkan kepadanya sebagai kunci perjuangan mereka di masa depan. Arfan menatap kotak itu dengan mata berbinar, naluri pengacaranya seketika bangkit meskipun tubuhnya sedang berada dalam kondisi yang sangat rapuh.

"Kita harus segera membuka kotak itu, Fatimah, setiap detik yang kita buang adalah kemenangan bagi mereka yang menuduhmu sebagai pencuri," tegas Arfan sambil mencoba meraih kotak itu.

"Jangan terburu-buru, kunci kotak ini hanya bisa dibuka dengan sidik jari Zahra yang asli, bukan Fatimah yang bercadar," sela Aisyah sambil memberikan peringatan yang sangat penting.

Fatimah ragu sejenak, ia melihat jari-jarinya yang kasar karena pekerjaan berat di panti asuhan, bertanya-tanya apakah mesin di kotak itu masih bisa mengenalinya. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu meletakkan ibu jarinya di atas permukaan sensor logam dingin yang tertanam di bagian depan kotak tersebut.

Sebuah bunyi klik yang halus terdengar, diikuti oleh suara desisan udara dari dalam kotak yang seolah sudah terpendam selama puluhan tahun tanpa pernah dibuka. Tutup kotak itu terbuka perlahan, menampakkan tumpukan dokumen rahasia, kaset rekaman suara, dan sebuah kalung emas dengan liontin berbentuk mahkota kecil.

Arfan meraih salah satu dokumen dan membacanya dengan teliti, wajahnya yang tadi pucat kini berubah menjadi merah padam karena amarah yang meluap-luap. Dokumen itu berisi bukti transfer dana ilegal dari perusahaan ayah Zahra menuju rekening seorang pejabat tinggi kepolisian yang sering muncul di televisi.

"Ini lebih besar dari sekadar kasus pencurian, ini adalah konspirasi tingkat tinggi untuk menutupi pembunuhan Luna yang sebenarnya," ucap Arfan dengan suara yang bergetar.

"Apa maksud Anda, Tuan? Bukankah Luna meninggal karena kecelakaan rem blong?" tanya Fatimah dengan mata yang mulai berkaca-kaca karena terkejut.

"Lihat catatan ini, Fatimah, rem mobil Luna bukan blong karena aus, tetapi sengaja dipotong oleh orang suruhan ayahmu sendiri untuk membungkam rahasia ini," jelas Arfan.

Fatimah merasa dunianya runtuh seketika, kenyataan bahwa ayahnya sendiri adalah otak di balik kematian sahabat terbaiknya adalah belati yang menusuk jantungnya berkali-kali. Ia menangis tanpa suara di balik cadarnya, membiarkan air mata membasahi kain hitam yang selama ini menjadi saksi bisu penderitaannya.

Aisyah memeluk Fatimah dengan erat, memberikan kekuatan kepada gadis itu untuk tetap tegak di tengah badai informasi yang sangat menghancurkan jiwa ini. Di sudut gua, televisi tua itu kembali menyiarkan berita mendesak yang membuat suasana di dalam ruangan itu semakin mencekam dan penuh dengan aura ancaman.

Pembawa berita mengumumkan bahwa tim satuan khusus kepolisian telah berhasil melacak sinyal telepon terakhir Arfan yang mengarah tepat ke arah hutan lindung ini. Suara sirine helikopter mulai terdengar sayup-sayup dari atas atap gua, menandakan bahwa waktu persembunyian mereka sudah habis dan pengepungan besar telah dimulai.

"Mereka sudah di sini, Bibi Aisyah! Apa yang harus kami lakukan agar Arfan tidak tertangkap dalam kondisi seperti ini?" tanya Fatimah dengan kepanikan yang luar biasa.

"Gunakan lorong rahasia di bawah meja kerja Luna, itu akan membawa kalian ke sisi lain gunung yang tidak terjangkau oleh radar helikopter," perintah Aisyah dengan sigap.

Aisyah segera memadamkan lampu dan televisi, membiarkan gua kembali ke dalam kegelapan total untuk mengecoh penglihatan para pengejar yang mulai turun menggunakan tali. Fatimah membahu Arfan dengan sisa kekuatannya, melangkah masuk ke dalam lubang gelap yang sempit sambil terus mendekap kotak logam berharga itu di dadanya.

Saat mereka masuk lebih dalam ke lorong bawah tanah, suara ledakan kecil terdengar dari arah pintu masuk gua, menandakan bahwa polisi telah melakukan pendobrakan paksa. Fatimah terus merangkak di dalam tanah yang basah, tidak menyadari bahwa di ujung lorong itu sudah menunggu sosok pria yang paling ia takuti di seluruh dunia.

Cahaya senter yang sangat terang tiba-tiba menyinari wajah mereka, membuat Fatimah terpaksa menutup matanya karena silau yang sangat menyakitkan bagi penglihatannya. Di depan mereka berdiri Pratama Al-Fahri dengan senyum kemenangan yang sangat menyeramkan, sambil memegang pistol yang diarahkan tepat ke arah kepala Arfan yang sedang lemah.

"Selamat datang kembali ke rumah, putriku yang hilang, dan selamat jalan untuk pengacara yang sudah terlalu banyak mencampuri urusan keluarga kami yang sangat rahasia ini," ucap Pratama dengan nada suara yang penuh dengan kebencian.

 

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!