Rania Kirana seorang penjual cilok berprinsip dari kontrakan sederhana, terpaksa menerima tawaran pernikahan kontrak dari Abimana Sanjaya seorang CEO S.T.G. Group yang dingin dan sangat logis.
Syarat Rania hanya satu jaminan perawatan ibunya yang sakit.
Abimana, yang ingin menghindari pernikahan yang diatur keluarganya dan ancaman bisnis, menjadikan Rania 'istri kontrak' dengan batasan ketat, terutama Pasal 7 yaitu tidak ada hubungan fisik atau emosional.
Bagaimana kelanjutannya yukkk Kepoin!!!!
FOLLOW ME :
IG : Lala_Syalala13
FB : Lala Syalala13
FN : Lala_Syalala
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lala_syalala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PKCD BAB 26_Kesepian Sang CEO
Abimana menarik napas dalam-dalam, ia tahu Rania benar namun ia tidak bisa membiarkan perasaannya mengambil alih.
Ia takut kehilangan kendali, takut jika ia mengakui cintanya maka itu akan membuatnya lemah dan rentan seperti yang terjadi pada ibunya.
"Aku sudah bilang, aku menghargai mu dan aku berhutang budi pada mu tetapi kita tidak memiliki masa depan bersama Rania begitu kontrak ini selesai kamu akan pergi dengan modal dan rumah yang layak dan aku akan kembali ke kehidupan ku," kata Abimana.
"Jika kita mencintai satu sama lain, perpisahan itu akan menghancurkan kita berdua dan aku tidak akan membiarkan mu terluka karena aku." ucap Abimana.
"Anda melukai saya dengan penolakan ini, Abi. Itu lebih menyakitkan daripada perpisahan di masa depan," balas Rania, matanya mulai berkaca-kaca.
Abimana menutup matanya sejenak, ia berjalan ke mejanya dan mengambil buku cek.
"Aku melipatgandakan dana kompensasi mu, ambil ini dan fokus pada ibumu, lupakan ciuman itu karena itu adalah kesalahan ku. Aku hanya butuh kamu melanjutkan sandiwara ini hingga akhir," ujar Abimana mendorong cek itu ke arah Rania.
Ia mencoba menggunakan uang sebagai benteng pemisah antara dirinya dengan Rania.
Rania menatap cek itu, lalu menatap Abimana dengan tajam ia merasa marah dan sedih.
"Aku tidak butuh uang mu Abi dan aku sudah bilang bahwa aku menolak uang kamu," kata Rania.
Ia mengambil cek itu dan merobeknya menjadi potongan-potongan kecil dan melemparkannya ke lantai.
"Aku tidak akan menerima uang tambahan, dan aku akan tetap melanjutkan sandiwara ini. Bukan karena aku takut kamu, tetapi karena aku tidak akan meninggalkan sekutu ku di tengah badai, aku akan menyelesaikan janji ku tapi ingat bahwa aku tidak melakukan ini untuk uang, aku melakukan ini untuk kehormatan ku sendiri," tegas Rania, membalikkan badan dan berjalan keluar.
Rania menuju kamarnya, ia tahu ia tidak bisa lagi tidur di kamar itu maka dari itu ia mengambil selimut tenunnya dan pena kayunya, lalu ia pergi ke kamar tamu yang Rendra siapkan dulu.
Ia menutup pintu, menciptakan jarak fisik yang Abimana tolak untuk ciptakan secara emosional.
Abimana berdiri sendiri di ruang kerjanya, potongan-potongan cek yang dirobek Rania berserakan di lantai.
Ia menatap potongan-potongan kertas itu, merasa sangat bodoh dan Rania benar-benar berbeda.
Ia berjalan ke kasur di kamar utama, ia melihat ruang kosong yang ditinggalkan Rania.
Ia menyadari meski Rania ada di penthouse ini ia telah mendorongnya pergi.
Abimana mengambil selimut tenun yang Rania berikan dan ia memeluknya, selimut itu terasa hangat, beraroma laut Bali dan sedikit aroma bedak Rania.
"Aku takut, Rania." bisik Abimana pada dirinya sendiri, sebuah pengakuan yang tidak pernah ia berani ucapkan kepada siapa pun.
"Aku takut jika aku mencintaimu aku akan kehilangan diriku sendiri." lirihnya.
Ia merindukan kehangatan Rania, ia merindukan Rania di sofanya.
Tapi ia tahu, ia sendiri yang telah membangun tembok yang memisahkan mereka, tembok yang kini jauh lebih tebal dan lebih menyakitkan daripada dinding kaca penthouse ini.
Sandiwara pernikahan ini telah menciptakan cinta, tetapi ketakutan Abimana telah merobeknya.
Matahari belum sepenuhnya menampakkan diri di cakrawala Jakarta ketika Rania terbangun, di lantai lima puluh penthouse mewah ini, cahaya fajar menyelinap malu-malu melalui celah gorden sutra yang berat.
Namun, pagi ini Rania tidak terbangun di kamar utama yang luas dengan kasur king size yang empuk.
Ia terbangun di kamar tamu sebuah ruangan minimalis yang dingin, yang letaknya terpisah jauh oleh lorong panjang dari kamar Abimana.
Ia menatap langit-langit kamar yang putih bersih, pikirannya melayang pada kejadian semalam.
Robekan cek yang berserakan di lantai ruang kerja Abimana adalah simbol dari benteng terakhir yang ia bangun, Rania menyadari bahwa di dunia ini segala sesuatu bagi Abimana memiliki nilai nominal.
Namun, ia tidak akan membiarkan harga dirinya, apalagi perasaannya, menjadi salah satu angka dalam buku besar pria itu.
Rania bangkit, merasakan lantai marmer yang dingin menyentuh telapak kakinya.
Ia meraih selimut tenun dari Bali yang ia bawa dari kamar utama semalam, selimut itu bukan sekadar kain tapi baginya itu adalah pengingat tentang momen singkat di mana ia merasa Abimana benar-benar melihatnya sebagai manusia, bukan sebagai sekutu bisnis.
Ia melipat selimut itu dengan sangat hati-hati, seolah-olah jika ia menekannya terlalu keras, kenangan hangat itu akan hancur.
Di meja samping tempat tidur, pena kayu pemberian Abimana tergeletak diam.
Rania menatapnya cukup lama, ada dorongan untuk melemparkannya ke dalam laci dan menguncinya, tetapi ia mengurungkan niat itu.
Pena itu adalah pengakuan pertama Abimana atas intelektualitasnya, is akan tetap menggunakannya, bukan untuk mengenang pria itu, tetapi untuk menghargai kemampuannya sendiri yang sempat diakui.
Di sisi lain lorong, Abimana Sanjaya berdiri tegak di depan jendela kaca ruang kerjanya.
Matanya yang biasanya tajam dan penuh perhitungan kini tampak redup, dikelilingi bayangan gelap akibat kurang tidur.
Di lantai, serpihan kertas putih masih berserakan, ia sengaja melarang pelayan untuk membersihkannya semalam.
Ia ingin melihatnya, ia ingin diingatkan betapa bodohnya ia ketika mencoba menyelesaikan masalah emosional dengan logika transaksi.
Abimana merasa seperti seorang jenderal yang baru saja memenangkan peperangan besar, tetapi kehilangan seluruh pasukannya.
Proyek Bali aman, Amelia terbungkam dan publik memujanya, namun di dalam rumahnya sendiri, di tempat yang seharusnya menjadi wilayah kekuasaannya, ia merasa kalah telak.
"Aku takut," bisiknya lagi, kata-kata yang sama yang ia ucapkan semalam pada keheningan.
Suara ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunannya dan Rendra masuk dengan langkah yang sangat hati-hati, membawa tablet dan secangkir kopi hitam tanpa gula kesukaan tuannya.
"Tuan, jadwal Anda hari ini adalah rapat koordinasi dengan.." kalimat Rendra terhenti ketika matanya menangkap robekan cek di lantai.
Sebagai tangan kanan yang telah bertahun-tahun mengikuti Abimana, Rendra tidak perlu penjelasan panjang lebar untuk memahami bahwa semalam telah terjadi badai besar di penthouse ini.
"Bersihkan itu, Rendra," perintah Abimana tanpa menoleh.
Suaranya serak, seolah ada pasir yang tersangkut di tenggorokannya.
"Baik, Tuan. Dan... Nyonya Rania sudah bangun. Beliau sedang berada di dapur, menyiapkan sarapannya sendiri," lapor Rendra.
Abimana terdiam sejenak. "Dapur? Kenapa tidak menunggu pelayan?"
"Nyonya menolak bantuan pelayan pagi ini, Tuan. Beliau bilang ingin merasakan kembali tangan yang bekerja," jawab Rendra dengan nada netral meski hatinya merasa iba.
Abimana meletakkan kopinya yang masih mengepul, rasa pahit yang ia bayangkan dari kopi itu tiba-tiba terasa sudah menyebar di lidahnya sebelum ia sempat mencicipinya.
Ia melangkah keluar dari ruang kerja, menuju ruang makan, mencoba mengumpulkan kembali sisa-sisa wibawanya yang runtuh.
.
.
Cerita Belum Selesai.....
dia guru terbaik dalam kehidupan.
ayak ayak wae...
di tunggu updatenya