Melina Lamthana tak pernah merencanakan untuk jatuh cinta ditahun pertamanya kuliah. Ia hanya seorang mahasiswi biasa yang mencoba banyak hal baru dikampus. Mulai mengenali lingkungan kampus yang baru, beradaptasi kepada teman baru dan dosen. Gadis ini berasal dari SMA Chaya jurusan IPA dan Ia memilih jurusan biologi murnni sebagai program studi perkuliahannya dikarenakan juga dirinya menyatu dengan alam.
Sosok Melina selalu diperhatikan oleh Erick seorang dosen biologi muda yang dikenal dingin, cerdas, dan nyaris tak tersentuh gosip. Mahasiswi berbondong-bondong ingin mendapatkan hati sang dosen termasuk dosen perempuan muda. Namun, dihati Erick hanya terpikat oleh mahasiswa baru itu. Apakah mereka akan bersama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Greta Ela, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Setelah sampai diapartemen, Melina duduk ditepi kasurnya dan melamun. Pertemuan tadi di kelas oleh tatapan tajam Erick, Melina pulang ke apartemennya dengan perasaan yang tidak enak.
Bukan karena lelah, melainkan karena mengingat wajah Erick yang keras karena melihat Melina dekat dengan Devano. Ia tahu pasti Erick cemburu. Di dalam hatinya, Melina tidak merasakan apa-apa terhadap Devano selain rasa nyaman sebagai teman sekelompok. Tapi ia juga tahu, bagi Erick, kedekatan sekecil apa pun dengan pria lain adalah sebuah ancaman.
Melina termenung lama ditepi ranjangnya, pandangannya kosong menatap dinding. Bunga yang baru saja kembali dari kamar mandi menyenggol lengannya.
"Mel, kamu kenapa sih? Kok dari tadi diam terus kayak ada masalah?" tanya Bunga khawatir.
Melina tersenyum tipis.
"Enggak apa-apa, Bunga. Cuma lagi mikirin laporan praktikum yang banyak banget."
Bunga tidak terlalu percaya, tapi ia memutuskan untuk tidak mendesak. Ia tahu Melina akhir-akhir ini memang sering melamun.
Malam harinya, setelah makan malam singkat bersama Bunga, Melina memberanikan diri. Ia meraih ponselnya, tangannya bergetar saat mengetik pesan untuk Erick.
@Melinaa_: "Erick, maafkan aku."
Tidak sampai lima menit, balasan dari Erick langsung masuk.
@Erickfrag: "Kalau aku tidak suka kamu terlalu dekat dengan Devano. Jangan memancing saya, Melina."
Melina menarik napas dalam. Ia tahu Erick adalah pria posesif. Dan ia juga tahu, ia harus jujur jika ingin hubungan rahasia mereka bertahan.
@Melinaa_: "Aku tidak ada apa-apa dengan Devano, Erick. Dia hanya teman sekelasku, hanya teman sekelompok praktikum. Tidak lebih dari itu."
Beberapa detik berlalu, Erick langsung membalas pesan Melina.
@Erickfrag: "Tetap saja, aku tidak suka melihatnya terlalu dekat denganmu. Aku cemburu, Melina. Kamu tahu itu. Jangan membuatku kehilangan kendali."
Melina membaca balasan itu dengan perasaan agak geli sekaligus ngeri. Geli karena mengetahui Erick, dosennya yang tegas, bisa secemburu itu. Ngeri karena ia tahu bagaimana Erick bisa kehilangan kendali. Ia sudah menjadi milik Erick, dan wajar jika pria itu merasakan cemburu.
@Melinaa_: "Baik, Erick. Maafkan aku. Aku akan lebih berhati-hati."
@Erickfrag: "Bagus. Sekarang, istirahatlah. Sampai besok."
Melina membalas singkat, lalu meletakkan ponselnya. Ia kembali ke laporan praktikumnya, mencoba mengusir pikiran tentang Erick dan Devano. Ia tidak menyangka Erick akan seposesif ini. Padahal, dari sudut pandangnya, ia tidak ada hubungan apa-apa dengan Devano. Tapi di sisi lain, ia tahu Devano mungkin tidak merasakan hal yang sama.
Keesokan harinya, Melina memasang wajah yang cemerlang. Ia tak ingin Bunga khawatir padanya. Setelah siap-siap, mereka lalu pergi ke kampus berjalan kaki. Ia merasa diawasi, terutama oleh tatapan tajam dari Erick yang sesekali melintas di koridor.
Saat jam makan siang, Melina dan Bunga duduk di kantin, menyantap nasi goreng sederhana. Tiba-tiba, Devano muncul dari keramaian, membawa sepiring siomay. Ia melangkah mendekati meja Melina.
"Boleh aku gabung?" tanya Devano sopan.
Bunga tersenyum. "Tentu saja, Dev. Sini!" ujar Bunga
Devano duduk di samping Melina. Jarak mereka memang tidak terlalu dekat, tapi cukup untuk membuat Melina merasa tidak nyaman. Ia tahu Erick pasti ada di sekitar sini.
Melina sedikit menggeser tempat duduknya, membuat sedikit celah ebih di antara mereka. Ia mengangkat pandangannya, dan benar saja. Di dekat pintu kantin, Erick berdiri tegak di samping meja makan khusus dosen, tatapannya dingin dan lurus ke arah Melina. Wajahnya menunjukkan ekspresi yang tak terbaca, namun Melina bisa merasakan aura kemarahan yang terpancar dari jauh.
Melina cepat-cepat menunduk, mencoba berpura-pura tidak melihat. Devano sendiri tampak tidak menyadari apa-apa. Ia mulai menyantap siomaynya dengan tenang, sesekali bertukar obrolan ringan dengan Bunga tentang praktikum sore nanti.
Sore harinya, tiba giliran praktikum Biologi. Melina dan kelompoknya, Devano, Bunga, dan Raka, sudah siap di laboratorium. Namun, bukan Miss Yolan yang masuk, melainkan Erick.
"Selamat sore. Miss Yolan ada rapat penting hari ini, jadi saya yang akan menggantikannya," suara Erick datar.
Para mahasiswa langsung tegang. Tak berani berbisik kenapa harus Pak Erick yang masuk. Dikelas aja mereka merasakan kecanggungan, tiba-tiba sekali beliau harus menggantikan Miss Yolan untuk praktikum hari ini.
Melina menahan napas. Ini akan menjadi praktikum yang sangat panjang dan canggung.
Erick berjalan ke depan, menjelaskan materi pertumbuhan tanaman dengan sangat profesional. Matanya sesekali melihat seluruh ruangan, namun fokus utamanya selalu tertuju pada kelompok Melina. Ia melihat bagaimana Devano, dengan sigap dan efisien, membantu Bunga menyiapkan mikroskop.
Tapi, ada aja satu mahasiswa yang ngeyel. Mereka malah berbisik tentang Erick
"Kenapa sih harus Bapak ini yang menggantikan Miss Yolan. Aku takut lho." ucap beberapa mahasiswa yang duduk dibelakang.
"Yang dibelakang." tunjuk Erick
Mata Erick memang begitu tajam, ya. Bahkan orang berbisik pun dia tahu.
"Peringatan kedua, kalian keluar dan mengulang praktikum semester depan." uajrnya tegas.
Mahasiswa itu pun gugup dan menutup mulutnya. Memang Erick ini sangat sensitif, baperan, gak bisa diajak bercanda. Percuma ganteng.
Saat Erick menjelaskan tentang bagaimana cara mengatur fokus mikroskop untuk mengamati sel-sel yang membelah, ia tiba-tiba mengajukan pertanyaan pada Melina.
"Melina, coba praktikkan cara memperbesar perbesaran mikroskop dengan benar."
Melina mendekati mikroskop, namun mendadak otaknya kosong. Entah karena gugup di bawah tatapan Erick, atau memang ia lupa detailnya, tangannya terasa kaku.
"Ehm... putar yang ini..."
Sebelum Melina sempat menyelesaikan kalimatnya, Devano yang berdiri di sampingnya dengan sigap mengulurkan tangan.
"Mel, putar bagian makrometer yang ini dulu, lalu mikrometernya pelan-pelan sampai jelas." Ia menunjuk bagian yang benar tanpa menyentuh Melina, namun tubuhnya memang sangat dekat dengan gadis itu.
"Cieee... Devano sat-set banget bantu Melina," goda Bunga pelan, menyenggol lengan Melina. Raka di samping mereka ikut terkekeh.
Melina hanya bisa tersenyum kaku. Wajahnya memerah, bukan karena godaan Bunga, melainkan karena ia bisa merasakan aura kemarahan Erick yang mendadak meningkat. Erick menatap mereka, khususnya Devano, dengan pandangan yang ingin membunuh. Namun, pria itu berhasil menahannya. Ia harus tetap profesional.
Erick memang mengakui dalam hati bahwa Devano itu sangat pintar. Mahasiswa itu memiliki pemahaman praktis yang kuat. Itu adalah saingannya.
"Baik, terima kasih atas bantuanmu, Devano. Melina, pastikan kamu mengingatnya. Ini dasar sekali," ujar Erick dingin.
"Baik Pak." jawab Melina gugup.
Selama sisa praktikum, Devano memang selalu berada dekat Melina. Ia membantu menjelaskan langkah-langkah, berbagi tips praktis, dan memastikan Melina tidak kesulitan.
Bunga terus menggoda mereka berdua, yang membuat Melina semakin tidak nyaman sekaligus takut akan reaksi Erick. Sementara itu, Erick terus mengajar dengan profesional, namun matanya tak pernah lepas dari kelompok empat itu. Ia melihat interaksi mereka, ia mendengar tawa Bunga, dan ia merasakan cemburu yang menggerogoti jiwanya.
Erick tahu, ia tidak bisa membiarkan ini berlanjut. Libur semester mungkin telah menunggu cinta mereka, tetapi kehadiran Devano di kampus kini menjadi penghalang bagi Erick.