NovelToon NovelToon
Buddha Asura: Sang Pelindung Dharma

Buddha Asura: Sang Pelindung Dharma

Status: sedang berlangsung
Genre:Mengubah Takdir / Epik Petualangan / Fantasi Timur / Balas Dendam
Popularitas:11.9k
Nilai: 5
Nama Author: Kokop Gann

Di puncak Gunung Awan Putih, Liang Wu hanya mengenal dua hal: suara lonceng pagi dan senyum gurunya. Ia percaya bahwa setiap nyawa berharga, bahkan iblis sekalipun pantas diberi kesempatan kedua.

Namun, kenaifan itu dibayar mahal. Ketika gurunya memberikan tempat berlindung kepada seorang pembunuh demi 'welas asih', neraka datang mengetuk pintu. Dalam satu malam, Liang Wu kehilangan segalanya: saudara seperguruan dan gurunya yang dipenggal oleh mereka yang menyebut diri 'Aliansi Ortodoks'.

Terkubur hidup-hidup di bawah reruntuhan kuil yang terbakar, Liang Wu menyadari satu kebenaran pahit: Doa tidak menghentikan pedang, dan welas asih tanpa kekuatan adalah bunuh diri.

Ia bangkit dari abu, bukan sebagai iblis, melainkan sebagai mimpi buruk yang jauh lebih mengerikan. Ia tidak membunuh karena benci. Ia membunuh untuk 'menyelamatkan'.

"Amitabha. Biarkan aku mengantar kalian ke neraka, agar dunia ini menjadi sedikit lebih bersih."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kokop Gann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sungai Logam Cair

Matahari pagi belum mampu menembus kabut asap tebal yang menyelimuti Kota Tungku Dewa, tetapi kota itu sudah terbangun oleh suara sirine.

NGUIIING! NGUIING!

Suara itu bukan berasal dari terompet biasa, melainkan dari Totem Naga Penjaga yang tersebar di setiap sudut kota. Suaranya melengking tinggi, menusuk telinga, menandakan status Siaga Merah.

Di dalam bangkai tungku pembakaran di Cincin Luar, sepasang mata terbuka.

Mata itu tidak lagi memiliki bagian putih. Sclera-nya telah berubah menjadi hitam pekat, sementara irisnya bersinar dengan warna emas kemerahan yang redup namun intens.

Liang Wu menarik napas.

Udara di sekitarnya bergetar.

Dia mencoba menggerakkan tangannya. Rasanya berat, tapi bukan karena lelah. Rasanya berat karena kepadatan otot dan tulangnya telah meningkat drastis.

Dia melihat lengannya. Kulit tembaga yang sebelumnya hanya ada di lengan dan dada, kini telah menyebar ke seluruh tubuhnya. Namun warnanya berubah. Bukan lagi merah tembaga yang mencolok, melainkan abu-abu metalik yang gelap, mirip dengan warna besi tempa yang sudah didinginkan.

[Kitab Tubuh Asura Besi - Tingkat 2: Daging Besi].

Liang Wu mengepalkan tangannya.

Krak.

Batu bata di bawah tangannya hancur menjadi debu hanya karena remasan kasual.

Dia melihat ke dalam dirinya.

Di Dantian-nya, kabut emas yang dulu berputar-putar kini telah lenyap. Sebagai gantinya, terdapat sebuah danau kecil berisi cairan emas kental yang beriak tenang. Di tengah danau itu, ada setitik noda merah darah—sisa dari esensi Darah Naga yang telah menyatu dengan fondasi kultivasinya.

Ranah Pembentukan Pondasi - Tingkat Awal.

Liang Wu berdiri. Tulang-tulangnya berbunyi seperti rantai besi yang ditarik.

Dia merasa... kuat.

Perasaan lapar yang menghantuinya selama sebulan terakhir telah hilang, digantikan oleh perasaan penuh yang stabil.

Namun, dia tidak punya waktu untuk mengagumi tubuh barunya.

Suara sirine semakin kencang. Dan dia bisa mendengar suara langkah kaki ribuan prajurit yang berlari di jalanan utama Cincin Luar.

"Cari di setiap gudang! Cari di setiap lorong!" teriak suara yang diperkuat Qi dari langit. Itu suara Tetua Mo. "Tikus itu mencuri Serum Naga! Siapa pun yang menemukannya, hidup atau mati, akan diangkat menjadi Murid Inti!"

Liang Wu mengintip dari celah dinding tungku yang retak.

Langit dipenuhi oleh Kultivator Pedang Terbang. Murid-murid elit Sekte Tungku Dewa sedang menyisir area dari udara. Di darat, golem batu dan anjing pelacak menyusuri setiap gang.

Gerbang kota pasti sudah ditutup total. Formasi pertahanan udara juga pasti sudah aktif, membuat siapa pun yang mencoba terbang keluar akan ditembak jatuh oleh meriam api.

Dia terkurung.

"Jalan darat buntu. Jalan udara bunuh diri," gumam Liang Wu.

Matanya menyapu sekeliling, mencari jalan keluar. Pandangannya jatuh pada kanal besar yang mengalir tepat di belakang pabrik pembuangan ini.

Kanal itu lebar, sekitar dua puluh meter. Tapi isinya bukan air.

Isinya adalah limbah logam cair—campuran besi, tembaga, dan timah sisa peleburan yang masih membara dengan suhu ribuan derajat. Cairan kental berwarna oranye-putih itu mengalir lambat menuju danau pembuangan di luar tembok kota.

Uap panas yang naik dari sungai itu bisa memasak manusia dalam hitungan detik. Bahkan kultivator Pembentukan Pondasi biasa tidak akan berani mendekatinya tanpa artefak pelindung tingkat tinggi.

Tapi Liang Wu menatap sungai neraka itu dengan tatapan aneh.

Kulit barunya tidak merasakan panas dari jarak ini. Justru, pori-porinya seolah terbuka, menyerap hawa panas itu seperti tanaman menyerap sinar matahari.

"Daging Besi..." bisiknya. "Apakah kau sekuat namanya?"

Langkah kaki prajurit mendekat ke arah bangkai tungku tempatnya bersembunyi.

"Periksa tungku itu! Anjing pelacak mencium bau darah di sana!"

Tidak ada pilihan lain.

Liang Wu mengambil parang karatannya dan buntalan barang-barangnya. Dia membungkus Kantong Penyimpanan Zhao dengan lapisan kulit babi sisa topengnya untuk melindunginya dari panas langsung.

Dia berlari keluar dari persembunyiannya, menuju tepian kanal.

"Itu dia! Di tepi kanal!" teriak seorang murid yang terbang di atas pedang. "Serang!"

Tiga bola api meluncur ke arahnya.

Liang Wu tidak menoleh. Dia melompat.

Bukan ke seberang. Tapi ke dalam.

"Dia bunuh diri?!" seru murid itu, menghentikan serangannya.

BYUR!

Tubuh Liang Wu menghantam permukaan logam cair yang kental itu. Dia tidak tenggelam seperti di air. Cairan itu memiliki densitas tinggi. Dia hanya amblas sampai sepinggang.

Rasa sakit menyengat kulitnya sesaat, seperti disiram air panas mendidih. Tapi hanya itu. Kulit besinya yang berwarna abu-abu gelap seketika berubah menjadi merah membara, menyerap suhu ekstrem itu.

Bajunya yang tersisa terbakar habis dalam sekejap, menyisakan dia telanjang bulat dalam wujud logamnya.

"Hah..." Liang Wu menghembuskan napas. Uap api keluar dari mulutnya.

Dia tidak mati. Dia bahkan tidak melepuh.

Darah naga di dalam tubuhnya bersorak. Ini adalah elemennya.

"Kejar dia!" teriak Tetua Mo yang baru tiba dengan kereta terbangnya. "Jangan biarkan dia lolos! Tembak!"

Hujan panah dan mantra sihir menghujani sungai logam itu.

Liang Wu menarik napas dalam-dalam, lalu menyelam.

Dia membenamkan seluruh tubuhnya ke dalam cairan logam itu.

Di bawah permukaan, dunia menjadi oranye murni. Suara bising di atas sana teredam. Gerakannya menjadi lambat, berat, seperti berenang di dalam madu. Tapi Qi Cair di tubuhnya meledak, memberinya tenaga dorong.

Dia berenang mengikuti arus.

Di atas permukaan, para murid Sekte Tungku Dewa menatap sungai itu dengan bingung. Panah-panah mereka meleleh begitu menyentuh cairan. Mantra es menguap. Mereka tidak bisa melihat apa-apa di bawah sana.

"Dia pasti sudah mati," kata seorang murid. "Tidak ada yang bisa bertahan di sana lebih dari tiga napas."

"Tunggu..." kata Tetua Mo, matanya yang gila menyipit. Dia melihat riak aneh yang bergerak cepat di permukaan sungai, menuju ke arah gerbang pembuangan di tembok kota. "Mustahil... Tubuh macam apa yang bisa menahan panas inti bumi?"

Tetua Mo menyadari sesuatu.

"Serum Darah Naga... dia berhasil menyerapnya! Dan dia menggabungkannya dengan teknik tubuh! KITA BARU SAJA MENCIPTAKAN MONSTER!"

"Tutup Gerbang Pembuangan! CEPAT!"

Di ujung kanal, terdapat jeruji besi raksasa yang menyaring sampah besar sebelum limbah masuk ke danau luar. Jeruji itu terbuat dari Besi Hitam Beku, satu-satunya logam yang tidak meleleh di sungai ini.

Liang Wu melihat jeruji itu di depannya.

Jeruji itu mulai turun, menutup celah di bawah tembok kota.

Liang Wu mempercepat renangnya. Otot-ototnya bekerja melampaui batas.

Terlambat, batinnya. Jeruji itu sudah menutup setengah jalan. Celahnya tinggal sedikit.

Liang Wu tidak melambat. Dia memutar tubuhnya di dalam cairan logam, memusatkan seluruh tenaga dan momentumnya ke bahu kanannya.

Dia menjadi proyektil hidup.

TEKNIK ASURA BESI: SERUDUKAN GUNUNG.

BUMMM!

Liang Wu menghantam jeruji itu tepat sebelum tertutup rapat.

Suara benturannya terdengar tumpul di dalam cairan.

Jeruji besi beku yang konon tak tertembus itu bengkok. Engselnya yang ditanam di batu tembok retak.

Liang Wu, dengan bahu yang terasa nyeri hebat, memaksa tubuhnya melewati celah bengkok itu. Logam cair di sekitarnya ikut tersedot keluar karena tekanan arus.

Dia lolos.

Dia meluncur keluar dari mulut pipa pembuangan raksasa di sisi luar tembok kota, jatuh bebas bersama air terjun logam cair.

Dia jatuh setinggi lima puluh meter ke Danau Limbah di bawah.

DUM.

Dia mendarat di tumpukan kerak logam yang mulai mendingin di pinggir danau.

Liang Wu berguling, terbatuk-batuk memuntahkan cairan logam yang sempat masuk ke mulutnya. Seluruh tubuhnya berasap. Kulitnya yang tadi merah membara perlahan kembali menjadi abu-abu gelap saat bersentuhan dengan udara luar yang lebih dingin.

Dia berbaring telentang, menatap langit yang tertutup asap.

Dia hidup.

Dia berada di luar tembok.

Liang Wu mencoba duduk. Tubuhnya terasa kaku. Energi yang dia keluarkan untuk berenang di cairan seberat itu dan menghantam gerbang telah menguras stamina fisiknya.

Dia melihat ke arah tembok kota yang menjulang tinggi di atasnya. Di sana, dia bisa melihat sosok-sosok kecil yang melongok ke bawah.

Liang Wu mengangkat tangan kanannya—tangan yang kini tampak seperti tangan patung besi—dan mengacungkan jari tengahnya.

Sebuah gerakan kasar yang dia pelajari dari preman pasar Kota Yan.

"Simpan obatmu, Mo," gumam Liang Wu. "Aku akan kembali untuk mengambil sisanya nanti."

Dia memaksakan diri berdiri. Dia telanjang, tanpa senjata di tangan (parang dan barang lainnya tersimpan aman di dalam Kantung Penyimpanan yang dia lindungi dengan Qi di pinggangnya—untungnya kantung itu sendiri adalah artefak tingkat tinggi yang tahan elemen).

Liang Wu membuka kantung itu, mengeluarkan jubah cadangan milik Zhao. Kain sutra itu terasa terlalu halus di kulit besinya.

Dia mengeluarkan peta.

Dia sekarang berada di sisi selatan Kota Tungku Dewa.

Jika dia terus ke selatan, dia akan memasuki wilayah Provinsi Yun.

Tempat di mana Duan berada.

Dan sekarang, dengan tubuh Pembentukan Pondasi dan Daging Besi, Liang Wu bukan lagi pemburu yang mengendap-endap. Dia adalah bencana alam yang berjalan.

"Tunggu aku, Duan," bisiknya.

Liang Wu mulai berjalan, meninggalkan jejak kaki yang dalam dan hangus di tanah. Setiap langkahnya meninggalkan asap tipis.

Dia tidak lagi membutuhkan jalan tikus. Hutan, sungai, atau batu... tidak ada yang bisa menghalangi jalan Besi.

Di belakangnya, sirene Kota Tungku Dewa masih meraung, meratapi hilangnya aset berharga mereka.

Tapi bagi Liang Wu, suara itu adalah musik kemenangan.

1
azizan zizan
jadi kuat kalau boleh kekuatan yang ia perolehi biar sampai tahap yang melampaui batas dunia yang ia berada baru keluar untuk balas semuanya ..
azizan zizan
murid yang naif apa gurunya yang naif Nih... kok kayak tolol gitu si gurunya... harap2 si murid bakal keluar dari tempat bodoh itu,, baik yaa itu bagus tapi jika tolol apa gunanya... keluar dari tempat itu...
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Yeaaah 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Waooow 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Misi dimulai 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Cerita bagus...
Alurnya stabil...
Variatif
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Sukses 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Sapu bersih 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Hancurken 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Yup yup yup 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Jlebz 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Rencana brilian 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Dicor langsung 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Bertambah kuat🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Semangat 🦀🍄
Wiji Lestari
busyet🤭
pembaca budiman
saking welas asihnya ampe bodoh wkwkwm ciri kas aliran putih di novel yuik liang ambil alih kuil jadiin aliran abu² di dunia🤭
syarif ibrahim
sudah mengenal jam kah, kenapa nggak pake... 🤔😁
Wiji Lestari
mhantap
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Keadilan yg tidak adil🦀🍄
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!