Di sebuah desa kecil di lereng Gunung Sumbing, Temanggung, hidup seorang pemuda bernama Arjuna Wicaksono. Sejak kecil, ia hanya tinggal bersama neneknya yang renta. Kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan saat ia masih balita, sementara kakeknya telah lama pergi tanpa kabar. Hidup Arjuna berada di titik terendah ketika ia baru saja lulus SMA. Satu per satu surat penolakan beasiswa datang, menutup harapannya untuk kuliah. Di saat yang sama, penyakit neneknya semakin parah, sementara hutang untuk biaya pengobatan terus menumpuk. Dihimpit keputusasaan, Arjuna memutuskan untuk merantau ke Jakarta, mencari pekerjaan demi mengobati sang nenek. Namun takdir berkata lain. Malam sebelum keberangkatannya, Arjuna menemukan sebuah kotak kayu berukir di balik papan lantai kamarnya yang longgar. Di dalamnya tersimpan cincin perak kuno dengan batu safir biru yang misterius - warisan dari kakeknya yang telah lama menghilang. Sejak menggunakan cincin itu, kehidupanNya berubah drastis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RivaniRian21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30 Gembel?
Cengkeraman Arjuna di pergelangan tangan Rian terasa seperti belenggu baja. Dingin, tak tergoyahkan, dan penuh dengan kekuatan tersembunyi. Rian, yang terbiasa menjadi pihak yang dominan, merasakan gelombang kejut dan rasa sakit yang menjalar di lengannya.
Amarah dan rasa malu yang luar biasa membakar wajahnya. Ia mencoba menarik tangannya dengan sekuat tenaga, namun sia-sia. Cengkeraman itu tidak goyah sedikit pun.
"LEPASIN TANGAN GUE, ANJING!" teriak Rian, suaranya sarat dengan amarah. "Lo nggak tahu siapa gue, hah?! Lo cari mati?!"
Arjuna hanya menatapnya dengan dingin, matanya yang tenang seolah menembus jiwa Rian, membuatnya merasa telanjang dan kecil.
Melihat lawannya tidak terintimidasi, Rian pun mengeluarkan senjata andalannya, senjata yang selalu berhasil membuatnya menang dalam setiap situasi: status dan kekayaan.
"Dengar ya, gembel!" desisnya, nadanya kini penuh ancaman. "Bokap gue itu salah satu konglomerat terkaya di negara ini! Sekali gue telepon, hidup lo yang miskin itu bisa gue buat lebih sengsara! Gue bisa cari tahu lo tinggal di mana, sekolah di mana, dan gue hancurin semuanya! Lo bakal nyesel seumur hidup udah berani nyentuh gue!"
Ancaman itu diucapkan dengan penuh keyakinan. Di dunia Rian, uang dan kekuasaan orang tuanya adalah hukum tertinggi yang bisa membengkokkan segalanya.
Namun, yang terjadi selanjutnya di luar dugaannya. Pemuda di hadapannya tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun. Sebaliknya, cengkeraman di pergelangan tangannya justru sedikit mengencang, membuat Rian meringis kesakitan.
"Uang," kata Arjuna pelan, suaranya datar namun menusuk. "Tidak memberimu hak untuk memukul seorang wanita."
Jawaban singkat itu, yang sama sekali tidak menanggapi ancaman kekayaannya, terasa seperti tamparan yang lebih keras bagi Rian. Seolah semua kekuasaan yang ia banggakan tidak ada artinya di mata pemuda ini.
Sementara itu, Mia masih berdiri membeku. Beberapa detik yang lalu, ia sudah pasrah menerima tamparan. Kini, ia disuguhkan sebuah pemandangan yang tidak masuk akal. Seorang pemuda asing berpenampilan sangat sederhana baru saja menghentikan Rian, pacarnya yang kaya dan berkuasa, dengan begitu mudah.
Ia mendengar ancaman Rian tentang kekayaan keluarganya, sebuah ancaman yang ia tahu betul bukan gertakan sambal. Siapapun yang mendengar ancaman itu seharusnya gemetar ketakutan. Tapi pemuda ini... ia tidak bergeming. Ia bahkan terlihat lebih superior.
Mia menatap pemuda itu dengan lekat. Kemeja flanelnya murah, celananya biasa saja, tapi punggungnya yang tegap dan cengkeramannya yang kokoh memancarkan kekuatan yang sangat berbeda. Kekuatan yang tidak datang dari uang atau status. Kekuatan yang murni dan mentah. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Mia melihat seorang pria yang tidak terintimidasi oleh kemegahan dunia yang biasa mengelilinginya. Dan entah mengapa, hatinya yang tadinya penuh amarah dan sakit hati, kini merasakan getaran kekaguman yang aneh.
Di sisi lain kerumunan, Ucup akhirnya berhasil menarik kesadarannya kembali. Ia melihat temannya, Arjuna, kini berhadapan langsung dengan masalah besar. Tanpa pikir panjang, ia segera menerobos kerumunan.
"Jun! Udah, Jun, ayo pergi!" bisik Ucup panik sambil menarik-narik lengan Arjuna.
"Jangan dicari lagi masalahnya! Nanti satpam datang!"
Mendengar suara Ucup dan melihat kepanikan di wajah temannya itu, Arjuna seolah kembali ke dunia nyata. Tujuannya sudah tercapai: tamparan itu tidak pernah mendarat. Peringatan sudah diberikan.
Dengan satu tatapan tajam terakhir pada Rian, Arjuna melepaskan cengkeramannya begitu saja.
Rian langsung terhuyung mundur, memegangi pergelangan tangannya yang memerah dan terasa nyeri. Matanya masih menatap Arjuna dengan campuran benci dan sedikit rasa takut yang tak mau ia akui. Panggungnya telah direbut, harga dirinya telah hancur lebur di depan umum.
Arjuna tidak melawan. Ia membiarkan Ucup menariknya pergi. Tujuannya sudah tercapai. Ia telah mencegah sebuah kekerasan dan memberikan peringatan. Tidak ada lagi yang perlu ia lakukan di sana.
Saat mereka mulai membaur dengan kerumunan pengunjung mall yang lain, Arjuna tanpa sadar menoleh ke belakang sekali lagi. Untuk sepersekian detik, matanya bertemu langsung dengan mata Mia.
Di momen itulah, di tengah keramaian dan kekacauan, Mia bisa melihat wajah penolongnya dengan sangat jelas untuk pertama kali. Bukan lagi siluet atau sosok misterius. Ia melihat sepasang mata yang tenang, dalam, dan entah mengapa memancarkan sedikit kesedihan. Tidak ada kesombongan atau amarah di sana. Wajah itu adalah wajah seorang pemuda biasa, namun tatapan matanya sama sekali tidak biasa. Wajah itu terpatri di benaknya.
Arjuna kemudian berbalik sepenuhnya dan menghilang di antara kerumunan bersama Ucup.
Mia masih berdiri mematung. Adrenalinnya mulai surut, meninggalkan tubuh yang sedikit gemetar dan hati yang berdebar kencang. Ia menatap ke arah perginya Arjuna, lalu beralih ke Rian.
Rian berdiri sambil memegangi pergelangan tangannya yang memerah. Wajahnya yang tampan kini terdistorsi oleh amarah dan penghinaan yang mendalam. Ia telah dipermalukan. Di depan umum, di depan pacar barunya, dan yang terparah, oleh seorang anak kampung yang bahkan tidak ia anggap sebagai ancaman.
Ia menatap tajam ke arah menghilangnya Arjuna, matanya menyipit penuh kebencian. Ia benar-benar menandai wajah itu. Setiap detailnya. Ia tidak akan pernah melupakannya.
"Sialan..." desisnya. Ia lalu menoleh pada Sinta yang masih tampak ketakutan. "Aku nggak akan biarin dia lolos begitu aja. Kita pergi!"
Dengan kasar, Rian menarik lengan Sinta dan berjalan pergi dengan langkah cepat penuh amarah, meninggalkan jejak kebencian dan janji akan sebuah pembalasan.
Mia kini benar-benar sendirian di tengah food court. Beberapa orang masih menatapnya dan berbisik-bisik. Petugas keamanan mall akhirnya tiba dan menghampirinya, menanyakan apa yang terjadi. Tapi pikiran Mia tidak lagi di sana. Ia tidak peduli pada Rian, tidak peduli pada Sinta, tidak peduli pada tatapan orang-orang.
Pikirannya dipenuhi oleh satu hal: wajah pemuda sederhana dengan kekuatan tak masuk akal dan mata yang menenangkan. Siapakah dia? Dan bagaimana mungkin ia bisa muncul di saat yang paling tepat? Sebuah pertanyaan besar kini menggantikan rasa sakit hatinya. Sebuah misteri yang entah mengapa, ia merasa harus ia pecahkan.
Arjuna dan Ucup berjalan dengan cepat, meninggalkan keramaian di food court jauh di belakang mereka. Ucup terus menarik lengan Arjuna, membawanya menyusuri koridor-koridor mall hingga akhirnya mereka keluar dari pintu utama, kembali ke hiruk pikuk jalanan Jakarta di waktu senja.
Napas Ucup masih terengah-engah, bukan karena lelah fisik, tapi karena syok dan adrenalin. Ia melepaskan pegangannya pada lengan Arjuna dan berhenti, menatap temannya itu dengan tatapan yang sulit diartikan.
PLAK!
Sebuah keplakan yang tidak terlalu keras namun penuh dengan rasa gemas mendarat di belakang kepala Arjuna.
"Aduh!" ringis Arjuna sambil mengusap kepalanya. "Kenapa, Mas Ucup?"
"Lo yang kenapa!" semprot Ucup, suaranya naik beberapa oktaf. "Gila lo, Jun! Sumpah, lo gila! Tadi itu gimana caranya?! Bagaimana bisa lo tiba-tiba ada di sana?!"
Ucup menatap Arjuna lekat-lekat, wajahnya penuh dengan kebingungan total. "Perasaan gue, detik sebelumnya lo itu masih berdiri kaku di sebelah gue persis! Gue noleh sebentar, lo udah nggak ada. Terus gue lihat lagi, lo udah di tengah-tengah megangin tangan orang itu! Lo... lo ngilang? Lo punya ilmu apa, sih?!"
Rentetan pertanyaan itu keluar begitu saja, menunjukkan betapa otaknya yang logis sedang berusaha keras memproses sebuah kejadian yang sama sekali tidak logis.
Arjuna menatap temannya itu. Ia tahu ia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya. Ia harus mencari alasan, alasan apa pun, meskipun terdengar konyol.
Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, memasang ekspresi sepolos mungkin. "Mungkin... mungkin Mas Ucup tadi terlalu fokus lihat pertengkarannya," jawab Arjuna dengan hati-hati. "Jadi nggak sadar waktu saya jalan pelan-pelan lewat pinggir kerumunan."
Ucup menatapnya tak percaya, alisnya hampir menyatu. "Nggak sadar?! Nggak mungkin, Jun! Jarak kita itu lebih dari lima meter dan dihalangi banyak orang! Lo nggak jalan, lo kayak... kayak asap! Nggak masuk akal!"
Arjuna tahu alasannya memang lemah. Tapi hanya itu yang ia punya. Ia tidak bisa menjelaskan tentang cincin ajaib yang memberinya kecepatan super.
Melihat Ucup yang masih belum bisa menerima penjelasannya, Arjuna mencoba mengalihkan pembicaraan. "Sudahlah, Mas. Yang penting kan masalahnya sudah selesai dan nggak ada yang terluka," katanya. "Jadi... kita masih mau cari tas?"
Mendengar itu, Ucup menghela napas panjang, menyerah. Kepalanya terasa pusing. Ia menatap Arjuna sekali lagi, dari atas ke bawah, seolah sedang melihat orang asing.
"Enggak," jawabnya akhirnya, suaranya terdengar lelah. "Udah, kita pulang aja. Nggak mood gue mau belanja lagi. Kepala gue pusing mikirin kelakuan lo."
Arjuna hanya bisa tersenyum tipis. Mereka pun berjalan menuju tempat pemberhentian angkot dalam diam. Misi belanja mereka hari itu gagal total. Namun, di dalam keheningan itu, Ucup terus mencuri pandang ke arah Arjuna.
Ia tahu penjelasan temannya itu bohong. Tapi ia juga tidak punya penjelasan lain yang lebih masuk akal. Satu hal yang pasti, mulai hari ini, ia sadar bahwa Arjuna Wicaksono, teman satu kosnya yang pendiam dan sederhana itu, menyimpan sebuah rahasia yang jauh lebih besar dan lebih dalam dari yang pernah ia bayangkan.
biar nulisny makin lancar...💪