Saat membuka mata, Anala tiba-tiba menjadi seorang ibu dan istri dari Elliot—rivalnya semasa sekolah. Yang lebih mengejutkan, ia dikenal sebagai istri yang bengis, dingin, dan penuh amarah.
"Apa yang terjadi? bukannya aku baru saja lulus sekolah? kenapa tiba-tiba sudah menjadi seorang ibu?"
Ingatannya berhenti disaat ia masih berusia 18 tahun. Namun kenyataannya, saat ini ia sudah berusia 28 tahun. Artinya 10 tahun berlalu tanpa ia ingat satupun momennya.
Haruskah Anala hidup dengan melanjutkan peran lamanya sebagai istri yang dingin dan ibu yang tidak peduli pada anaknya?
atau justru memilih hidup baru dengan menjadi istri yang penyayang dan ibu yang hangat untuk Nathael?
ikuti kisah Anala, Elliot dan anak mereka Nathael dalam kisah selengkapnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zwilight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB. 4 | Wanna Stole Their Love Again
"...makasih ya, Pak." Anala tersenyum ramah saat turun didepan rumah. Matanya masih sembab bekas tangisan belum lama ini dirumah Mama.
Ia menatap ke depan, lalu mengambil nafas dalam sebelum akhirnya mencoba untuk melangkah. Entah kenapa rasa bersalah ini membuat kakinya terasa berat, begitupun dengan hatinya yang sesak tak berongga.
Ia berhenti ditengah rumah. Sejenak memejamkan mata untuk menenangkan pikirannya. Perlahan tangannya terangkat, mengepal dengan penuh semangat. "Apapun masa lalunya, yang penting sekarang aku harus rebut hati anak dan suamiku lagi!"
Sejak setelah kalimat itu, wajahnya langsung berubah cerah dengan senyum yang tak dibiarkan luntur. Ia sesekali bersenandung riang, sekedar menghibur batinnya yang acak-acakan dihantam fakta.
"Nathael, Mama pulang..." suaranya melengking dengan langkah percaya diri sepanjang ruang tengah. Tak ada siapapun yang terlihat, tempat itu kosong. Hanya ada beberapa alat tulis yang tergeletak diatas meja.
Loh kok nggak ada, Nael dimana?— batinnya, sambil sibuk merotasi ke segala arah.
"Apa mungkin dikamar ya?" langkahnya gontai menuju kamar Nathael, namun bocah itu juga tak ada disana.
Anala mendengus lalu menghela napas, pikirannya mulai bercabang. Tiba-tiba omongan Mama membuatnya kepikiran. Ia mengigit jarinya sebelum bicara. "Apa jangan-jangan Elliot bawa kabur Nathael karena aku nggak becus jadi Mamanya?"
"Enggak." kepalanya menggeleng cepat, mengusir segala pikiran buruk yang terlintas dalam benak. "Elliot bukan pria egois kayak gitu!" meskipun berusaha percaya, namun hatinya tetap tak tenang.
Ia masih berdiri mematung didepan pintu kamar Nathael. Kebetulan ada satu pelayan rumah yang lewat, "Hei, kamu!" katanya mengangkat tangan memberi kode, lalu pelayan itu segera menghampiri.
"A–ada yang bisa dibantu, Nyonya?" pelayan itu tertunduk sepenuhnya. Bahkan tangannya meremas baju seragam seolah menahan rasa takutnya. Anala menyipit lalu mengalihkan pikirannya kembali fokus pada tujuan awalnya. "Nathael di mana? saya cari di kamarnya nggak ada."
Pelayan itu menjawab dengan suara terbata. "Tu–an muda sedang tidur bersama tuan besar, Nyonya."
Anala lega seketika. Tangannya menepuk bahu pelayan itu dan mencengkeramnya pelan. Si pelayan mengangkat pandangan dengan wajah pucat. "Terimakasih ya... silahkan lanjutkan pekerjaannya," senyumnya tersirat tipis, suaranya ramah dan tenang, tidak seperti biasanya.
Pelayan itu menelan ludah dengan kasar, sejak bekerja tiga tahun lalu dirumah ini, belum pernah sekalipun Nyonya besar bersikap ramah dan tenang. Gawat, kiamat makin dekat.
"Ka–kalau begitu saya permisi ke dapur dulu, Nya." ia langsung berjalan ngibrit seperti dikejar setan. Anala hanya bisa memandang heran, sambil sesekali mengerjapkan matanya.
Apa aku sangat menyeramkan? dia kayak abis ngelihat hantu. pandangannya tak lepas dari pelayan itu, Anala tau bahwa orang itu sampai bergetar ketika bahunya dipegang.
Ia mengedikkan bahu, lalu membiarkan segalanya berlalu. Ya sudahlah, lebih baik aku menemui Nael.
Anala membalikkan langkah, berjalan gontai dengan penuh semangat menuju kamar tidur utama.
***
Kini ia berdiri didepan pintu kamar, senyumnya mencuat ringan. Anala mendorong pintu kamar itu dengan hati-hati, agar bunyinya tidak membangunkan seseorang yang sedang tidur di dalam sana. Langkahnya dibuat sepelan mungkin, mengendap seperti maling.
Jangan sampai aku bangunin mereka tidur.
Begitu melangkah, matanya langsung melebar melirik pada dua orang yang tertidur nyenyak diatas ranjang. Perlahan garis bibirnya terangkat membentuk senyuman manis yang tulus. "Ya ampun lucunya anakku..."
Nathael tidur disebelah Papanya dengan gaya yang sama persis. Anala tak bisa mengalihkan pandangan dari posisi unik dua orang ini. Tiba-tiba hatinya terasa tergelitik. "Ini mah nggak perlu tes DNA lagi, beneran copy-an Elliot."
Nathael tidur sambil tengkurap dengan satu kaki naik ke atas bantal guling, begitupun dengan Elliot disisi yang berbeda. Kaki mereka saling beradu seperti mau perang.
Anala mendekat, memperhatikan wajah putranya yang sedang tertidur lelap. "Dilihat dari dekat kayak gini, kamu beneran mirip sama Papa ya, Nak." tangannya mengusap pelan pipi bocah itu, lalu mengecupnya singkat. "Selamat istirahat, Sayang. Maaf ya, tadi Mama sempat meragukan Nael."
Setelah selesai dengan Nathael, tatapannya beralih pada Elliot yang sedang tertidur dengan ponsel yang masih menyala. Anala menghela napas pelan, lalu menjauhkan ponsel itu dari tangan suaminya. Ia menggeleng ringan mengingat memori lama, "Bahkan setelah punya anak pun kamu nggak berubah. Selalu ketiduran dengan ponsel yang menyala."
Setelah itu, ia merapikan pakaian Elliot yang menyingkap hingga mengekspos bagian perutnya. Tatapannya berubah lembut, senyumnya mengembang. "Selamat istirahat, Papanya anakku. Makasih udah sabar sama tingkah gilaku selama ini."
Anala meraih selimut lalu menariknya untuk menutupi bagian kaki hingga dada mereka. Ia juga menutup kain jendela yang memancarkan cahaya jingga yang memaksa masuk kedalam ruangan.
"Oke, sekarang tugasku nyiapin makan malam. Semangat Anala, kamu pasti bisa rebut hati anak dan suamimu lagi!" gumamnya pelan sambil mengepalkan tangan di udara.
Langkah kakinya menjauh, suara pintu berdecit pelan lalu tertutup dengan rapat. Tepat setelah ruangan itu gelap tanpa cahaya, Elliot bangun dan menyandarkan tubuhnya ke kepala ranjang. Tangannya mengusap wajahnya yang mendadak memerah.
Anala... apa yang baru saja kamu katakan. batinnya frustasi, Anala benar-benar berbeda dari yang sebelumnya.
Elliot memantik bedside lamp diatas nakas, cahayanya redup tapi cukup. Ia memandang jagoan kecilnya, buah cintanya dengan perempuan yang paling ia cintai di seluruh dunia. Tangannya meraih rambut hitam lembut itu, lalu menunduk melayangkan kecupan pada pipi putranya. "Kamu hadiah paling berharga yang diberikan Mama untuk Papa, Nael."
Bocah kecil itu menggeliat pelan, bibirnya terbuka hingga satu suara lolos dari mulut manisnya. "Mama, jangan pergi..."
Elliot terdiam sejenak. Rahangnya mengeras dengan mata yang membulat. Tangannya terkepal kuat, ia kembali mengingat bagaimana Anala bertingkah dingin pada putra mereka. Pikirannya kembali mengawang jauh, batinnya berisik penuh resah.
Aku selalu takut kalau ternyata sikap kamu hari ini cuma sandiwara yang kamu rencanakan, Anala. Aku takut kamu benar-benar pergi ninggalin aku dan anak kita.
Elliot menelan ludah agak kasar, matanya kehilangan cahaya. "Maaf karena Papa nggak bisa bikin Mama bahagia, sampai akhirnya Mama memilih untuk berhubungan dengan orang lain, Nael..."
Kamar yang sunyi menjelang malam itu jadi saksi betapa besar keresahan yang Elliot miliki. Pria itu selalu terlihat kuat diluar, padahal di kesendirian ia memangku lutut, matanya berair, dan tak sekalipun ia berhenti menyalahkan dirinya sendiri atas perselingkuhan yang dilakukan oleh istrinya.
***
satu jam telah berlalu setelah terakhir kali Anala keluar dari kamarnya. Ia masih sibuk menyiapkan makan malam enak untuk anak dan juga suaminya. Seperti tekadnya—mulai detik ini ia akan berubah jadi istri dan ibu yang baik.
Tangannya sibuk dengan berbagai piring makanan dan gaya tatanan diatas meja makan. Para pekerja dirumahnya sampai meringis ngilu. Jarang sekali melihat Nyonya besar rumah ini mau repot-repot menghabiskan energi untuk memasak makan malam.
"Nyonya, biar kami saja yang lanjutkan..."
"Tidak usah. Saya mau nyiapin yang terbaik buat anak dan suami saya. Kalian silahkan kembali ke dapur."
Mau tak mau para pekerja itupun menurut tanpa banyak tanya. Tangan Anala dengan cekatan menata setiap piring, sendok, lap makan, bahkan juga memberi hiasan bunga ditengah-tengah meja yang dipenuhi makanan itu. Bibirnya menyunggingkan senyum penuh rasa bangga.
"Akhirnya kelar juga. Sekarang tinggal bangunin Nael sama papanya." Ia tak sabar dengan makan malam pertama mereka.
Sebelum semua itu, ia melangkah menuju dapur lalu menyalakan air keran dan mencuci tangannya dengan bersih. Lalu, ia melepas celemek yang memiliki beberapa bercak noda lalu membuangnya ke dalam tong sampah. Orang kaya mah bebas.
Saat menatap kedepan, langkahnya tiba-tiba berhenti ditengah tangga. Pandangannya terkunci pada dua orang yang berdiri tepat didepannya. Elliot juga memandangnya dengan aneh, namun matanya dengan cepat beralih. Tangannya menopang tubuh Nathael yang kini dalam gendongannya.
"Ada apa?" tanya Elliot inisiatif bertanya ketika Anala tetap diam padahal matanya seolah ingin bicara. Perempuan itu langsung menggeleng, senyum simpulnya tercipta. "Aku udah siapin makan malam, jadi... ayo makan bareng."
Elliot mengernyitkan dahinya. Hal yang paling tidak masuk akal muncul lagi didepan matanya. Sudah hampir lima tahun berlalu sejak terakhir kali Anala menyiapkan makanan untuknya, kini hari itu datang kembali dengan mengejutkan.
"Mama masak sendiri?" terobos Nathael dengan wajah polosnya. Ia turun dari gendongan Papa dan menghampiri Anala dengan ragu-ragu.
Tangan Anala mendekat, hendak mengusap lembut pucuk kepala anaknya. Namun bocah itu seperti mengelak, seolah mengambil sikap pertahanan diri. Anala tersenyum dan beralih mengecup pipi anak manisnya. "Iya sayang, Mama siapin makanan buat Nael," tepat saat itu, mata Nathael pun membesar, binarnya berkilau indah.
Tanpa takut lagi ia langsung menghamburkan pelukan pada Anala. Wajahnya dibenamkan pada perut sang Mama, jujur ini salah satu momen paling ia tunggu. "Terimakasih Mama... Nael udah lamaaaa banget pengen makan masakan Mama."
Mata Anala berubah sendu, ia menggigit bibirnya menahan sesuatu yang terasa asing dan gelisah. Tangannya mengusap kepala Nathael dengan lembut, penuh cinta. "Maaf ya sayang, Mama kurang memperhatikan kamu selama ini. Tapi Mama janji, akan berubah jadi Mama yang baik buat Nael."
Nathael hanya mengangguk dalam dekapan sang Mama, tak bisa dijelaskan bagaimana bahagianya anak kecil itu saat ini.
Sementara itu, Elliot hanya berdiam diri memperhatikan sikap aneh Anala yang semakin berbeda. Tangannya mengepal kuat, giginya gemeretak dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.
Entah apalagi rencana kamu kali ini, Anala.
Nathael sudah menggaet kedua tangan malaikat penjaganya, "Ayo Pa, Ma. Kita makan malam bersama." ia tersenyum sumringah dengan langkah yang sesekali melompat seperti anak kelinci. Kedua orang disisinya hanya saling tatap, saling mencoba membaca isi hati masing-masing.
Anala duduk berhadapan dengan Elliot, sementara Nathael duduk disebelah Mamanya. Elliot jelas terlihat kebingungan apalagi istrinya itu sampai repot-repot mengambilkan makanan ke dalam piringnya.
Benar-benar mencurigakan.
Suapan pertama masuk kedalam mulutnya. "Waah, masakan Mama enak banget. Nael suka sekali Ma."
Anala tersenyum lebar, anaknya yang manis pandai sekali menyenangkan hatinya. "Kalau gitu Nael makan yang banyak ya."
Elliot memerhatikan interaksi keduanya dengan seksama, bibirnya tiba-tiba terangkat membentuk senyuman tipis. Ia senang melihat anaknya bahagia, tapi dilain sisi ia khawatir pada rencana Anala dibalik semua kebahagiaan ini.
Berbeda dengan Elliot yang tidak menunjukkan respon dari wajahnya, Anala malah tersenyum miring sambil membisikkan sesuatu lewat bahasa bibirnya tanpa suara. "Mata anak kita indah... mirip kamu ya?"
Elliot buru-buru menarik pandangan, dan menoleh asal ke tempat lain. Dadanya berdebar, begitupun dengan telinganya yang mendadak memerah. Anala adalah satu-satunya kelemahan Elliot.
Apa-apaan kamu, Anala!!
Tangannya gemetar memegang gelas berisi air dan meneguknya hingga tandas. Setelah itu ia menatap lurus pada Anala dengan tatapan datar andalannya.
Kalau semua ini cuma bagian dari permainanmu, aku nggak tau apakah kali ini aku masih sanggup bertahan.