Aku membuka mata di sebuah ranjang berkelambu mewah, dikelilingi aroma parfum bunga yang asing.
Cermin di depanku memantulkan sosok wanita bertubuh besar, dengan tatapan garang dan senyum sinis—sosok yang di dunia ini dikenal sebagai Nyonya Jenderal, istri resmi lelaki berkuasa di tanah jajahan.
Sayangnya, dia juga adalah wanita yang paling dibenci semua orang. Suaminya tak pernah menatapnya dengan cinta. Anak kembarnya menghindar setiap kali dia mendekat. Para pelayan gemetar bila dipanggil.
Menurut cerita di novel yang pernah kubaca, hidup wanita ini berakhir tragis: ditinggalkan, dikhianati, dan mati sendirian.
Tapi aku… tidak akan membiarkan itu terjadi.
Aku akan mengubah tubuh gendut ini menjadi langsing dan memesona.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ICHA Lauren, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Seruni yang Baru
Mobil dinas berhenti tepat di halaman rumah besar milik Jenderal Elias. Lampu-lampu yang menggantung di teras masih menyala, menebarkan cahaya kekuningan ke pekarangan.
Victor, yang sejak tadi duduk berjaga di kursi bambu, sontak berdiri tegap. Tatapannya kaget saat melihat Kapten Arvid turun lebih dulu, lalu membukakan pintu untuk Nateya dengan penuh hormat.
Nateya turun dengan tenang, dan sempat melayangkan senyum singkat pada Arvid.
“Terima kasih, Kapten,” ucapnya lembut sebelum berjalan masuk. Arvid menunduk dalam, kemudian segera masuk kembali ke mobil untuk pergi.
Victor yang menyaksikan itu menelan ludah. Ada rasa ganjil di hatinya—entah iri atau tersinggung—melihat betapa hormatnya Arvid pada Seruni. Sejak kapan Kapten Arvid menunduk sedemikian dalam pada wanita bertubuh tambun itu?
Segera ia maju, menahan langkah Nateya. “Selamat malam, Nyonya."
Nateya hanya melirik sekilas, lalu menjawab singkat, “Hem.” Setelah itu ia menambahkan, “Besok kau antar aku ke sekolah. Pagi-pagi.”
Tanpa memberi Victor kesempatan menjawab, Nateya melenggang masuk ke rumah. Victor hanya berdiri kaku, jemarinya mengepal. Ada bara kecil di dadanya.
Begitu Nateya melewati pintu, Bi Warti langsung muncul dari arah dapur dengan wajah cemas.
"Syukurlah Nyonya sudah pulang. Saya khawatir sekali. Apa Nyonya baik-baik saja? Kalau lapar, saya sudah siapkan hidangan di meja.”
Nateya tersenyum tipis. “Jangan khawatir, Bi. Aku baik-baik saja. Di mana Julian dan Anelis?”
“Sudah makan malam, Nyonya. Sekarang mereka tidur di kamar. Perlu saya bangunkan?”
“Tidak usah.” Nateya menggeleng pelan. “Biar mereka istirahat. Aku hanya perlu mandi, makan sedikit, lalu tidur. Besok aku harus ke sekolah.”
Bi Warti mengangguk cepat. “Baik, Nyonya.”
Tanpa banyak bicara lagi, Nateya segera menuju kamar mandi. Lagi-lagi, tubuh Seruni yang gempal membuat setiap gerakan terasa lebih berat.
Setelah membersihkan diri dari keringat dan bau obat-obatan saat menangani operasi Ragnar, ia berdiri di depan cermin.
Kedua mata Nateya menyipit, lalu ia membayangkan sebuah piyama tidur yang nyaman, berbahan katun lembut dengan motif sederhana. Dalam sekejap, pakaian itu muncul, dan ia mengenakannya dengan puas.
Sambil tersenyum senang, Nateya menuju ruang makan. Di meja panjang, sudah tersedia hidangan lengkap ala keluarga pejabat kolonial. Namun, Nateya hanya mengambil sepiring kecil berisi potongan buah pepaya, nanas, dan semangkuk salad sayuran segar.
Bi Warti yang melihatnya dari dapur semakin heran. Biasanya Seruni selalu mengambil daging dan lauk berat, tapi kali ini hanya buah dan sayuran.
“Nyonya… hanya makan itu saja?” tanyanya hati-hati.
Nateya menatap Bi Warti sekilas, lalu mengangguk.
“Ingat, Bi, besok kurangi jumlah untuk sarapan. Dan satu lagi, buatkan kudapan roti gambang dalam jumlah banyak. Aku akan membawanya untuk dibagikan kepada rakyat miskin.”
Bi Warti hampir menjatuhkan sendok di tangannya. “Roti gambang, Nyonya? Untuk… rakyat miskin?” Wajahnya bingung sekaligus tak percaya.
Nateya mengangguk sembari menghabiskan buah di piringnya.
Selesai makan, ia segera menuju kamar dan memutar kunci pintu. Nateya tidak ingin Elias seenaknya masuk dan mengganggunya malam ini.
Nateya kemudian duduk di meja rias, menghadap ke cermin besar berbingkai kayu jati. Ia menyentuh pipi bulat Seruni.
Ingatan tentang kehidupannya di dunia modern pun melintas. Skincare yang dulu setia menemaninya: facial wash berbusa lembut, toner yang menyegarkan, serum vitamin C untuk mencerahkan kulit, serta night cream berpelembap tinggi.
Sekedip kemudian semua botol, tube, dan jar itu muncul di meja rias seolah-olah tersulap. Nateya hampir bertepuk tangan kegirangan. Akhirnya, dia bisa merawat wajah kusam Seruni.
Dengan penuh semangat, Nateya membersihkan wajah, lalu menepuk-nepuk toner dengan gerakan lembut. Serum bening diteteskan ke wajahnya, diikuti olesan krim mata di bawah kelopak, lalu terakhir night cream tebal yang langsung membuat kulit terasa lembap.
Selesai dengan ritual itu, Nateya duduk di kursi rias. Ia membayangkan busana yang akan dipakainya besok ke sekolah. Ia ingin tampil berwibawa, anggun, tetapi tidak berlebihan.
Tiba-tiba, di ranjang tergeletak setelan blazer hitam panjang dengan potongan longgar, dipadukan dengan rok batik berwarna gelap. Sepasang sepatu pantofel kulit dengan hak rendah ikut muncul, pas untuk tubuh gendut Seruni.
Nateya tersenyum puas. “Besok, aku akan membela Julian dan Anelis dengan penuh wibawa.”
Merasa puas, Nateya naik ke tempat tidur, dan berbaring dengan tekad bulat. Sebelum menutup mata, ia menyetel sebuah jam weker antik pada pukul enam pagi.
Entah sejak kapan ia terlelap. Namun, bunyi kring-kring dari jam weker benar-benar membangunkannya.
Nateya terlonjak kecil. Matanya setengah terpejam, tubuh Seruni terasa enggan untuk bangun.
“Ah, perasaan malas ini jelas milikmu, Seruni,” gumam Nateya lirih. “Tapi, aku tidak akan meladeninya.”
Ia menyeret tubuh gemuk itu turun dari ranjang, lalu segera meneguk segelas air putih. Setelahnya, Nateya melakukan gerakan senam ringan di dalam kamar. Ia mengangkat tangan, menekuk pinggang, dan mengatur napas.
Selesai berolahraga selama sepuluh menit, Nateya mengambil pakaian yang sudah dipersiapkan semalam, dan berjalan menuju kamar mandi.
Di lorong, ia berpapasan dengan Bi Warti dan seorang pelayan muda yang baru saja terbangun. Kedua perempuan itu masih mengucek mata, kaget melihat Nyonya mereka sudah segar bugar di pagi buta.
“Selamat pagi, Nyonya,” sapa mereka hampir bersamaan.
“Pagi. Tolong kalian bantu Julian dan Anelis mandi serta bersiap. Kita harus berangkat ke sekolah pukul delapan. Mengerti?”
Bi Warti langsung mengangguk cepat, masih heran. “Baik, Nyonya, akan segera saya lakukan.”
Setelah Nateya berlalu, Bi Warti dan pelayan muda itu saling pandang penuh tanda tanya. Sejak kapan Nyonya Seruni bangun sepagi ini, segesit ini, dan bicara setegas itu?