Ratu Maharani, gadis 17 tahun yang terkenal bandel di sekolahnya, dengan keempat sahabatnya menghabiskan waktu bolos sekolah dengan bermain "Truth or Dare" di sebuah kafe. Saat giliran Ratu, ia memilih Dare sebuah ide jahil muncul dari salah satu sahabatnya membuat Ratu mau tidak mau harus melakukan tantangan tersebut.
Mau tahu kisah Ratu selanjutnya? langsung baca aja ya kak!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon riniasyifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Pagi harinya di mansion Alatas, Ratu menuruni tangga dengan langkah cepat. Seperti biasa, ia kembali terlambat ke sekolah gara-gara terlambat bangun pagi.
"Pagi, Eyang!" sapa Ratu hangat sambil cepat meraih tangan Eyang Rita yang sedang duduk di kursi teras sambil menikmati teh hangat dengan pemandangan taman indah di hadapannya.
"Ratu, berangkat ke sekolah ya," pamit Ratu dengan terburu-buru.
"Kebiasaan ya kamu, selalu telat. Eyang pikir kamu di Jakarta sudah bisa bangun pagi, ternyata sama saja," ujar Eyang Rita sambil tersenyum hangat.
Ratu langsung nyengir, mendengar ucapan Eyangnya, lalu membalikkan badannya siap untuk berangkat. Eyang Rita gegas menegur Langkah Ratu.
"Tunggu dulu, ini bawa. Eyang sudah siapkan kotak bekal, kamu pasti gak sempat sarapan, kan?" Eyang Rita menyerahkan kotak kecil berisi makanan yang sengaja ia suruh diapakan untuk Ratu pada salah satu maid.
Ratu tersenyum hangat, lalu dengan cepat mengambil kotak bekal itu dan tak lupa mengucap terima kasih. "Terima kasih, Eyang ku yang cantik. Kalau begitu, Ratu pamit sekarang ya," ucapnya sambil mengecup singkat pipi sang Eyang dan langsung bergegas menuju motor sport yang sudah terparkir di depan.
Eyang Rita hanya bisa menggelengkan kepala pelan, namun senyum hangat tetap tersungging di bibirnya. "Anak itu, persis seperti Maminya waktu muda," gumam Eyang dengan mata sedikit berkaca-kaca, mengenang almarhum putrinya yang sudah tiada.
Ratu mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan sedang, membelah jalanan yang ramai berlalu-lalang seolah mengejar waktu.
Tak butuh waktu lama bagi Ratu untuk sampai ke sekolah. Hanya perlu waktu lima belas menit, kini ia sudah berada di depan gerbang SMA Garuda.
Namun tetap saja ia terlambat. Jam sudah menunjukkan pukul 08.15 WIB, dan pintu gerbang sudah tertutup rapat dan digembok. Ratu tak ambil pusing, ia sudah biasa. Ia langsung memutar balik motornya menuju pintu rahasia, alias memanjat pagar.
Saat sampai di belakang sekolah, Ratu melihat dua gadis sedang duduk santai di atas pohon mangga. Dengan senyum jahil, ia menarik gas motornya.
“Brum!”
Suara raungan motor Ratu membuat kedua gadis itu, yang tak lain adalah Ica dan Della, terkejut. Untungnya, keduanya tak jatuh karena refleks memeluk dahan di depan mereka.
“Ratuu!!!” seru mereka kesal melihat sikap jahil Ratu.
“Haha, maaf, kalian serius banget, mojok di atas pohon kayak mbak kunti aja,” balas Ratu sambil sudah menaiki tembok pagar.
“Untung gue nggak terjun bebas tadi,” ujar Ica dengan wajah masih terlihat kesal.
“Kirain lo nggak masuk karena masih di Bandung. Oh ya, gimana kabar Eyang Rita?” tanya Della perhatian sekaligus penasaran.
“Alhamdulillah, Eyang sudah membaik dan sekarang ada di mansion. Kemarin Eyang minta ikut,” jelas Ratu.
“Alhamdulillah. Nanti pulang sekolah kita main ya ke mansion, kangen juga sama Eyang Rita,” sahut Ica.
“Boleh. Aku juga nggak bisa kemana-mana, pulang sekolah langsung nemenin Eyang,” jawab Ratu sambil membuka kotak bekal yang diberi Eyang tadi.
“Eum! Wanginya, lo bawa apa tuh? Tumben benar bawa bekal segala?” tanya Della penasaran.
“Nasi goreng plus nugget, biasa lah, Eyang yang nyiapin,” jawab Ratu.
Keduanya langsung merapat ke Ratu yang kini duduk santai di atas pagar tembok. Ketiganya makan dengan santai tanpa beban.
“Ratuuuuuu! Ica! Della! Cepat turun! Kalian ini ya, tak pernah kapok-kapok!” seru Bu Fani dengan suara menggelegar sambil menatap tajam tiga murid nakal itu.
Ketiganya memasang wajah tengil. “Eh, Bu Fani, sejak kapan ibu di situ?” tanya Ratu sambil tersenyum manis.
“Bentar ya, Bu.Nanggung ini, kami habisin sarapan dulu, biar nggak mubazir,” tambah Ica santai.
Wajah Bu Fani memerah, kedua tangannya berkacak pinggang. Tatapan tajamnya semakin menegaskan kekesalannya.
Ratu buru-buru merapikan kotak bekalnya lalu memasukkannya ke dalam tas. Ica dan Della sudah bersiap untuk melompat.
“Maaf, Bu Fani, bisa geser sedikit? Kami mau lompat, takut kenak,” pinta Ratu dengan suara lembut.
Bu Fani menggeserkan tubuhnya sedikit menjauh.
“Terima kasih, Bu,” ujar Della, lalu ketiganya gegas melompat dan mendarat sempurna di atas rumput.
“Ternyata kalian semakin handal ya, dalam hal lompat-melompat. Tamat dari siini langsung daftar tentara saja, saya yakin kalian pasti lolos,” ucap Bu Fani dengan nada sindiran.
“Bu Fani bisa aja. Kami bertiga nggak ada yang cita-cita jadi tentara, Bu!” protes Ica dengan wajah tengil.
“Terserah lah. Ngomong sama kalian buat kepala saya mau meledak. Cepat ikut saya ke ruang BK!” tegas Bu Fani tanpa memberi ruang bantahan.
Dengan langkah ogah-ogahan Ratu, Ica, dan Della akhirnya mengikuti langkah Bu Fani menuju ruang BK.
Dalam pikiran ketiganya pasti bertanya-tanya hukuman apa lagi kali ini yang akan di berikan oleh Bu Fani.
***
Sedangkan di kediaman Nathan, ia sedang berdebat sengit dengan sang Mama.
“Nathan, sampai kapan kamu begini?” tanya Mama Nadia.
“Maksud Mama begini apa?” jawab Nathan bingung, sedang memangku laptop di ruang keluarga.
“Mama tahu kamu pasti butuh waktu setelah batalnya pertunangan dengan Rina, tapi jangan terlalu lama menutup diri begitu!” jelas Mama Nadia.
Nathan menarik napas pelan, lalu menutup laptopnya dan menyimpan di atas meja. Ia menatap sang Mama dengan serius.
“Ma, Nathan sama sekali tak memikirkan masalah batalnya hubungan dengan Rina. Sama sekali tak ada sangkut pautnya. Asal Mama tahu, Nathan malah senang bisa terbebas dari wanita macam Rina itu,” jelas Nathan sambil tersenyum tipis, membayangkan wajah cantik Ratu.
Mama Nadia menautkan alisnya, merasa bingung dengan ucapan sang anak. Ia pikir selama ini Nathan galau dan jomblo karena trauma dengan kegagalan hubungan bersama Rina, tapi ternyata sebaliknya.
“Jadi kamu selama ini menghindari para wanita bukan karena trauma?” tanyanya serius.
“Ya enggak lah, Ma. Masa gara-gara itu doang Nathan trauma. Nathan cuma risih saja dengan para wanita yang mengejar-ngejar Nathan,” jawab Nathan lembut.
“Baguslah kalau begitu. Malam Minggu ini ikut Mama dan Papa makan malam, ya?” ajak Mama Nadia sambil tersenyum penuh arti.
Sedangkan Nathan sudah memasang wajah waspada ia seakan tahu maksud dari senyuman sang Mama.