Naren kehilangan pekerjaannya dan terpaksa kerja serabutan demi menghidupi istri serta tiga anaknya.
Namun pengorbanannya tidak cukup untuk menahan hati Nadira, sang istri, yang lelah hidup dalam kekurangan dan akhirnya mencari kenyamanan di pelukan pria lain.
Di tengah getirnya hidup, Naren berjuang menahan amarah dan mempertahankan keluarganya yang perlahan hancur.
Mampukah Naren tetap mempertahankan keluarga kecilnya di tengah peliknya kehidupan? Menurunkan Ego dan memaafkan istrinya demi sang buah hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susanti 31, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak ada cinta di antara kita
Detik, menit dan jam berlalu tetapi Naren enggang beranjak dari tempatnya duduk sejak beberapa jam lalu. Pikirannya kacau, hatinya terluka. Puing-puing kebahagian di masa lalu tidak mampu memudar luka yang teramat dalam.
Tatapan memerah dan mata sedikit bengkak membuat Naren tidak bisa menyangkal bahwa dia sedang tidak baik-baik saja. Wanita yang ia cintai begitu dalam tega mengkhianatinya hanya karena nafkah.
Naren mendongak mendengar pintu dibuka, ia menatap nanar wanita yang baru saja melewati ruang tamu. Bahkan kesunyian rumah tidak membuat wanita itu terganggu. Ketidakhadiran buah hati mereka di rumah yang telah menjadi saksi cinta selama 7 tahun, tidak berarti bagi Nadira.
Naren terus menunggu, berharap istrinya mencari keberadaan salah satu dari mereka. Namun, satu jam usai kedatangan Nadira, belum ada tanda-tanda kehidupan.
Naren akhirnya menemui sang istri yang ternyata berbaring di ranjang sambil memainkan ponselnya.
"Bahkan kamu sama sekali nggak peduli dengan anak-anak Nadira," ujar Naren dengan suara rendah tetapi tegas.
"Aku kerja Mas."
"Kerja?" Naren senyum miring.
"Pekerjaan seperti apa yang kamu maksud Nadira?" Naren berjalan semakin dekat, menyingkap rambut panjang istrinya dan menemukan tanda kemerahan di sana. "Apakah tanda dilehermu sudah menjelaskan pekerjaan yang membuatmu membahayakan anak-anak?"
"Mas menuduhku?"
"Mas nggak sedang menuduhmu sebab mas melihatnya sendiri."
Naren menarik napas dalam-dalam, keputusan ini sudah ia pikirkan sejak siang dan ia rasa sudah bulat. Keputusan yang akan ia ambil kali ini adalah jalan terbaik dari hubungan mereka.
"Mari berpisah. Di antara kita sudah nggak ada cinta lagi. Mempertahankan sebuah hubungan mengatasnamakan anak-anak bukan alasan yang tepat. Lambat laut kita akan semakin menyakiti satu sama lain," ucap Naren sembari menatap retina Nadira.
Nadira mengerjap pelan, wanita itu sedikit terkejut mengetahui keputusan Naren. Ia sudah menduganya sejak awal, tetapi tidak secepat ini. Wanita itu mencoba mencari keraguan suaminya tetapi tidak sedikitpun ia temukan.
"Mas Naren benar, diantara kita sudah nggak ada cinta lagi. Aku ikut keinginan mas saja."
"Karena kamu selingkuh, maka sesuai perjanjian harta kita milik mas seutuhnya."
"Nggak bisa begitu dong Mas!" Nada suara Nadira seketika meninggi. "Rumah dan mobil yang aku pakai, ada setelah kita menikah."
"Mas nggak memikirkan harta benda Nadira. Yang mas bahas adalah anak-anak. Karena kamu selingkuh, semua hartamu jatuh ketanganku."
"Nggak masalah." Nadira menaikkan kedua bahunya.
Naren mengepalkan tangannya melihat respon Nadira saat ia meminta hak asuh anak-anak. Sebegitu tidak punya empatikah istrinya sampai tidak ada rasa sakit sedikitpun akan berpisah dengan anak-anak yang keluar dari rahimnya.
"Sikapmu membuat mas ringan meninggalkan rumah ini." Naren keluar dari kamar.
Ia sudah mempersiapkan semuanya tadi siang, menyuruh ibunya membawa anak-anak ke rumah dan ia pun telah mengemas barang-barangnya.
Hanya satu harta yang Naren bawa, yaitu mobil yang selama ini ia pakai. Selebihnya tidak masalah meninggalkannya untuk Nadira.
Di perjalanan menuju rumah ibunya, Naren sedikit tidak fokus sampai memutuskan untuk berhenti sejenak. Entah kenapa dadanya terasa sesak, padahal dia sudah meyakinkan diri akan baik-baik saja setelah berpisah.
"Sial, bahkan aku belum sanggup membencinya meski sangat ingin aku lakukan," umpat Naren meninju setir kemudi membabi buta.
Naren berteriak sekencang ia bisa, berharap teriakan itu mampu membawa lukanya. Ia terus menepuk dadanya yang terasa sesak dengan air mata terus berjatuhan.
Ia tidak sanggup bertemu anak-anaknya dalam keadaan hancur seperti ini.
.
.
.
.
.
Peluk jauh untuk ayah Naren
udah kmu sm shanaya aja aku dukung pake bgtttt😄
tapi jangan Leona deh orang tuanya konglomerat takut Nanti Naren nya juga minder
dan takutnya orang tua Leona ga mau menerima anak2 Naren
jadi sama shanaya aja
semoga Naya juga sayang anak2 Naren