"Meski kau adalah satu-satunya lelaki di dunia ini, aku tetap tidak akan mau denganmu!" Britney menolak tegas cowok yang menyatakan cinta padanya.
Tapi bagaimana kalau di hari Britney mengatakan itu, terjadi invasi virus zombie? Seketika satu per satu manusia berubah menjadi zombie. Keadaan Zayden High School jadi kacau balau. Pertumpahan darah terjadi dimana-mana.
Untungnya Britney mampu bertahan hidup dengan bersembunyi. Setelah keadaan aman, dia mulai mencari teman. Dari semua orang, satu-satunya orang yang berhasil ditemukan Britney hanyalah Clay. Lelaki yang sudah dirinya tolak cintanya.
Bagaimana perjalanan survival Britney dan Clay di hari kiamat? Apakah ada orang lain yang masih hidup selain mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desau, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter ⁷ - finding the car
Britney mendengus kasar, napasnya berat seperti berusaha menahan bara amarah yang masih tersisa di dada. Raut wajahnya tegang, namun matanya mulai melunak. Ia tahu, ada benarnya kata-kata Clay tadi. Walau menyebalkan, cowok itu tidak sepenuhnya salah.
“Maaf kalau ucapanku terlalu kasar,” ujar Britney perlahan. Suaranya sedikit bergetar, tapi kali ini lebih tenang. “Tapi bukan berarti aku membenarkan kejadian tadi.”
Clay yang tengah meneguk air mineral berhenti sejenak. Ia menatap Britney dengan mata teduh namun letih. “Aku bahkan juga tidak membenarkan kejadian tadi,” balasnya cepat. “Itu benar-benar tidak sengaja. Oke? Aku juga sudah minta maaf padamu berkali-kali kalau itu salah.”
Britney menatap lantai, lalu menarik napas dalam. “Oke. Kita bisa berhenti membicarakannya.”
Clay mengangguk, namun sebelum kembali diam ia menambahkan dengan nada setengah bercanda namun jelas masih serius, “Lain kali kalau ingin mandi, bicara lah lebih dulu padaku. Agar kejadian seperti tadi tidak terjadi lagi.”
Britney mendecak kecil. “Kau benar.” Ia akhirnya mengangguk setuju. Suasana di antara mereka mulai mencair, meski masih terasa kikuk. Keduanya kemudian fokus menyelesaikan sarapan seadanya. Bunyi kunyahan dan denting sendok menjadi satu-satunya suara yang terdengar di ruangan kantin yang suram itu.
Setelah makan, Clay memeriksa kembali isi tas ranselnya. Ia menyarankan Britney membawa makanan sebanyak mungkin sebelum mereka pergi. “Kita tidak tahu kapan bisa makan lagi,” katanya, menatap gadis itu dengan serius. Britney menuruti tanpa banyak bicara.
Begitu semua siap, keduanya berjalan pelan menyusuri lorong sekolah yang sudah berubah menjadi tempat sunyi penuh kehancuran. Bau darah dan besi masih tercium samar. Cat dinding terkelupas, jendela pecah, dan beberapa meja terbalik.
Saat hendak menuju pintu keluar, Clay tiba-tiba mengangkat tangannya memberi isyarat berhenti. Di depan sana, tiga zombie merayap dari balik ruang kelas, mulut mereka mengeluarkan erangan rendah yang membuat bulu kuduk berdiri.
Britney menahan napas. Clay menatapnya sekilas dan berbisik, “Aku ingin kau memperhatikan saat aku menyerang zombie. Aku sengaja memakai pisau agar kau bisa menirukan caraku nanti.”
Britney mengangguk pelan. Ia mencoba menahan gemetar di tangan. Clay kemudian melangkah maju, menunduk agar tidak menimbulkan suara berlebih.
Zombie pertama mendekat, dan dalam satu gerakan cepat Clay menancapkan pisaunya tepat di pelipis kiri makhluk itu. Darah hitam memercik, namun Clay tidak berhenti. Dua zombie lainnya segera datang menyerang, dan ia sigap mengayunkan pisaunya kembali.
Tusukan pertama mengenai leher, tapi tidak cukup dalam. Zombie itu masih hidup, menggeram dengan liur menetes. Clay berbalik dan menendangnya keras hingga terjatuh. Pisau di tangannya berpindah arah, menembus kepala zombie terakhir yang berusaha mencakar wajahnya.
Namun malapetaka hampir terjadi ketika tusukannya pada zombie ketiga tak mempan. Zombie itu menggeliat, tangannya berusaha meraih tubuh Clay. Dengan cepat, Clay mendorong dadanya dengan kaki hingga zombie itu tersungkur. Ia langsung menancapkan pisaunya sekali lagi, kali ini tepat di ubun-ubun kepala.
Bruk!
Tubuh itu ambruk ke lantai tanpa gerakan. Napas Clay tersengal-sengal. Keringat menetes di pelipisnya. Ia menyandarkan punggung ke dinding, menatap langit-langit kusam yang sudah dipenuhi noda darah.
“Ini!” Britney tiba-tiba menyodorkan sebotol air mineral. Tangannya masih sedikit gemetar, tapi sorot matanya tulus.
“Thanks,” ucap Clay seraya meneguk air itu cepat-cepat. Cairan segar mengalir ke tenggorokannya yang kering. Ia kemudian menatap Britney, yang kini tengah memperhatikan setiap gerakannya dengan serius.
Melihat Clay berjuang sendirian tadi membuat Britney merasa bersalah. Ia sadar, selama ini hanya menjadi beban. Kata-kata Clay sebelumnya menggema di kepalanya, kau tidak bisa terus mengandalkanku.
Setelah beberapa saat hening, Britney akhirnya berkata, “Setelah ini, aku akan mencoba membantumu. Aku sepertinya sudah cukup bisa.”
Clay terkejut sejenak, lalu tersenyum tipis. “Bagus,” katanya pelan. “Aku tahu kau bisa.” Ia menepuk pundak gadis itu, menandakan dukungan yang tulus.
“Kalau begitu, aku akan menggunakan pedangku,” lanjut Clay sambil menarik pedang yang sejak tadi tergantung di belakang tasnya. Logamnya memantulkan cahaya keperakan samar dari jendela yang pecah. Britney memperhatikan dengan kagum.
Keduanya kemudian berjalan ke arah pintu keluar. Sebelum keluar, Clay mengintip melalui celah kaca yang sudah retak. Dunia luar tampak kacau, langit mendung kelabu, halaman sekolah dipenuhi mobil terbalik, dan yang paling menakutkan: ratusan zombie berjalan tanpa arah, mengisi halaman sekolah yang dulu ramai.
Clay mengerutkan alis. “Kita sebenarnya bisa ke parkiran tanpa harus membuat keributan!” katanya setengah berbisik.
“Kau benar,” sahut Britney dengan cepat. “Ada banyak lokasi tertutup untuk dijadikan tempat sembunyi.”
Clay menatapnya, memastikan gadis itu tidak gentar. “Apa kau siap?”
Britney menarik napas panjang, menguatkan dirinya. “Aku harus siap kapanpun, bukan?” jawabnya mantap.
Clay mengangguk. Perlahan, ia memutar gagang pintu yang berkarat. Suara berdecit nyaris tak terdengar, untungnya pintu itu bisa dibuka tanpa menimbulkan suara besar. Mereka pun keluar perlahan, menunduk, dan bergerak di antara bayangan dinding.
Begitu berada di luar, angin dingin menerpa wajah mereka. Aroma busuk dari mayat dan udara lembap bercampur menjadi satu, membuat perut mual. Britney menahan napas, matanya menatap pemandangan yang meremukkan hatinya.
Di antara kerumunan zombie yang berjalan lamban, ia melihat seseorang yang sangat dikenalnya. Baju robek, rambut panjang acak-acakan, dan kulit membiru pucat, itu adalah Tara, sahabat terdekatnya.
“Tara…” bisik Britney lirih, air mata langsung menetes tanpa bisa dibendung. Suaranya hampir pecah, tapi ia buru-buru membekap mulut sendiri agar tidak menarik perhatian zombie lain.
Clay yang menyadari hal itu segera menatapnya prihatin. Ia tahu betapa hancurnya perasaan gadis itu sekarang. Perlahan, Clay meletakkan tangannya di pundak Britney. Sentuhannya lembut namun tegas.
“Kita tidak punya waktu untuk ini. Ayo,” bisiknya pelan, penuh pengertian.
Britney mengangguk cepat, meski air matanya masih mengalir. Ia tahu Clay benar, kesedihan bisa datang nanti, tapi sekarang bukan waktunya. Mereka mulai bergerak pelan, mengendap-endap di antara reruntuhan, memastikan tidak ada zombie yang menyadari keberadaan mereka.
Langkah kaki keduanya hampir tak terdengar di atas aspal yang retak. Setiap gerakan diperhitungkan, setiap napas ditahan. Britney kini memegang pisaunya erat-erat, berjaga kalau sesuatu tiba-tiba muncul dari arah tak terduga.
Sesekali Clay memberi isyarat dengan tangan, meminta Britney berhenti atau menunduk. Beberapa zombie melintas hanya beberapa meter di depan mereka, namun untungnya tak menyadari apa pun.
Setelah melewati beberapa mobil yang terbakar, akhirnya mereka tiba di parkiran sekolah. Tempat itu seperti kuburan besi. Puluhan kendaraan berserakan, ada yang rusak parah, ada pula yang terbalik. Bau bensin menyengat menusuk hidung.
Britney dan Clay saling berpandangan, lalu menghela napas lega bersamaan. Setidaknya mereka berhasil sampai tanpa menarik perhatian zombie. Tapi perjuangan belum selesai, sekarang tantangan berikutnya adalah menemukan mobil yang masih bisa digunakan untuk pergi dari neraka dunia itu.
Clay berjalan pelan, memeriksa setiap mobil satu per satu. “Kebanyakan sudah rusak,” gumamnya. “Yang ini bannya bocor… yang itu pintunya penyok parah.”
Britney ikut membantu. Ia sesekali membuka pintu mobil yang masih bisa dibuka, memastikan tidak ada zombie di dalam. Ketegangan di udara masih sangat kental, tapi kini ada sedikit rasa lega di antara keduanya, rasa lega karena masih hidup, meski dunia di sekitar mereka telah berakhir.
Mereka saling melirik, tanpa kata. Kini, di tengah keheningan parkiran yang sunyi, hanya ada dua manusia yang masih berjuang melawan dunia yang hancur.
Makhluk hidup yang terkena atau yang mengalami mutasi disebut dengan mutan.
Mutan adalah makhluk hidup yang mengalami perubahan genetik (mutasi) pada DNA-nya, yang menyebabkan timbulnya sifat atau karakter baru yang berbeda dari makhluk hidup normalnya.
Berarti ada kemungkinan Jennifer jadi Mutan...😲👹
Mutasi ini bisa menghasilkan sifat baru yang diwariskan ke keturunannya, seperti perubahan fisik drastis atau perubahan yang tidak terlihat secara langsung pada karakter.
Dampak mutasi menghasilkan kekuatan super atau perubahan fisik unik...💪🦹😰
SELAMAT DATANG peradaban baru.
Itulah kalimat yang layak diucapkan saat ini.
Manusia ditakdirkan menjadi khalifah, pembawa perubahan dan pembentuk peradaban di muka bumi.
Mengubahnya dan memicu lahirnya peradaban baru bagi umat manusia.
Virus zombie yang mewabah di hampir semua daerah ini telah mengubah hampir seluruh sendi kehidupan masyarakat bahkan sangat tidak siap dengan kehadiran wabah yang mematikan ini.
Manusia hadir untuk bertindak melakukan perubahan dan membangun peradaban yang diamanatkan oleh Allah SWT.
Dimana semua orang bisa hidup damai, membuat sebuah daerah mampu bangkit dan berkontribusi dalam peta peradaban...🤩🥰