Ayla tumbuh sebagai gadis yang terasingkan di rumahnya sendiri. Sejak kecil, kasih sayang kedua orang tuanya lebih banyak tercurah pada sang kakak, Aluna gadis cantik yang selalu dipuja dan dimanjakan. Ayla hanya menjadi bayangan, tak pernah dianggap penting. Luka itu semakin dalam ketika ia harus merelakan cinta pertamanya, Arga, demi kebahagiaan sang kakak.
Tidak tahan dengan rasa sakit yang menjerat, Ayla memilih pergi dari rumah dan meninggalkan segalanya. Lima tahun kemudian, ia kembali ke ibu kota bukan sebagai gadis lemah yang dulu, melainkan sebagai wanita matang dan cerdas. Atas kepercayaan atasannya, Ayla dipercaya mengelola sebuah perusahaan besar.
Pertemuannya kembali dengan masa lalu keluarga yang pernah menyingkirkannya, kakak yang selalu menjadi pusat segalanya, dan lelaki yang dulu ia tinggalkan membuka kembali luka lama. Namun kali ini, Ayla datang bukan untuk menyerah. Ia datang untuk berdiri tegak, membuktikan bahwa dirinya pantas mendapatkan cinta dan kebahagiaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cumi kecil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30 MEETING
Ruang rapat lantai dua belas siang itu tampak megah dan modern. Dindingnya dipenuhi kaca tebal yang memperlihatkan pemandangan kota dari ketinggian. Meja panjang di tengah ruangan dipenuhi berkas, laptop, dan cangkir kopi yang mengepulkan aroma hangat.
Alya duduk di ujung meja, dengan postur tegap dan ekspresi fokus. Ia mengenakan setelan blazer putih gading yang membuat kulitnya terlihat semakin bersinar. Rambutnya disanggul rapi, hanya menyisakan beberapa helai yang jatuh lembut di sisi wajah.
Di seberangnya, duduk Tuan Sam. pria berusia tiga puluhan dengan wajah tenang dan pandangan tajam. Meski berusaha tampil profesional, sorot matanya tak bisa menyembunyikan decak kagum yang ia rasakan sejak Alya masuk ke ruangan.
Rapat dimulai dengan pembahasan proyek besar kerja sama antara perusahaan Alya dan milik Sam. Suasana berlangsung serius. Dinda duduk di sisi kanan Alya, sibuk mencatat poin-poin penting sambil sesekali melirik ke arah Sam yang terlihat terlalu… fokus pada wajah bosnya.
“Untuk bagian pemasaran digital, kami sudah siapkan rancangan konten selama enam bulan ke depan,” jelas Alya sambil menampilkan presentasi di layar besar. Suaranya stabil, tegas, dan jelas menggambarkan wibawa seorang pemimpin sejati.
Sam bersandar di kursinya, memperhatikan Alya dengan seksama. Tidak hanya kata-katanya, tapi juga cara ia menggerakkan tangan saat menjelaskan, tatapan matanya yang mantap, dan ketenangan yang sulit ditandingi.
“Aku tidak menyangka,” gumam Sam dalam hati, “seorang wanita bisa tampil sekuat itu tanpa kehilangan sisi lembutnya.”
Alya melanjutkan, menunjukkan grafik peningkatan penjualan dari kerja sama sebelumnya. Semua mata tertuju padanya, namun tatapan Sam berbeda bukan hanya kagum karena profesionalisme, tapi juga karena pesona yang terpancar alami dari dirinya.
Dinda menunduk, berusaha menahan senyum kecil. Ia memperhatikan bagaimana setiap kali Alya berbicara, Sam menatapnya dengan pandangan yang sulit dijelaskan. Ada kekaguman, ada rasa tertarik, tapi juga rasa hormat.
“Untuk revisi tahap dua, kami butuh konfirmasi dari tim Bapak sebelum tanggal sepuluh,” lanjut Alya. “Jika disetujui, kita bisa mulai produksi minggu berikutnya.”
Sam mengangguk pelan. “Baik. Saya setuju dengan rancangan itu.”
Suaranya terdengar mantap, tapi matanya belum beranjak dari wajah Alya. Bahkan saat ia menandatangani dokumen, pandangannya sempat teralihkan memperhatikan cara Alya membetulkan rambut yang terurai atau saat ia tersenyum kecil kepada stafnya.
Rapat berjalan hampir dua jam. Begitu sesi tanya-jawab selesai, Alya menutup berkas dan menghela napas ringan. “Terima kasih atas kerja samanya. Saya harap proyek ini bisa berjalan lancar.”
Semua orang berdiri dan mulai merapikan barang masing-masing. Hanya Sam yang belum beranjak. Ia menatap Alya dengan senyum lembut, lalu berjalan mendekat.
“Presentasi yang mengesankan,” ujarnya rendah. “Kau punya cara bicara yang membuat orang sulit tidak memperhatikan.”
Alya menatapnya, sedikit tersenyum. “Terima kasih, Tuan Sam. Saya hanya berusaha melakukan yang terbaik.”
“Dan kau melakukannya dengan sempurna,” balas Sam cepat, hampir tanpa berpikir.
Dinda yang berdiri tak jauh dari sana menahan tawa kecil. Ia menunduk, pura-pura sibuk dengan map di tangannya. Staf lain saling melirik beberapa bahkan saling menyikut pelan, menyadari suasana aneh di antara dua pemimpin itu.
Alya tetap menjaga sikap profesional. “Kalau begitu, saya pamit. Saya masih ada jadwal dengan tim keuangan.”
Namun sebelum Alya melangkah, Sam berkata pelan, “Nona Alya…”
Langkah Alya terhenti. Ia menoleh sedikit. “Ya?”
Sam menatapnya dalam. “Kau tahu, jarang sekali aku merasa terinspirasi oleh seseorang. Tapi setiap kali melihatmu bekerja, aku… belajar sesuatu.”
Alya tidak langsung menjawab. Ada sesuatu dalam nada suara Sam jujur, tenang, dan sama sekali tidak dibuat-buat.
“Terima kasih, Tuan Sam,” katanya akhirnya, dengan senyum yang lembut tapi terukur. “Mungkin itu karena kita punya tujuan yang sama. Membangun, bukan sekadar mencari keuntungan.”
Sam tersenyum samar. “Mungkin kau benar.”
Mereka bertukar pandang sejenak, sebelum Alya akhirnya melangkah keluar.
...----------------...
Di lorong luar, Dinda berjalan cepat menyusul Alya. “Mbak,” katanya sambil menahan tawa. “Saya rasa Tuan Sam benar-benar terpesona sama Mbak Alya, deh.”
Alya hanya mendesah. “Jangan mulai, Din.”
“Tapi serius, dari tadi dia nyaris nggak berkedip. Semua orang di ruangan pasti sadar. Kalau rapatnya lebih lama sedikit, bisa-bisa beliau lupa ada peserta lain,” goda Dinda sambil terkekeh.
Alya meliriknya tajam, namun tak bisa menahan senyum. “Dia hanya kagum karena kerjaanku rapi, bukan karena hal lain.”
“Hmm… kalau begitu, saya kagum karena Mbak bisa pura-pura nggak sadar,” jawab Dinda cepat, membuat Alya menggeleng geli.
Mereka masuk ke lift. Saat pintu menutup, Alya memandangi bayangannya di dinding kaca. Dalam hati ia mengakui tatapan Sam tadi bukan tatapan biasa. Ada sesuatu yang berusaha ia sembunyikan di balik sikap profesional itu.
Namun Alya menepis pikirannya cepat. Ia tidak boleh goyah. Dunia bisnis bukan tempat untuk perasaan.
“Tapi…” batinnya bergetar pelan. “Entah kenapa, aku merasa nyaman setiap kali bicara dengannya.”
Lift berhenti di lantai dasar. Alya dan Dinda melangkah keluar. Di kejauhan, Sam berdiri di dekat pintu, seolah menunggu. Tatapan mereka bertemu sejenak. Alya membalas dengan senyum singkat, lalu berjalan melewati pria itu tanpa sepatah kata.
Sam menatap punggung Alya yang semakin menjauh dan menghela napas pelan. “Wanita itu… berbahaya,” gumamnya sambil tersenyum kecil. “Tapi justru di situlah pesonanya.”
...----------------...
Di dalam mobil menuju kantor pusat, Alya menatap keluar jendela, membiarkan pikirannya melayang. Ia tidak tahu mengapa kehadiran Sam terasa berbeda. Tidak menekan, tidak mengontrol tapi tetap memberi rasa aman.
Mungkin, pikirnya, Sam bukan hanya sekadar rekan kerja. Mungkin dia adalah bagian kecil dari kebebasan yang selama ini Alya cari.
Namun di balik ketenangan itu, jauh di dalam dirinya, Alya tahu dunia bisnis, cinta, dan dendam tidak pernah berjalan berdampingan tanpa luka.
Dan meski hatinya mulai terbuka sedikit, ia masih harus berhati-hati. Karena satu langkah salah saja, semua yang ia bangun bisa runtuh seketika.