Kinara, seorang gadis berusia 24 tahun, baru saja kehilangan segalanya, rumah, keluarga, dan masa depan yang ia impikan. Diusir ibu tiri setelah ayahnya meninggal, Kinara terpaksa tinggal di panti asuhan sampai akhirnya ia harus pergi karena usia. Tanpa tempat tujuan dan tanpa keluarga, ia hanya berharap bisa menemukan kontrakan kecil untuk memulai hidup baru. Namun takdir memberinya kejutan paling tak terduga.
Di sebuah perumahan elit, Kinara tanpa sengaja menolong seorang bocah yang sedang dibully. Bocah itu menangis histeris, tiba-tiba memanggilnya “Mommy”, dan menuduhnya hendak membuangnya, hingga warga sekitar salah paham dan menekan Kinara untuk mengakui sang anak. Terpojok, Kinara terpaksa menyetujui permintaan bocah itu, Aska, putra satu-satunya dari seorang CEO muda ternama, Arman Pramudya.
Akankah, Kinara setuju dengan permainan Aksa menjadikannya ibu tiri atau Kinara akan menolak?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 25
Siang itu Kinara melangkah cepat keluar dari lobi gedung, langkahnya ringan namun tergesa. Senyum tak lepas dari wajahnya, cerah, hangat, berbeda dari ekspresi profesional yang biasa ia kenakan sejak pagi. Beberapa staf yang berpapasan ikut menyapa, sebagian tersenyum kagum melihat aura bahagia yang terpancar darinya.
“Selamat siang, Bu Kinara.”
“Siang.”
Kinara membalas singkat, tanpa menghentikan langkahnya. Pikirannya sudah tertuju pada satu nama yaitu Arman.
Dari kejauhan, di dekat koridor kaca, Rome berdiri bersama Inara, asistennya. Keduanya tengah membahas setumpuk dokumen, namun pandangan Rome tanpa sadar terangkat, mengikuti sosok Kinara yang berlalu meninggalkan gedung. Gaun kerjanya sederhana, rambutnya terikat rapi, tapi senyum itu terlalu jujur untuk diabaikan.
Inara menyadari tatapan itu.
“Tuan Rome,” katanya pelan, setengah menggoda, “Anda menyukai Nona Kinara?”
Rome terdiam sesaat. Bibirnya melengkung tipis, senyum yang tidak benar-benar bahagia, lebih seperti menerima sesuatu yang tak bisa ia miliki. Ia tidak menjawab pertanyaan itu.
“Aku akan makan siang,” ucapnya akhirnya, menutup map di tangannya. “Kamu juga, jangan lupa makan.”
Inara mengangguk, meski tatapannya masih penuh tanda tanya. Sementara itu, Rome melangkah pergi ke arah berlawanan dari Kinara.
Di luar gedung, Kinara menghentikan langkahnya sejenak, menarik napas dalam-dalam sebelum menyeberang jalan menuju restoran yang telah mereka sepakati. Ada debar halus di dadanya, bukan gugup, tapi sesuatu yang hangat, sesuatu yang mulai ia izinkan tumbuh.
Di restoran itu, Arman telah tiba lebih dulu.
Kursi rodanya berhenti di dekat meja yang menghadap jendela besar, cahaya siang jatuh lembut di wajahnya yang tetap dingin namun tenang. Tidak ada Rudi di sana untuk pertama kalinya, Arman hanya meminta untuk di antar saja sama Rudi.
Saat Kinara melangkah masuk, senyum langsung terukir di bibirnya. Langkahnya melambat ketika matanya menangkap buket mawar putih yang tergeletak di pangkuan Arman. Jantungnya berdegup sedikit lebih cepat, pipinya menghangat tanpa izin.
Arman mengulurkan bunga itu padanya.
“Untukmu,” ucapnya singkat.
Kinara menerimanya dengan kedua tangan, jemarinya sedikit gemetar.
“Terima kasih…” katanya pelan.
Ada jeda sesaat, Arman berdehem ringan, lalu dengan suara datar dan nyaris kaku pria itu berkata, “Maaf, untuk yang kemarin.”
Namun cukup untuk membuat Kinara menatapnya lebih lama. Dia tahu, bagi Arman, mengucapkan kata maaf bukan hal yang mudah. Dan di detik itu Kinara sadar, pria di hadapannya benar-benar sedang berusaha berubah, meski caranya canggung dan dingin.
Mereka lalu memesan makanan. Suasana di antara mereka tidak lagi setegang sebelumnya, meski tetap dipenuhi jeda-jeda sunyi yang anehnya terasa nyaman.
Beberapa menit berlalu, Kinara kehabisan topik. Ia menyesap minumnya, lalu tersenyum kecil dan berkata sambil menggoda,
“Aksa pasti akan marah besar kalau tahu kita makan siang berdua tanpa dia.”
Arman mengangguk pelan. “Rudi akan menjemputnya. Dia langsung dibawa ke tempat les.”
Kinara mengangguk puas. “Syukurlah. Kalau tidak, dia bisa mendeklarasikan kita orang tua paling kejam sedunia.”
Sudut bibir Arman bergerak nyaris tak terlihat bukan senyum penuh, tapi cukup untuk membuat Kinara menangkap satu hal yang pasti, Arman sedang belajar menikmati hidupnya lagi.
Sore itu, Kinara merapikan barang-barangnya di meja kerja. Matahari sudah condong ke barat ketika ia melangkah keluar dari ruangannya, bersiap pulang.
“Kinara.”
Dia menoleh, Rome berdiri beberapa langkah di belakangnya.
“Aku bisa mengantarmu pulang,” tawar Rome, suaranya tenang seperti biasa.
Kinara tersenyum tipis, menggeleng pelan. “Saya bawa mobil, Tuan Rome.”
Kening Rome langsung berkerut. Ia jelas terkejut, ia tahu betul kondisi Kinara, tahu betapa sulitnya bagi wanita itu untuk memiliki sesuatu seperti mobil dalam waktu singkat. Kinara menangkap perubahan ekspresi itu. Ia menarik napas kecil sebelum berkata, lebih pelan, lebih hati-hati,
“Ada seseorang yang memberikannya padaku.”
Rome menatapnya, menunggu.
“Cerita itu … akan saya ceritakan nanti,” lanjut Kinara jujur. “Saat waktunya tepat. Sekarang saya belum bisa.”
Dia menatap Rome lurus-lurus, tidak menghindar. “Saya masih butuh waktu. Dan saya menghargai keputusanku sendiri.”
Rome mengangguk pelan, meski dadanya terasa nyeri. Ia mengerti lebih dari siapa pun Kinara bukan wanita yang bisa dipaksa membuka diri sebelum ia siap. Kinara melangkah pergi, sebelum berhenti sejenak.
“Terima kasih, Tuan Rome ... untuk semuanya.”
Langkah kakinya kembali berlanjut, meninggalkan Rome berdiri sendiri di koridor yang mulai lengang.
Di dadanya, rasa yang sama kembali menghantam rasa kehilangan yang dulu pernah ia rasakan. Bukan karena Kinara benar-benar pergi melainkan karena ia tahu, Kinara sedang memilih berdiri di sisi orang lain, meski pernikahan itu hanya kontrak.
Setelah Kinara benar-benar menghilang di balik pintu lift, Rome masih berdiri di tempat yang sama. Tatapannya kosong, pikirannya tertinggal pada punggung wanita yang barusan pergi, wanita yang sejak dulu selalu berhasil membuat hatinya terasa penuh sekaligus perih.
Ponsel di saku jasnya bergetar. Rome menghela napas singkat sebelum mengangkat panggilan itu.
“Ya?”
Suara perempuan terdengar dari seberang, lembut namun tegas.
[Rom … aku akan pulang. Dua hari lagi.]
Rome membeku, jantungnya berdegup lebih cepat.
“Setelah lima tahun…” suaranya sedikit tertahan, “akhirnya kamu kembali, Kak?”
[Aku merindukanmu,] jawab wanita itu tanpa ragu.
Rome memejamkan mata sesaat.
“Aku juga merindukan Kakak.”
Panggilan itu terputus, Rome menatap layar ponselnya, ada senyuman gadis SMA di layarnya, foto lama Kinara kala itu yang selalu membuat hati Rome berdebar, setiap kali mengingat nama dan bayangan wajah wanita itu.
pilih yg pasti pasti Ajja Arman..
yg sudah jelas tulus tanpa syarat 👍👍
jangan dekat dekat mantan itu ibarat sampah.....masa iya kamu mau tercemar dengan aroma nya yang menjijikan....
Kini kalian telah menjadi satu...,, satu hati,, satu rasa dan satu pemikiran. Harus saling percaya dan jujur dgn pasangan,, karna ke depannya si Mak Lampir ibu kandungnya Aksa akan merongrong ketenangan,, kedamaian dan kebahagiaan keluarga kalian.
Waspada lah ....