NovelToon NovelToon
Runaways Of The Heart

Runaways Of The Heart

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / CEO / Percintaan Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Mafia / Cintapertama
Popularitas:193
Nilai: 5
Nama Author: Dana Brekker

Darren Myles Aksantara dan Tinasha Putri Viena sama-sama kabur dari hidup yang menyesakkan. Mereka tidak mencari siapa pun, apalagi cinta. Tapi pada malam itu, Viena salah masuk mobil dan tanpa sengaja masuk ke lingkaran gelap keluarga Darren. Sejak saat itu, hidupnya ikut terseret. Keluarga Aksantara mulai memburu Viena untuk menutupi urusan masa lalu yang bahkan tidak ia pahami.

Darren yang sudah muak dengan aturan keluarganya menolak membiarkan Viena jadi korban berikutnya. Ia memilih melawan darah dagingnya sendiri. Sampai dua pelarian itu akhirnya bertahan di bawah atap yang sama, dan di sana, rasa takut berubah menjadi sesuatu yang ingin mereka jaga selamanya.

Darren, pemuda keras kepala yang menolak hidup dari uang keluarga mafianya.

Viena, gadis cantik yang sengaja tampil culun untuk menyembunyikan trauma masa lalu.

Genre : Romansa Gelap

Written by : Dana Brekker

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dana Brekker, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ch 5

Darren Aksantara datang kemari hanya untuk Calista Nayara Aksantara, tidak lebih dan tidak kurang. Bukan untuk keluarga besarnya, bukan untuk Viena.

 

Namun di saat yang sama, dia tahu dirinya sedang berada di kandang serigala. Perang bukanlah ancaman, tapi keharusan. Lalu basa-basi bukan pula cara untuk menyikapi masalah hidupnya. Dia hanya perlu menyelesaikan malam ini secara profesional.

 

“Aku datang untuk bertemu Calista.”

Laras sedih sekali saat mendengar ucapan anak tirinya. “Seenggaknya kamu gak perlu buru-buru, Sayang… banyak makanan enak yang bisa kamu nikmatin atau kamu mau berkunjung ke kamar—”

“Ah, kue red velvet ya? Aku mungkin bakalan nyobain, apalagi kalau itu buatan adikku,” sela Darren sambil menggandeng Viena untuk masuk lebih dalam. “Viena kamu mau makan apa?”

 

Di situ tatapan Viena dan Laras bertemu, gadis itu membungkuk hormat, Laras terlihat hendak melontarkan pertanyaan tapi Darren terlanjur membawanya pergi lebih jauh.

Ekspresinya tidak banyak berubah. Itu yang bisa Viena catat di kepalanya sejauh ini. Darren bukan pemuda yang biasa ia temui sehari-hari. Dan meskipun mereka berdua saat ini hanya sebatas pacar bohongan, secara gak langsung Viena bisa melihat sisi lain dari cowok yang membuatnya jengkel beberapa waktu lalu, atau mungkin sampai sekarang?

Entah apakah hal itu yang justru membuat Darren terlihat keren di matanya, atau karena dia terlalu takut untuk menghadapi malam ini sendirian, tapi ketenangan di sifat Darren benar-benar membuatnya merasa aman.

 

Ruang makan keluarga Aksantara dibentuk dari chandelier kristal di atas meja marmer panjang, utensils perak dan porselen tersusun dengan rapi. Hiasan balon dengan pita berwarna toska menghiasi setiap sudut langit-langit kediaman mereka. Setiap dekorasi, setiap warna yang dipilih memiliki arti tersendiri, dan semuanya positif untuk merayakan hari ulang tahun Calista.

 

Di ruangan seluas lapangan futsal itu Viena duduk di sisi kanan Darren, berusaha menjaga punggungnya tetap tegak, meski jantungnya terus  menggedor tulang rusuk. Ia sudah bertekad untuk terlihat pantas atau setidaknya, tidak terlalu memalukan.

Sementara Darren sibuk dengan ponselnya.

“Lis, kamu di mana?”

“Di taman belakang. Lagi sama teman-teman. Kenapa, Kak?” suara di seberang terdengar riang. Kadang membuat Darren lupa jika usia adiknya telah resmi menginjak angka 20.

“Datang ke ruang makan, ya. Aku udah di sini.”

“Serius? Kakak beneran datang?”

“Nggak.” Sahut Darren, matanya sekilas menatap Viena yang sedang memandangi gelas air mineral. “Aku tunggu, jangan lama-lama.”

“Wah! Tunggu sebentar Kak Darren, Calista siap-siap dulu!”

Begitu sambungan terputus, Darren meletakkan ponsel di meja, melipat tangan di depan dada. Ia menatap hampa ke arah lilin aromaterapi di tengah meja.

“Kamu deket banget, ya, sama adikmu?”

 

“Dia satu-satunya alasan aku masih mau datang ke rumah ini,” jawab Darren. “Dari dulu, dia salah satu dari segelintir orang yang nggak pernah lihat aku sebagai ancaman.”

 

“Kenapa keluargamu seolah ngerasa kamu ancaman?”

 

Darren hanya tersenyum tipis tanpa menjawab. Tanpa menoleh.

“Maaf udah tanya yang enggak-enggak.”

Darren berakhir menatapnya sejenak, lalu mengalihkan pandangan ke kue berwarna merah yang tadi ia ambil. “Kamu suka red velvet?”

Viena sempat tertegun dengan perubahan topik mendadak itu. “Aku belum pernah coba.”

 

Darren mengambil piring kecil beserta sendok. Lalu menyendok sepotong kue, mengamatinya sekilas sebelum menyuapkan ke mulut. Hanya dari suapan pertama, wajahnya tak menunjukkan ekspresi apa pun yang berarti kue ini bukanlah kue yang teramat spesial baginya.

 

“Bukan buatan Calista,” ujarnya lirih.

 

“Dari mana kamu tau?”

“Rasa krimnya terlalu kuat. Kalau adikku yang buat, pasti lebih ringan. Dia suka pakai krim mascarpone, bukan cuma butter.”

“Kamu belum makan dari sore, kan?” Lanjut Darren seraya menyendok kue itu lagi dengan sendok baru, dan melayangkannya tepat di depan bibir gadis itu. “Aaa.. buka mulutnya.”

Viena menelan ludah. “Aku gak lapar.” Sedikit kaget melihat wajah polos pemuda di dekatnya.

“Bilang aja kamu gugup.”

“Mana ada, situasinya aja yang agak—”

Beberapa tamu di sisi lain ruangan mulai melirik mereka, saling berbisik.

 

“Itu pacar Tuan Muda Darren?”

“Yang pakai kacamata itu? Mereka kelihatan romantis, ya.”

 

Langsung, bisikan itu memukul syaraf Viena. Wajahnya memanas. Merah merona dan entah kenapa ingin mengacak-acak wajah kalem pemuda Aksantara di depannya.

 

Namun karena teringat Bagas, Viena akhirnya membuka mulut, menerima suapan itu dengan terpaksa. Kue yang manis berubah pahit karena rasa malu yang seakan menjalar sampai ke telinga.

 

“Enak, kan?” Darren mendekat, lalu tanpa pikir panjang, mengusap sisa krim di sudut bibir Viena dengan ibu jarinya.

Viena mematung.

 

“Tenang aja,” ujar Darren. “Ini cuma formalitas. Aku gak akan lebih jauh dari ini.”

 

Namun kalimat itu justru membuat wajah Viena semakin merah. Napasnya terasa hangat nan kacau, sedangkan Darren hanya duduk dengan ekspresi tak terbaca, seolah tak terjadi apa-apa dan Itu yang membuat gadis itu makin jengkel.

Tapi nyatanya suapan itu adalah awal dari semua rencana Darren. Viena mencoba menahan napasnya setiap kali Darren kembali menyodorkan sendok. Satu suapan, dua, tiga, empat, setiap potongan red velvet terasa makin penuh di tenggorokan.

 

“Udah cukup, aku bakal diabetes,” gerundel Viena di sela kunyahan.

 

“Belum juga separuh,” balas Darren. “Tadi kamu bilang mau bantu aku, kan? Nah, ini bagian dari misi itu.”

 

“Disuapin berkali-kali?”

 

“Formalitas publik. Orang-orang di sini suka menilai dari gestur sederhana kayak gini.”

 

“Kalau gitu aku boleh nyuapin balik?”

 

Darren melirik ke arahnya, senyuman kecil akhirnya lolos dari wajah datar itu. “Belum saatnya, Nona pemeran pendamping.” Pemuda itu tahu, apa yang akan dilakukan Viena pasti lebih ke balas dendam daripada memainkan adegan romantis demi kelancaran misi.

 

“Itu namanya curang.”

 

Tentu Viena mendengus, namun bodohnya tetap membuka mulut lagi. Ia melotot ke arah Darren dengan pipi bulat penuh kue, tapi cowok itu malah tertawa. Tawa yang terlalu singkat, terlalu datar, namun cukup untuk membuat suasana jadi lebih santai.

 

Semua itu berlanjut sampai langkah seseorang terdengar berhenti di belakang mereka.

 

“Well, well, well… look who we have here. Pemandangan yang menarik nih!”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!