"Si4l, apa yang wanita itu rencanakan?
Mengapa setelah surat cerai kutandatangani, dia justru ... berubah?”
...
Lyara Elvera, seorang gadis yang tak merasakan keadilan di keluarganya. Kedua orang tuanya hanya memusatkan kasih sayang pada kakaknya, sementara Lyara tumbuh dengan rasa iri dan keinginan untuk di cintai
Namun, takdir berkata lain. Sebelum kebahagiaan menyentuhnya, Lyara meregang nyawa setelah terjatuh dari lantai tiga sebuah gedung.
Ketika ia membuka mata, sosok misterius menawarkan satu hal mustahil, kesempatan kedua untuk hidup. Tiba-tiba, jiwanya terbangun di tubuh Elvera Lydora, seorang istri dari Theodore Lorenzo, sekaligus ibu dari dua anak.
Namun, hidup sebagai Elvera tak seindah yang terlihat. Lyara harus menghadapi masalah yang ditinggalkan pemilik tubuh aslinya.
“Dia meminjamkan raganya untukku agar aku menyelesaikan masalahnya? Benar-benar jiwa yang licik!”
Kini Lyara terjebak di antara masalah yang bukan miliknya dan kehidupan baru yang menuntut penebusan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kenz....567, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketegasan Theo
Theodore mengantarkan Keisya lebih dulu ke sekolah pagi itu, sambil mendengarkan siaran radio yang mengalun pelan di mobilnya. Hanya celoteh penyiar dan suara jalanan yang ramai mengisi keheningan di antara mereka. Udara masih sejuk, sinar matahari menembus celah pepohonan di pinggir jalan. Namun, di sela keheningan itu, suara kecil Keisya tiba-tiba memecah suasana.
“Papa sadar enggak sih?” tanya Keisya tiba-tiba. Nada suaranya pelan tapi cukup membuat Theodore menoleh cepat, meski hanya sekilas.
“Sadar kenapa?” tanya Theodore bingung, menatap putrinya yang masih menatap lurus ke depan.
Keisya menunduk, kedua tangannya menyangga dagu, suaranya lembut tapi sarat makna. “Mama ... agak aneh, ya. Aku senang sama Mama yang sekarang, tapi kadang aku heran juga. Papa lihat rambutku, kan? Mama yang kepang. Padahal Papa tahu, Mama dulu enggak pandai mengepang rambut.”
Theodore sempat terdiam. Benar juga. Ia belum terlalu memperhatikan hal-hal kecil seperti itu akhir-akhir ini. Tapi ucapan putrinya membuat d4danya terasa aneh, campuran antara hangat dan bingung. Ia menatap jalan lurus di depannya, lalu tersenyum tipis. Tangannya sempat terulur, mengelus kepala Keisya dengan lembut.
“Mungkin Mama sedang berubah, Sayang. Mama lagi belajar jadi Mama yang lebih baik untuk Keisya dan Eira. Kadang orang belajar dengan caranya sendiri,” ucap Theodore perlahan.
Keisya tersenyum lebar. “Mungkin, ya. Mama juga sekarang jago masak. Aku suka banget bekal dari Mama. Teman-temanku sampai iri karena makananku enak terus.”
Theodore terkekeh kecil, tapi senyum itu menyimpan banyak tanda tanya. Ia bahagia melihat anak-anaknya kembali ceria, tapi di sisi lain ia tak bisa menutupi rasa heran. Bagaimana mungkin Elvera, istrinya yang dulu begitu keras kepala dan dingin, bisa berubah secepat ini, jadi sosok yang hangat dan penyabar?
Sesampainya di sekolah, Theodore menghentikan mobilnya. Keisya menc1um pipinya sebelum turun dan melambai dengan semangat. Theodore membalas lambaian itu, menatap punggung kecil putrinya yang berlari masuk ke halaman sekolah. Ada rasa hangat mengalir dalam d4danya—rasa yang sudah lama tak ia rasakan.
Namun begitu Keisya menghilang di balik gerbang sekolah, senyum itu perlahan memudar. Empat tahun terakhir pernikahannya dengan Elvera memang tak mudah. Ia sering menyepelekan hal kecil, membiarkan perbedaan kecil tumbuh jadi pertengkaran besar. Ia mengabaikan peringatan istrinya, sampai akhirnya jarak tercipta. Elvera semakin dekat dengan adik tirinya, karena dirinya dekat dengan wanita yang dulu juga pernah mengisi hidupnya sebelum pernikahan mereka.
Theodore menarik napas panjang, rasa sesal menekan d4danya. “Untung aku sadar sebelum semuanya hancur,” gumamnya lirih, lalu menyalakan mesin mobil dan melaju menuju rumah sakit tempatnya bekerja.
.
.
.
.
Siang hari, Zeya baru saja menyelesaikan pasien terakhirnya. Ia melepaskan sarung tangan medis, menghela napas, dan menatap jam di dinding—pukul dua siang. Senyum kecil terbit di bibirnya. Hari ini, ia berencana menemui pria yang masih menempati hatinya, Theodore. Tapi sebelum itu, ia berbicara dulu dengan pasiennya.
“Minggu depan kita cabut gigi yang atas ya, dan lanjut proses PSA,” ucap Zeya ramah pada pasiennya.
“Baik, Dokter. Terima kasih,” jawab orang tua pasien itu.
“Sama-sama,” balasnya sambil tersenyum.
Begitu pasien pergi, Zeya segera membereskan meja praktiknya, lalu melangkah ke luar ruangan dengan hati yang tak tenang. Ia sudah menyiapkan alasan untuk sekadar berbincang dengan Theodore, tapi langkahnya terhenti mendadak saat mendengar dua perawat berbisik di dekat lorong.
“Katanya hari ini hari terakhir Dokter Theo di sini,” bisik salah satunya.
“Oh ya? Kenapa?”
“Ya karena apa lagi? Ada wanita gil4 yang terus ngejar-ngejar dia. Padahal istrinya cantik banget, tapi wanita itu ... kayak enggak tahu malu. Gelarnya sih dokter, tapi keadaan hatinya tetap aja gunndiik.”
Bisikan itu membuat darah Zeya mendidih. Ia menatap tajam kedua perawat itu, lalu mendekat sambil bertolak pinggang.
“Maksud kalian apa ngomong kayak gitu?” bentaknya dengan nada tinggi.
Keduanya langsung diam dan pura-pura sibuk. Zeya menggigit bibir bawahnya menahan marah, lalu bergegas menuju ruangan Theodore dengan langkah cepat dan napas memburu.
Cklek!
Pintu ruangan terbuka keras. Theodore menoleh, terkejut. Ia sedang memasukkan beberapa dokumen dan barang pribadinya ke dalam kotak kardus.
“Apa-apaan kamu, Zeya? Masuk seenaknya! Ini ruanganku, bukan ruangmu!” seru Theodore, wajahnya menunjukkan ketidaksenangan.
Zeya tak peduli. Ia melangkah cepat ke arah pria itu, matanya berkaca-kaca. “Apa maksudmu pindah dari rumah sakit ini, Theo? Aku ... aku kerja di sini juga karena kamu. Kenapa sekarang kamu malah pergi?” suaranya bergetar, hampir putus di ujung kalimat.
Theodore menatapnya datar. “Kamu mau aku bagaimana, Zeya? Menghancurkan rumah tanggaku? Membiarkan anak-anakku kehilangan peran orang tuanya? Aku enggak bisa.”
Zeya menggeleng cepat, air matanya menetes. “Tapi aku masih cinta sama kamu, Theo ... aku masih cinta,” ucapnya lirih, suaranya nyaris pecah.
Theodore menarik napas panjang, menatap dalam mata wanita itu, mata yang dulu sempat ia kagumi. Tapi kini hanya ada rasa sesal dan iba di dalamnya.
“Zeya,” katanya pelan, “Aku telah mencintai Elver sejak putri pertama kami hadir. Aku biarkan kamu tetap di sekelilingku karena janji yang dulu aku ucapkan. Tapi janji itu hanya membuat keluargaku hampir hancur. Aku enggak mau kehilangan istriku, dan aku enggak mau anak-anakku tumbuh tanpa rumah yang utuh. Jadi, tolong ... carilah kebahagiaanmu di tempat lain. Jangan padaku, karena aku bukan lagi kekasihmu.”
Setelah mengucapkan itu, Theodore memegang bahunya pelan, menyingkirkannya dari jalur menuju mobil. Ia lalu masuk dan menyalakan mesin. Zeya hanya bisa berdiri terpaku, menatap mobil itu menjauh dengan air mata mengalir deras di pipinya.
“Enggak ... aku enggak bisa cari kebahagiaan selain padamu, Theo,” bisiknya lirih, suaranya hampir hilang ditelan deru kendaraan, “karena satu-satunya kebahagiaanku ... cuma kamu.”
_____________________________
Kata-kata buat Zeya👇
apa lagi anak bryan 🤦♀️
masih mblundeeetttt
apalagi ini ditambah kondisi Ara yg menimbulkan tanda tanya
semoga saja gak isi
klo isi bisa jadi masalah besar
takutnya di curigai anak orang lain
q yakin El tidak seburuk ituuuu
pengakuan Bryan cuma untuk memprovokasi Theo