NovelToon NovelToon
Not Love, But Marriage

Not Love, But Marriage

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Nikah Kontrak / Cinta Seiring Waktu / Keluarga / Persahabatan / Dokter
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Nōirsyn

"Mereka mengira pertemuan itu adalah akhir, padahal baru saja takdir membuka lembar pertamanya.”

‎Ameena Nayara Atmaja—seorang dokter muda, cantik, pintar, dan penuh dedikasi. Tapi di balik wajah tenangnya, ada luka tersendiri dengan keluarganya. Yara memilih hidup mandiri, Ia tinggal sendiri di apartemen pribadinya.

‎Hidupnya berubah ketika ia bertemu Abiyasa Devandra Alaric, seorang CEO muda karismatik. Yasa berusia 33 tahun, bukan seperti CEO pada umumnya yang cuek, datar dan hanya fokus pekerjaannya, hidup Yasa justru sangat santai, terkadang dia bercanda dan bermain dengan kedua temannya, Yasa adalah anak yang tengil dan ramah.

‎Mereka adalah dua orang asing yang bertemu di sebuah desa karena pekerjaan masing-masing . Awalnya mereka mengira itu hanya pertemuan biasa, pertama dan terakhir. Tapi itu hanya awal dari pertemuan mereka. satu insiden besar, mencoreng nama baik, menciptakan gosip dan tekanan sosial membuat mereka terjebak dalam ikatan suci tanpa cinta

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nōirsyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dokter Adrian

‎Langit di luar kamar tampak gelap, seolah ikut merasakan kesedihan yang memenuhi dada Adrian. Di meja kerjanya, sebuah bingkai berdiri tegak. Di dalamnya, ada foto Yara tersenyum malu-malu dengan jas dokter magangnya, rambut sedikit berantakan diterpa angin, tapi matanya bersinar cerah.

‎Adrian menatapnya lama. Matanya memerah, dan akhirnya—setelah sekian lama menahan—air matanya jatuh perlahan. Bukan karena marah. Bukan karena kecewa. Tapi karena kehilangan yang tidak bisa ia cegah, walau selama ini ia diam-diam menjaga.

‎Tangannya mengambil satu per satu foto yang tersimpan rapi di dalam laci.

‎Ada foto Yara yang sedang tertidur di ruang jaga, dengan masker masih menempel di dagunya. Ada foto mereka berdua saat mengikuti pelatihan kecil di ruang ICU—Yara tersenyum malu, Adrian hanya tersenyum tipis, seperti biasa.

‎Dan satu lagi… foto yang paling ia sayangi—Yara tertawa lepas saat terkena cipratan air infus dari pasien anak-anak. Wajah ceria itu... kini hanya bisa dia kenang.

‎Adrian menggenggam foto itu erat.

‎"Kamu tahu, Yara…" gumamnya pelan, suara nyaris bergetar, "aku gak pernah punya cukup keberanian buat bilang… karena aku tahu, kamu sedang mengejar cita-citamu. Tapi aku juga gak nyangka, kalau akhirnya akan seperti ini.

‎Ia menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi, menatap langit-langit kamar yang kosong, lalu kembali memandangi bingkai foto di mejanya.

‎Flashback 2 tahun lalu

‎Suasana IGD sore itu lagi chaos. Pasien masuk terus-terusan, suara monitor berdengung, dan Yara yang waktu itu baru minggu ke-2 koas, udah hampir nangis karena salah input data pasien ke rekam medis. Seniornya—dua dokter residen—langsung ngegas.

‎Senior 1:

‎“Yara! Ini pasien hipertensi, bukan diabetes! Kamu ngasih instruksi yang salah, ngerti nggak ini bisa bahaya?!”

‎Senior 2:

‎“Aduh, udah lah. Anak baru, tapi gaya sok paham. Gimana sih kamu ini?”

‎Yara diem. Lidahnya kelu. Jantungnya deg-degan parah. Tangan gemetar sambil megang clipboard. Dia ngerasa bego banget, bahkan udah siap dihukum atau diusir dari ruangan itu.

‎Tapi tiba-tiba...

‎“Saya yang tanggung jawab.”

‎Suara itu tenang, rendah, dan datang dari arah belakang.

‎Semua orang langsung menoleh.

‎Itu dr. Adrian.

‎Dokter muda yang waktu itu baru lulus PTT, tapi udah jadi idola banyak suster karena selalu ramah dan beraroma kopi. Iya, literally. Dia kayak punya aroma khas yang bikin tenang.

‎Waktu dia ngomong, semua orang mendadak slow motion.

‎dr. Adrian:

‎“Yara input data itu atas arahan saya. Saya salah lihat chart sebelumnya. Mohon maaf, Dok.”

‎Kedua senior itu langsung diam. Nggak berani debat.

‎Sementara Yara? Dia bengong. Hatinya mencelos.

‎Setelah semua reda, Adrian nyamperin Yara yang masih ketahan air matanya.

‎Adrian tersenyum lembut kepada Yara

‎“Udah, jangan dipikirin. Salah itu wajar. Kamu masih belajar, kan?”

‎Yara menunduk “Tapi... itu salahku, kenapa kakak—eh, dokter Adrian...?”

‎“Karena kamu butuh orang yang percaya sama proses belajar kamu. Dan aku harus ngebuat kamu nyaman sama profesi ini, kalau kamu selalu sedih dan jengkel ngelakuin pekerjaan apapun itu, kamu ga akan dapat apapun" Adrian tersenyum tipis

‎Yara langsung nge-freeze. Tangannya yang tadinya gemetar, sekarang malah dingin.

‎Deg-degannya bukan karena takut. Tapi karena... omongan cowok itu.

‎---

‎Hari berikutnya, Yara dapet tugas jagain pasien anak, dan dia panik karena anak kecil itu rewel terus.

‎Tiba-tiba Adrian dateng dan...

‎dr. Adrian:

‎“Kamu bawa mainan?”

‎Yara:

‎“Aku bawa stetoskop, itu doang...”

‎dr. Adrian:

‎“Anak kecil nggak suka stetoskop, mereka lebih suka balon sarung tangan.” Adrian mengambil sarung tangan medis, meniupnya lalu menggambar senyum pakai spidol

‎Anak kecil itu pun tertawa kegirangan

‎“Balon lucu!!”

‎Yara kagum melihat anak kecil yang sangat rewel bisa tertawa begitu lebar karna pria di hadapannya

‎“Catet, dokter keren bukan yang cuma hafal penyakit. Tapi yang bisa bikin pasien kecil ketawa.”

‎----

‎TOK TOK TOK

‎Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Adrian. Adrian yang masih duduk di depan meja kerjanya, matanya masih memandangi foto Yara dalam bingkai kayu beraksen klasik.

‎"Adrian, buka pintunya nak. Mama mau ngomong," suara lembut mamanya terdengar dari balik pintu.

‎Adrian menarik napas dalam. Ia cepat-cepat menghapus air mata di pipinya dan membenarkan posisi duduknya. Ia berjalan ke arah pintu dan membukanya perlahan.

‎"Ma..." suaranya sedikit serak.

‎Wajah mama Adrian langsung mencemaskan. "Kamu... nangis ya, Nak?"

‎Adrian menunduk sebentar, lalu menggeleng kecil. "Enggak kok, cuma... kurang tidur."

‎Mamanya tidak menanggapi alasan itu. Ia masuk ke kamar dan duduk di tepi ranjang Adrian, menepuk-nepuk tempat di sampingnya. Adrian duduk perlahan, kembali menghela napas.

‎"Mama tahu kamu nggak pengen datang ke acara pernikahan itu."

‎Adrian terdiam. Jantungnya seperti diremas lagi. Mama melanjutkan dengan hati-hati, "Mama juga tahu... kamu sudah lama menyimpan rasa ke Yara."

‎"Tapi sekarang dia bukan milik aku, Ma," suara Adrian hampir tak terdengar.

‎"Adrian." Mamanya memeluk anak laki-lakinya yang sangat dia sayangi, baru kali ini dia melihat Adrian begitu rapuh.

‎"Aku cuma... kecewa. Aku terlalu berharap. Tapi apa hak aku buat marah? Aku bahkan ngga pernah mengungkapkan rasa cinta aku ma."

‎Mamanya mengelus punggung Adrian dengan lembut. "Nggak semua cinta harus memiliki. Tapi bukan berarti kamu harus menyiksa dirimu sendiri dengan berpura-pura kuat."

‎Adrian tersenyum pahit. "Dia berjuang sendirian, Ma. Bahkan nggak minta tolong ke aku. Dia... terlalu baik. Dan sekarang dia harus menjalani hidup yang bukan dia inginkan. Aku cuma... pengen bisa bantu, tapi dia nggak izinkan."

‎"Kamu tetap bisa jadi cahaya, walau kamu nggak jadi langitnya, Nak."

‎Kamar itu sunyi sejenak, hanya suara detak jam dan napas berat Adrian yang terdengar.

‎Pintu mendadak terbuka, dan Papanya Adrian masuk tanpa mengetuk lagi.

‎"Kamu belum siap-siap? Kita harus berangkat sebentar lagi. Acara resepsinya akan segera di mulai

‎"Aku nggak datang, Pa."

‎PAPA:

‎"Kamu pikir kamu bisa seenaknya menolak? Yasa itu rekan bisnisku, dan ini soal kehormatan keluarga kita."

‎Mamanya menjawab "Udahlah pah, namanya juga anaknya lagi sedih!"

‎"Kamu terlalu larut dalam perasaan. Laki-laki itu nggak boleh lemah cuma karena cinta Adrian!"

‎"Kalau kamu terus-terusan menyendiri seperti ini, kamu gak akan pernah bisa move on. Masih banyak wanita lain diluar sana Adrian, Kamu pria yang mapan, seorang dokter dan pemilik rumah sakit. Jangan turunkan harga dirimu hanya karena seorang wanita!" Lanjut Pak Abraham

‎"Mas!"

‎"Iya ma bener kata papa, aku ga boleh jadi laki-laki pengecut yang melihatnya berada di pelaminan saja tidak sanggup"

‎----

‎Resepsi Malam

‎Malam hari, resepsi digelar megah di ballroom hotel bintang lima yang seluruh ruangannya disulap jadi taman kristal. Langit-langit dihiasi lampu gantung kristal menjuntai seperti hujan bintang. Bunga segar didatangkan langsung dari Belanda dan Jepang, membentuk instalasi indah di setiap sudut ruangan.

‎Meja prasmanan disusun seperti galeri seni—ada live cooking wagyu steak, seafood bar dengan lobster dan oyster segar, dessert table bernuansa gold dan champagne dengan macaron, tiramisu, dan croquembouche tinggi menjulang.

‎Para tamu hadir dengan glamor: para sosialita, model terkenal, influencer, dan rekan bisnis Yasa yang datang dari luar negeri. Musik jazz live dimainkan dengan lembut, menyatu dengan suara gelas kristal yang bersulang.

‎Yara dan Yasa berdiri di pelaminan, menerima ucapan selamat satu per satu. Senyum Yara manis tapi hambar. Seolah tubuhnya hadir di sana, tapi jiwanya sedang berlari entah ke mana

1
gathem Toro
sebenarnya Yasa itu dah cinta sama Yara cuma gengsi aja
Takagi Saya
Hats off untuk authornya, karya original dan kreatif!
Kaylin
Gak kepikiran sama sekali kalau cerita ini bakal sekeren ini!
Fujoshita UnUHastaloshuesos
Gak bisa move on! 😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!