Riana pikir kakaknya Liliana tidak akan pernah menyukai suaminya, Septian. Namun, kecurigaan demi kecurigaan membawanya pada fakta bahwa sang kakak mencintai Septian.
Tak ingin berebut cinta karena Septian sendiri sudah lama memendam Rasa pada Liliana dengan cara menikahinya. Riana akhirnya merelakan 5 tahun pernikahan dan pergi menjadi relawan di sorong.
"Kenapa aku harus berebut cinta yang tak mungkin menjadi milikku? Bagaimanapun aku bukan burung dalam sangkar, aku berhak bahagia." —Riana
Bagaimana kisah selanjutnya, akankah Riana menemukan cinta sejati diatas luka pernikahan yang ingin ia kubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Liliana menegang. Kenapa adiknya bisa langsung berpikir ke arah itu? Apa sikapnya selama ini terlalu jelas? Ia kira Riana akan tetap polos dan mudah dibohongi, tapi ternyata tidak.
"Riana! Kamu nuduh aku? Tega sekali," sungut Liliana, pura-pura tersinggung. Suaranya yang meninggi membuat Lira terbangun dan menangis. Liliana segera memanfaatkan situasi itu untuk beranjak pergi, meninggalkan Riana yang hanya terpaku dengan wajah penuh penyesalan.
"Apa aku keterlaluan?" gumam Riana lirih, menatap punggung kakaknya yang kian menjauh hingga akhirnya menghilang.
Kecurigaan yang sempat membuncah perlahan memudar, berganti rasa bersalah. Ia baru saja ingin mengejar Liliana, namun sosok dokter Alif muncul.
"Riana, ada apa?" tanyanya, menatap penuh selidik.
"Gak, Dok," jawab Riana singkat, menunduk.
Alif tersenyum miring mengamati wajah Riana. "Kamu tahu nggak, kalau lagi bohong wajahmu kelihatan tambah tua?" ledeknya, sambil menyodorkan satu cup cappuccino. "Nih, sesuai seleramu. Minum dulu."
Riana meraih gelas itu dengan tangan bergetar, mencoba menutupi kegugupannya dengan senyum tipis. Aroma kopi yang hangat menenangkan, tapi pikirannya tetap kacau.
"Terima kasih, Dok," ucapnya pelan.
Alif memperhatikan gerak-geriknya dengan tatapan yang terlalu jeli untuk dihindari. "Tadi aku lihat kakakmu buru-buru pergi. Kalian ribut?" tanyanya datar, meski jelas bernada ingin tahu.
Riana buru-buru menggeleng. "Enggak kok, cuma salah paham kecil."
"Riana..." suara Alif melembut, membuatnya spontan mengangkat wajah. Ada sesuatu di mata pria itu, seolah ia tahu lebih banyak daripada yang ditunjukkan. "Kamu terlalu gampang menyalahkan diri sendiri. Padahal aku yakin bukan kamu yang salah."
Ia sempat berhenti sejenak sebelum melanjutkan, "Ingat, sekarang banyak orang yang pandai memakai topeng, bahkan saudara sendiri. Jadi kalau ada pertengkaran atau kecurigaan, itu wajar. Yang penting, jangan sampai kamu kehilangan rasa hormat pada dirimu sendiri. Kebaikan terbaik adalah saat kita juga mampu menjaga diri kita."
Jantung Riana berdegup lebih cepat. Kata-kata itu seolah menyentuh sisi rapuhnya yang baru saja terguncang oleh sikap sang kakak. Ia ingin membantah, tapi lidahnya kelu.
"Dokter nggak tahu apa-apa," sahutnya lirih.
Alif hanya tersenyum tipis. "Dan aku juga nggak pernah bilang tahu semuanya. Aku cuma menyampaikan apa yang perlu aku sampaikan. Sekarang, minum dulu kopinya. Setelah itu masuk ke dalam, sebentar lagi proses seleksi dimulai."
"Terimakasih, Dok," ucap Riana berusaha tersenyum dan mencerna setiap kata yang diucapkan dokter Alif tadi.
***
Di sisi lain, setelah selesai berbicara dengan dokter Arun, Septian segera kembali ke ruang rawat sang ibu. Namun, di sana ia hanya mendapati Liliana yang sedang duduk di sisi ranjang, tampak begitu perhatian menemani ibunya. Pemandangan itu justru membuat dada Septian kian sesak. Di mana Riana? Benarkah istrinya sudah tak peduli lagi? Apakah sang istri memang sungguh-sungguh ingin bercerai?
"Tian, sudah kembali? Apa kata dokter?" tanya Liliana begitu menyadari kehadirannya. Lebih tepatnya, pura-pura menyadari, sebab sejak tadi ia memang memperhatikan setiap gerak-gerik Septian, sengaja menampilkan sikap penuh perhatian pada sang ibu.
"Kamu istirahat dulu, Lili. Dari semalam kamu sudah ikut menjaga ibu, ditambah lagi mengurus Lira. Pasti lelah," ucap Septian, meski matanya justru sibuk melirik ke sekeliling, jelas mencari sosok yang tak ada di sana.
Liliana menahan senyum tipis. Ia tahu persis siapa yang tengah dicari lelaki itu. Hal itu tentu membuat Liliana kesal karena bukan ia yang mendapat perhatian dari Septian dan untuk memperkeruh suasana, Liliana dengan hati-hati berkata, "Riana tadi masih bersama lelaki itu, em... siapa namanya? Oh, dokter Alif. Katanya ada urusan. Tapi aku jadi bingung, Tian... kenapa ia bisa seperti itu, ya? Apa benar kamu memang berniat bercerai?"
Septian mengepalkan tangannya erat, pertanyaan Liliana barusan seperti api yang membakar dadanya. Namun, ia berusaha menahan diri agar tidak meledak. Dengan nada menegaskan, ia berkata, "Tentu saja tidak! Kamu tahu sendiri adikmu itu… dia hanya ingin aku lebih perhatian, makanya betingkah seperti ini. Lili, tenang saja. Aku sudah berjanji untuk menjaga Riana, dan aku akan menepatinya."
Liliana menggigit bibir bagian dalamnya, menahan gejolak perasaan. Ingatannya melayang pada masa lalu, saat Septian bersikeras menikahi Riana. Ia dulu menolak, tapi luluh setelah mendengar janji Septian yang terdengar begitu tulus, ia berjanji akan menjaga Riana, tak akan meninggalkannya. Kini, Liliana justru menyesali kelemahannya sendiri. Mengapa dulu ia harus menyerahkan pria seperti Septian kepada adiknya?
"Tian, kamu memang lelaki baik," ucap Liliana pelan, seolah getir menyelinap di balik senyum tipisnya. "Maafkan adikku, ya. Dia memang keras kepala. Semoga kalian cepat membaik, jangan terus-terusan perang dingin begitu. Dan… aku sudah memikirkan semuanya. Aku akan pindah dari rumahmu."
Septian sontak menegang. Ucapan itu bagai hantaman mendadak. Kenapa semuanya jadi kacau seperti ini? Panik, ia segera mendekat, menggenggam kedua tangan Liliana seakan takut kehilangan, suaranya tergesa-gesa saat berbicara, "Lili, kenapa kamu harus mengambil keputusan seperti itu? Selama dua bulan ini semuanya baik-baik saja saat kita tinggal bersama. Aku bisa menjaga kalian berdua, jadi jangan pergi. Lagi pula… adikmu juga pasti sangat mengkhawatirkan kamu."
Liliana menatap tangan Septian yang menggenggamnya, ada getaran hangat yang dulu sempat ia dambakan. Namun, kali ini ia menunduk, menyembunyikan senyum samar yang tak pantas terlihat. Ia menarik napas panjang, seolah berusaha menenangkan diri.
"Tian… jangan seperti ini," bisiknya lirih, suaranya bergetar seakan-akan penuh luka. "Aku hanya takut jadi penghalang di antara kalian. Bagaimanapun juga, aku bukan siapa-siapa. Kehadiran aku di rumahmu hanya akan membuat Riana semakin membenciku… dan mungkin juga membencimu."
Kalimat itu menancap tajam di hati Septian. Dadanya terasa sesak. Ia tahu Riana memang sering salah paham, keras kepala, dan dingin belakangan ini. Tapi mendengar Liliana berbicara seperti orang yang bersalah justru membuat pikirannya semakin kacau.
"Lili, jangan pernah bilang begitu," ucap Septian, matanya menatap lekat pada wajah Liliana. "Kamu sudah seperti keluarga sendiri. Kita ini keluarga jadi jangan pergi, ok?!"
Liliana mengangkat pandangan, mata berkaca-kaca seolah menahan tangis. Ia tersenyum getir, memainkan peran korban dengan sangat halus. "Kamu terlalu baik, Tian. Tapi justru karena itu… aku makin merasa bersalah. Kalau suatu hari Riana tahu betapa aku sering merepotkanmu, bagaimana? Karena bagaimanapun tidak ada istri yang senang melihat kedekatan suaminya dengan wanita lain meskipun itu saudara sendiri."
Septian terdiam. Jemarinya semakin menguatkan genggaman, hatinya benar-benar terombang-ambing. Dalam batinnya, ia bertanya-tanya, apa sebenarnya yang ia inginkan? Selama lima tahun ini, Riana selalu memberinya cinta yang tulus, meski sering kali ia acuhkan, wanita itu tetap bertahan di sisinya, dalam suka maupun duka. Namun, di sisi lain, ada Liliana… rasa yang tak pernah benar-benar padam kini kembali membara, apalagi ketika wanita itu berada tepat di hadapannya.
Dadanya terasa sesak. Jujur saja, ia merasa seperti bajingan. Ia tidak sanggup memilih maupun melepaskan keduanya. Dan saat pikiran itu mencekiknya, suara familiar tiba-tiba terdengar.