Not Love, But Marriage
Ameena Nayara Atmaja—atau yang lebih sering dipanggil Yara—adalah sosok perempuan berusia dua puluh enam tahun dengan tatapan tenang yang menyimpan begitu banyak luka. Ia seorang dokter muda yang kini tinggal seorang diri di sebuah apartemen kecil di pusat kota. Kehidupan yang ia jalani mungkin terlihat stabil dari luar, namun semua itu lahir dari kelelahan panjang yang tak terlihat mata.
Sejak kecil, ia hidup di bawah aturan ketat sang ayah—seorang pria egois yang menuntut semua keinginannya dipenuhi. Yara dipaksa untuk terus belajar dan tidak diperbolehkan bermain bersama teman-temannya. Masa remajanya, terutama saat SMA, terasa hambar dan penuh tekanan.
Meskipun ayahnya memiliki penghasilan di atas rata-rata, ia adalah seorang penjudi. Keuangan keluarga berantakan, dan Yara harus mengumpulkan uang selama berminggu-minggu hanya untuk sekadar bermain bersama teman-temannya. Tidak ada yang bisa menghentikan sifat buruk sang ayah. Bahkan ibunya sendiri sering dimaki dan diperlakukan kasar, namun tidak mampu berbuat apa-apa.
Saat Yara duduk di awal kelas 12, ibunya meninggal dunia. Tak lama setelah itu, sang ayah menikah lagi dengan seorang wanita yang membawa dua anak dari pernikahan sebelumnya.
-------
Pagi di Jakarta selalu sibuk. Tapi bagi Yara, sibuk adalah hal yang ia cari—karena hanya dengan sibuk, pikirannya tidak sempat kembali pada masa lalu.
Jam lima pagi, apartemennya sudah terang. Ia memulai rutinitas paginya dengan sehat, mulai dari olahraga kecil seperti stretching dan workout dengan musik kesukaannya, kemudian di dapur kecil itu, ia membuat sarapan sehat dan seadanya, telur dan beberapa sayur rebus, ditemani secangkir teh hangat, yara benar-benar memperhatikan kesehatannya. Setelah mandi dan mengenakan jas dokternya yang sudah disetrika semalam, Yara merapikan rambut, mengambil kunci mobil, dan melangkah keluar.
Mobil merah miliknya meluncur menyusuri jalan yang perlahan mulai dipenuhi kendaraan. Hening di dalam kabin mobil adalah satu-satunya waktu dia bisa bernapas sebentar sebelum kembali ke dunia yang menuntut ketepatan, kesigapan, dan kesabaran. Dunia ruang bedah.
Sesampainya di rumah sakit, Yara menyapa satu per satu rekan kerja yang ia lewati. “Pagi, Dok Yara!” sapa seorang perawat yang baru keluar dari ruang ICU.
“Pagi juga, Sinta,” jawabnya sambil tersenyum tipis.
Langkahnya cepat menuju ruang briefing. Beberapa dokter lain sudah berkumpul, termasuk Revinna Kiara—putri direktur rumah sakit yang selalu tampak sempurna dari luar. Dengan make-up tipis, senyum diplomatis, dan gaya angkuh yang tak pernah hilang.
Ruang operasi pagi itu terasa dingin dan steril, seperti biasa. Aroma khas disinfektan memenuhi udara, bercampur dengan ketegangan yang tak terlihat tapi begitu terasa. Lampu sorot di atas meja operasi menyala terang, memusatkan cahaya pada tubuh pasien yang telah dibius total. Deretan instrumen bedah berjajar rapi di atas nampan logam: pisau bedah, klem, gunting, benang jahit, jarum, dan alat-alat lainnya yang mengkilap tertimpa cahaya.
Nayara berdiri di sisi meja operasi, tangan bersarung karet dan wajah tertutup masker. Hanya matanya yang terlihat—sinar matanya tajam, penuh konsentrasi. Di balik tenangnya tatapan itu, ada detak jantung yang berdetak lebih cepat dari biasanya.
Ini bukan pertama kalinya ia memimpin operasi. Tapi setiap kali memasuki ruangan ini, ada rasa gentar yang datang menghampiri. Bukan karena ia tak percaya diri, tapi karena ia tahu—satu kesalahan kecil bisa merenggut nyawa. Dan hari itu, pasien di hadapannya adalah seorang anak perempuan berusia sembilan tahun, dengan kelainan jantung bawaan. Operasi ini rumit, dan Nayara tahu resikonya tinggi.
“Pisau bedah,” ucapnya pelan namun tegas.
Perawat menyerahkan alat yang diminta. Pisau itu terasa ringan, tapi tanggung jawab yang datang bersamanya begitu berat. Nayara menarik napas dalam-dalam sebelum menggoreskan sayatan pertama. Seketika ruangan menjadi senyap. Detik demi detik berjalan lambat. Monitor detak jantung berbunyi ritmis, menjadi satu-satunya suara yang mengiringi setiap gerakan tangannya.
Ia bisa merasakan keringat menetes dari pelipisnya meski suhu ruangan dingin. Tangan kirinya menahan jaringan, tangan kanannya bekerja dengan cekatan. Di luar, dunia seolah berhenti. Hanya ada dia, pasien, dan tim medis yang mempercayakan nyawa seorang anak pada tangannya.
Tegangan di ruang operasi bukan sekadar tekanan, tapi juga sebuah kehormatan. Di sinilah Nayara Nayara Atmaja menaruh seluruh kemampuannya, pengorbanannya, dan seluruh hidupnya—untuk menyelamatkan nyawa.
Dalam dua jam, operasi selesai dengan sempurna.
Namun, begitu keluar dari ruang bedah, dunia tak sesederhana laporan medis.
To Be continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
Fujoshita UnUHastaloshuesos
Gak bisa move on! 😍
2025-05-01
0