Ia ditemukan di tengah hujan, hampir mati, dan seharusnya hanya menjadi satu keputusan singkat dalam hidup seorang pria berkuasa.
Namun Wang Hao Yu tidak pernah benar-benar melepaskan Yun Qi.
Diadopsi secara diam-diam, dibesarkan dalam kemewahan yang dingin, Yun Qi tumbuh dengan satu keyakinan: pria itu hanyalah pelindungnya. Kakaknya. Penyelamatnya.
Sampai ia dewasa… dan tatapan itu berubah.
Kebebasan yang Yun Qi rasakan di dunia luar ternyata selalu berada dalam jangkauan pengawasan. Setiap langkahnya tercatat. Setiap pilihannya diamati. Dan ketika ia mulai jatuh cinta pada orang lain, sesuatu dalam diri Hao Yu perlahan retak.
Ini bukan kisah cinta yang bersih.
Ini tentang perlindungan yang terlalu dalam, perhatian yang berubah menjadi obsesi, dan perasaan terlarang yang tumbuh tanpa izin.
Karena bagi Hao Yu, Yun Qi bukan hanya masa lalu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon frj_nyt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25
Malam itu, Wang Hao Yu tidak langsung pulang. Mobil berhenti di depan gedung apartemen lamanya yang dulu ia pilih karena lokasinya dekat dengan pusat kota dan jauh dari hiruk pikuk. Lampu-lampu unit lain menyala seperti kebiasaan lama yang tidak pernah benar-benar berubah. Ia turun, berdiri sebentar di trotoar, menatap ke atas tanpa tujuan pasti. Tangannya masuk ke saku jas, rahangnya mengeras.
Yun Qi sudah besar. Kalimat itu berputar di kepalanya sejak sore. Bukan sebagai fakta biasa, melainkan seperti sesuatu yang mengetuk dari dalam—pelan, berulang, mengganggu ritme yang selama ini rapi. Ia masuk ke lobi, naik ke lantai paling atas. Begitu pintu apartemen terbuka, keheningan menyambut. Ruangan itu bersih, dingin, terawat terlalu teratur untuk seseorang yang malam ini pikirannya berantakan.
Hao Yu melepas jas, menggantungnya rapi, lalu berdiri di depan jendela besar. Kota membentang, lampu-lampu seperti denyut nadi. Ia biasanya menyukai pemandangan ini. Memberinya rasa kendali.
Malam ini, tidak. Ia mengambil ponsel. Layar menyala. Nama Yun Qi ada di sana kontak lama yang tidak pernah ia hapus. Jarinya berhenti di atas layar, ragu. Ia tidak menekan apa pun. Ia tahu, jika ia menelepon sekarang, suaranya akan terdengar terlalu jujur. Dan kejujuran bukan sesuatu yang ia izinkan keluar dengan mudah.
Di sisi lain kota, Yun Qi duduk di ranjang asrama, punggungnya bersandar ke dinding. Lampu meja menyala redup. An Na dan Xiao Lan dua teman sekamarnya sedang berceloteh pelan di meja belajar, membahas tugas dan gosip kampus. Yun Qi tidak ikut. Ia memeluk bantal, menatap kosong.
Bayangan mobil hitam itu masih jelas di kepalanya. Cara Hao Yu berdiri. Cara matanya menatap bukan seperti dulu. Ada jeda aneh, seolah ia sedang menimbang sesuatu yang tidak seharusnya ia pikirkan. “Qi,” panggil An Na, menoleh. “Kamu kenapa? Dari tadi diem.” Yun Qi tersentak kecil. “Hah? Nggak apa-apa.”
Anya memutar kursinya. “Kamu ketemu siapa tadi sore? Chen Rui kelihatan aneh pas balik.” Yun Qi menggigit bibir, ragu. “Aku… ketemu Gege ku.”
“Kakak?” Mei Ling mendekat. “Kakak kandung?”
“Bukan,” jawab Yun Qi cepat. “Dia… orang yang dulu ngerawat aku.” Xiao Lan menaikkan alis. “Berarti orang penting.”
Yun Qi mengangguk. Penting. Kata itu terlalu sederhana untuk menggambarkan perasaan yang berlapis-lapis di dadanya. Ia ingin berkata bahwa orang itu adalah rumah, pagar, dan bayangan yang selalu mengikutinya dari kejauhan. Tapi ia hanya tersenyum kecil. “Dia… CEO itu?” tanya An Na pelan, seolah menyadari sesuatu.
Yun Qi terdiam. Ia tidak menyangkal. An Na bersiul pelan. “Pantesan. Aura nya beda, ya?” Yun Qi tidak menjawab. Ia kembali memeluk bantal, berusaha menenangkan detak jantung yang tiba-tiba terlalu cepat.
Pagi berikutnya, Hao Yu bangun lebih awal dari biasanya. Ia sudah berpakaian rapi sebelum matahari benar-benar naik. Di meja makan, kopi dibiarkan mendingin. Ia membuka laptop, menatap laporan-laporan yang menumpuk angka, grafik, keputusan. Semua terasa biasa. Terlalu biasa. Ponselnya bergetar. Pesan dari Lin Zhe.
Lin Zhe: Media sudah tenang. Keluarga minta makan malam akhir pekan ini. Soal tunangan—
Hao Yu menghentikan pesan itu dengan satu sentuhan. Ia berdiri, mengambil kunci mobil. “Aku keluar,” katanya pada ruang kosong.
Di kampus, Yun Qi berjalan menuju gedung fakultas dengan langkah tergesa. Pikirannya masih kacau. Ia mencoba fokus pada jadwal kelas siang, diskusi sore. Namun setiap suara mobil hitam lewat, dadanya refleks menegang. Ia tidak menyadari bahwa dari seberang jalan, sebuah mobil berhenti lebih lama dari seharusnya.
Hao Yu duduk di kursi belakang, jendela setengah terbuka. Ia melihat Yun Qi berjalan tas selempang di bahu, rambutnya diikat rendah. Ia terlihat… hidup. Mandiri. Bukan anak kecil yang dulu menunggunya pulang dengan mata mengantuk. “Pastikan tidak ada yang mengganggunya,” katanya pada sopir.
“Baik, Tuan.” Mobil bergerak lagi. Hao Yu memejamkan mata, menarik napas panjang. Ini tidak seharusnya terasa seperti ini. Ia datang untuk memastikan, bukan untuk terlibat. Ia selalu menempatkan batas. Selalu. Namun batas itu, entah sejak kapan, mulai kabur.
Sore hari, Yun Qi keluar dari kelas terakhirnya. Chen Rui sudah menunggu di bawah pohon besar dekat gedung. Ia melambaikan tangan, senyum lebar seperti biasa. “Kamu sibuk malam ini?” tanyanya begitu Yun Qi mendekat. Yun Qi ragu. “Kenapa?”
“Ada film baru. Kita nonton?” Ia hendak menjawab ketika ponselnya bergetar. Nama Hao Yu muncul. Jantungnya melonjak. “Qi?” Chen Rui memperhatikan. “Siapa?”nYun Qi menelan ludah. “Gege-ku.” ia mengangkat telepon, menjauh beberapa langkah. “Halo?”
“Kamu di mana?” suara Hao Yu terdengar rendah, tenang terlalu tenang. “Di kampus.”
“Pulang jam berapa?” Yun Qi terdiam. “Aku… mungkin malam.” Hao Yu tidak langsung menjawab. Ada jeda yang membuat Yun Qi menggenggam ponsel lebih erat. “Hati-hati,” katanya akhirnya.
Telepon terputus. Yun Qi berdiri terpaku. Kata itu hati-hati terdengar seperti biasa. Namun ada sesuatu di baliknya yang membuat tengkuknya merinding. Chen Rui mendekat. “Gege kamu cerewet ya.” Yun Qi tersenyum kecil, tapi matanya tidak sepenuhnya hadir. “Dia selalu begitu.”bMereka berjalan menuju halte. Chen Rui bercerita tentang film, tentang rencana liburan. Yun Qi mengangguk, tertawa di tempat yang tepat. Namun pikirannya kembali pada suara itu, pada jeda itu.
Malam datang, membawa dingin tipis. Yun Qi kembali ke asrama lebih awal dari rencana. Ia tidak punya selera menonton. Di kamar, ia berganti pakaian, lalu duduk di meja, membuka buku tidak membaca. Ponselnya bergetar lagi. Pesan.
Hao Yu: Besok, makan malam denganku. Jam tujuh. Aku jemput.
Yun Qi menatap layar lama. Jari-jarinya dingin.
Yun Qi: Ge… kenapa?
Balasan datang cepat.
Hao Yu: Kita perlu bicara.
Kata-kata itu membuat perutnya bergejolak. Ia ingin menolak, ingin bertanya lebih jauh. Namun ada bagian dari dirinya bagian lama yang selalu menurut yang akhirnya mengetik:
Yun Qi: Baik.
Ia meletakkan ponsel, menghela napas panjang. Di cermin kecil di meja, ia melihat wajahnya sendiri. Ada bayangan cemas di sana. Dan… sesuatu yang lain. Sesuatu yang ia tidak berani beri nama.
Di apartemennya, Hao Yu berdiri di depan cermin besar. Ia melonggarkan dasi, menatap pantulan dirinya sendiri. Wajah itu sama seperti yang dikenal media dingin, berwibawa. Namun di balik mata itu, ada gejolak yang tidak ia izinkan siapa pun lihat. Ia teringat cara Yun Qi memandangnya sore itu. Cara bahunya menegang. Cara ia memanggilnya Gege kata yang seharusnya menjadi pengingat batas, tapi justru terasa seperti ujian. “Aku kehilangan kendali,” gumamnya pelan.
Ia tahu ini salah. Ia tahu perasaan ini datang terlalu cepat, terlalu tidak pantas. Namun menolak mengakuinya tidak membuatnya hilang. Justru sebaliknya ia tumbuh dalam diam. Hao Yu mengambil ponsel, membuka foto lama Yun Qi kecil, tertidur di sofa, rambutnya berantakan. Ia menutup layar cepat-cepat, seolah tertangkap basah oleh dirinya sendiri. “Besok,” katanya tegas. “Aku akan menjelaskannya.” Entah pada Yun Qi, atau pada dirinya sendiri.
Malam itu, dua orang di dua tempat berbeda terjaga lebih lama dari biasanya. Kota terus berdenyut di luar jendela. Dan di antara jarak yang tersisa, perasaan asing itu tumbuh tanpa izin, tanpa rencana. Sesuatu telah berubah. Dan tak satu pun dari mereka benar-benar siap menghadapi apa yang akan datang.