Kirana harus menerima kenyataan bahwa calon suaminya meninggalkannya dua minggu sebelum pernikahan dan memilih menikah dengan adik tirinya.
Kalut dengan semua rencana pernikahan yang telah rampung, Kirana nekat menjadikan, Samudera, pembalap jalanan yang ternyata mahasiswanya sebagai suami pengganti.
Pernikahan dilakukan dengan syarat tak ada kontak fisik dan berpisah setelah enam bulan pernikahan. Bagaimana jadinya jika pada akhirnya mereka memiliki perasaan, apakah akan tetap berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Delapan
Saat istirahat siang, Kirana ke kantin sendirian. Ia duduk di pojok sambil makan nasi pecel. Kantin cukup ramai dengan mahasiswa yang tertawa, ribut, dan membicarakan tugas.
Ia sudah hampir selesai ketika suara berisik muncul dari pintu kantin.
“Sam! Duduk sini! Ayo, bro!”
“Jangan di situ, anginnya kenceng!”
“Kamera jangan taruh sembarangan!”
Kirana menoleh. Dan benar saja, Samudera masuk bersama dua temannya. Ransel besar masih menempel di punggungnya. Ia mencari tempat duduk, lalu matanya bertemu mata Kirana.
Kirana cepat-cepat menunduk. Berdoa Sam tidak melihat. Berdoa Sam tidak memanggil namanya. Tapi sepertinya keadaan belum berpihak padanya, ia mendengar namanya di panggil.
“Mbak Kirana!”
Terlambat bersembunyi. Pemuda itu telah melihat kehadirannya. Dalam hati Kirana berkata, kenapa dia baru bertemu dan menyadari kehadiran Samudera saat ini, padahal selama ini mereka satu kampus.
Sam mendekat sambil tersenyum lebar. "Mbak Kirana makan sendirian?”
Kirana menatap piringnya, dia tampak malu. “Iya.”
“Kenapa nggak bilang? Aku bisa nemenin.”
“Sam .…” Kirana memijat pelipis. “Kamu itu mahasiswa. Pergi makan sama teman-teman kamu.”
“Bisa dua-duanya,” balas Samudera ringan.
Namun, sebelum kejadian yang tidak diinginkan terjadi lagi, seperti Sam pindah duduk ke meja Kirana, teman-temannya memanggil.
“Sam! Ayo, kelas lanjut!”
Sam mengangguk, lalu kembali menatap Kirana. “Aku pergi dulu.”
“Oke.”
Sam sempat menambahkan satu kalimat pendek sebelum benar-benar berbalik.
“Mbak Kirana.”
“Hm?”
“Seneng bisa ketemu kamu di kampus.”
Kirana terdiam. Jantungnya seperti berhenti berdetak.
Sam mendongak sedikit, memberi senyum tipis, lalu pergi bersama teman-temannya. Kirana memandang punggungnya yang menjauh.
Perasaannya campur aduk, bingung, lega, hangat, takut, tapi juga, entah kenapa tidak se-sepi kemarin.
Kampus mulai sedikit lengang ketika jam kuliah sore selesai. Matahari sudah menurun, warnanya oranye pucat, memantul di kaca gedung fakultas dan membuat bayangan panjang di trotoar.
Kirana baru keluar dari ruang administrasi, menenteng map tebal yang harus ia setor ke bagian akademik. Langkahnya pelan, bahunya pegal, tapi hatinya lumayan ringan. Mungkin karena pesan iseng Samudera sepanjang hari, mungkin karena ia hari ini tidak merasa sendirian seperti biasanya.
Di tengah jalan menuju gedung akademik, Kirana berhenti sebentar untuk mengatur napas.
Dan seolah semesta memang hobi mempertemukan mereka. Lagi-lagi dia bertemu dengan Samudera
“Mbak Kirana!”
Suara itu terdengar seperti ban motor yang berhenti mendadak karena kaget melihat kucing nyelonong. Kirana spontan menoleh. Dan melihat Samudera sedang berlari.
Lari beneran. Kayak atlet. Tapi versi yang rambutnya acak-acakan dan ranselnya memantul-mantul kayak bayi kangguru.
Kirana sempat refleks mundur satu langkah. “Sam?! Kamu kenapa lari ...?”
“Tunggu aku tarik nafas bentar .…” Samudera mencondongkan tubuh, satu tangan menyangga lutut, yang satu lagi mengangkat jari telunjuk seperti meminta waktu time-out.
Kirana mengerjap. “Kenapa sih kamu?”
Sam mengatur napas, lalu berdiri tegak. Dan entah kenapa, ekspresinya seperti menemukan harta karun.
“Aku sengaja nyari Mbak,” ucap Samudera selanjutnya.
Kirana menaikkan alis. “Buat apa?”
“Buat .…” Samudera menepuk ranselnya. “Aku mau ngasih ini.”
Ia mengaduk-aduk isi tasnya. Mengaduk beneran. Sampai-sampai Kirana yakin kalau di dalam tas itu bukan buku kuliah, tapi laci dapur. Karena tak tampak buku di dalamnya.
Kirana memeluk mapnya. “Sam, kamu ngapain sih ....”
“Aha!” Sam akhirnya menemukan sesuatu. Ia mengangkatnya seperti piala.
Ternyata itu sebuah kue bolu mini dalam plastik transparan.
Kirana berkedip. “Kue ini ...?”
“Bukan sembarang kue.” Samudera mengacungkan jari. “Ini bolu paling enak di kantin fakultas seni. Tadi aku beli dua. Satu buat aku, satu buat kamu.”
Kirana menatapnya lama. "Dan kamu lari sepanjang koridor cuma buat ngasih aku bolu?”
Samudera mengangguk mantap. “Iya.”
Kirana menghela napas pelan, setengah tidak percaya. “Sam, kamu bisa aja kasih besok, atau pas ketemu di luar. Kenapa harus lari-lari?”
Samudera mengangkat bahu. “Takut keburu basi.”
“Sam … ini bolu. Baru dua jam lalu kamu beli. Masih bisa tahan hingga tiga hari.”
“Ya tapi kan .…” Samudera mundur setengah langkah, menatapnya lebih serius. “Mbak Kirana kayak butuh yang manis-manis hari ini. Agar harinya tetap ceria dan bisa lupakan hal buruk yang terjadi!"
Kirana terdiam. Kalimat itu masuk terlalu lancar. Terdengar terlalu tulus. Dan entah kenapa, membuat dada Kirana merasa aneh. Hangat dan tentram.Tapi sekaligus deg-degan dan ingin memegang kursi demi keseimbangan.
Kirana mencoba mengunci ekspresi agar tetap normal. “Aku tidak butuh hal manis, Sam.”
Sam menyeringai. “Tapi kamu harus makan ini.”
“Sam ....”
“Ayolah, aku beliin dengan susah payah. Harus kamu makan.” Ia menyodorkannya dengan dua tangan, seolah menawarkan sesaji pada dewa gunung.
Kirana akhirnya mengambilnya. “Terima kasih, Sam.”
Samudera tersenyum. Senyum lebar. Seperti anak kecil yang baru mendapatkan mainan baru.
Lalu ia tiba-tiba bertanya, “Mbak, mau aku anter pulang gak?”
Kirana mendelik. “Sam, aku naik bus kampus.”
“Ya, aku tau. Tapi aku bisa ikut busnya, terus turun di halte kamu, terus aku ....”
“Sam.”
“Hm?”
“Kamu kuliah keras-keras, bayar mahal-mahal .…” Kirana menatapnya miring. "Bukan buat jadi bodyguard aku'kan?”
Sam langsung berdiri tegap. “Kalau perlu, aku bersedia.”
Kirana hampir tersedak mendengar jawaban pemuda itu. “Samudera!”
“Kenapa?” Samudera tampak serius. “Aku kan bilang aku gak mau kamu kenapa-kenapa.”
“Tapi kamu itu mahasiswa. Harusnya fokus kuliah.”
Samudera mendekat setengah langkah. “Terus kamu gimana, Mbak?”
Kirana buru-buru memalingkan pandangan. “Aku baik-baik saja, Sam. Aku masih bisa jaga diri.”
Samudera menghela napas. “Kalau kamu butuh ditemani pulang, bilang ya.”
“Tidak.”
“Kalau kamu butuh ngeluh soal keluarga kamu, bilang ya.”
“Tidak.”
“Kalau kamu butuh pinjam buku, bilang ya.”
“Sam!”
“Kalau kamu butuh ....”
“Sam!”
Samudera langsung diam. Tapi matanya masih berbinar.
Kirana menggenggam bolu mini itu lebih erat. “Terima kasih kuenya. Sekarang pergi sana, pulang. Istirahat. Kamu terlihat kayak baru lari marathon.”
Sam melirik bajunya sendiri, yang memang basah sedikit di bagian dada karena keringat. Ia mengangguk pasrah. “Oke, oke. Aku pulang.”
Tapi sebelum ia pergi, ia kembali menatap Kirana. Kali ini lebih pelan, lebih lembut.
“Tapi serius, Mbak Kirana .…” Ia mencondongkan sedikit wajahnya.
"Seneng liat kamu hari ini, Mbak.”
Kirana berhenti bernapas satu detik mendengar ucapan Samudera. Lalu Sam mengangkat tangan, ngasih peace sign, sambil berkata, “Jangan lupa makan bolu itu ya. Jangan cuman hanya diliat sampai basi. Jangan bikin aku nangis.”
Dan setelah itu Samudera pergi. Dengan langkah besar-besar. Masih sambil kipas-kipas baju karena kegerahan. Kirana memandangi punggungnya yang menjauh.
Lalu ia menunduk menatap bolu kecil di tangannya dan tiba-tiba tertawa kecil sendiri. Tak pernah membayangkan akan dekat dengan remaja puber seperti Samudera.
“Anak aneh,” gumam Kirana pada dirinya sendiri.
Tapi senyumnya muncul. Senyum manis yang bahkan ia sendiri lupa kapan terakhir kali muncul diwajahnya.
jatuh cinta .wa ea aa
ditunggu lanjutannya
mami pikirannya udah menjurus kesana🤭