HARGA SEBUAH KESETIAAN
100% diambil dari kisah nyata
Dewanga hanya ingin diterima. Setelah ditolak berkali-kali karena miskin, ia menikahi Tini—janda delapan tahun lebih tua—dengan harapan menemukan pelabuhan. Yang ia dapat adalah badai tanpa henti. Enam tahun pernikahan menjadi neraka: bentakan setiap hari, hinaan di meja makan, ancaman diusir dari rumah yang bukan miliknya.
Ia terperangkap. Ingin pergi, tapi Aini—putri kecilnya—adalah satu-satunya cahaya dalam kegelapan. Ketika cinta berubah menjadi penjara, dan kesetiaan menjadi racun, Dewanga harus memilih: bertahan hingga hancur, atau berani menyelamatkan dirinya dan anaknya.
Sebuah kisah yang memilukan tentang cinta yang salah, kesetiaan yang keliru, dan keberanian untuk memilih hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3: Putus Sekolah
#
Tiga bulan setelah kematian ayahnya, Dewanga duduk di teras rumah sederhana mereka yang mulai terlihat semakin kumuh. Cat dinding mengelupas. Genteng bocor di beberapa tempat. Halaman depan dipenuhi rumput liar yang tak sempat dipotong.
Di tangannya, selembar kertas putih—surat tagihan SPP yang sudah tertunggak tiga bulan.
Ia menatap kertas itu dengan pandangan kosong. Dadanya sesak. Tenggorokannya tercekat.
Dari dalam rumah, terdengar suara Rini yang batuk-batuk—batuk kering yang sudah berlangsung berminggu-minggu. Ibunya tidak mau berobat. "Nanti sembuh sendiri, Dewa. Uangnya buat kalian sekolah aja," katanya selalu.
Dewanga menutup mata, menahan air mata yang sudah menggenang.
***
Sejak Pak Sentanu meninggal, segalanya runtuh.
Warung nasi yang menjadi sumber penghasilan utama keluarga mereka tidak lagi bisa berjalan. Rini mencoba melanjutkannya sendirian, tapi tubuhnya tidak sekuat dulu. Ia sering sakit. Sering terbatuk-batuk. Sering pusing hingga tidak bisa berdiri.
Gerobak warung yang biasa diparkir di emperan jalan raya kini tergeletak begitu saja di samping rumah, terpal plastiknya robek, rodanya berkarat.
"Ibu sudah coba, Dewa. Tapi Ibu gak kuat. Maafin Ibu..." Rini menangis saat mengakui kegagalannya di hadapan anak sulungnya.
Dewanga tidak bisa menyalahkan ibunya. Ia melihat sendiri bagaimana Rini berjuang—bangun pagi, memasak, mendorong gerobak sendirian, melayani pembeli dengan tubuh yang gemetar. Tapi semuanya sia-sia.
Pembeli mulai berkurang. Banyak yang beralih ke warung lain yang lebih lengkap, lebih bersih. Penghasilan warung anjlok drastis. Utang mulai menumpuk—utang bahan makanan ke pedagang sayur, utang gas ke toko, utang uang sekolah anak-anak.
Dan yang paling menyakitkan: usaha peninggalan ayahnya yang dibangun dengan darah dan keringat selama bertahun-tahun... bangkrut.
Gerobak dijual murah untuk bayar sebagian utang. Peralatan masak dijual. Bahkan lemari kayu tua di rumah mereka ikut dijual.
Tapi semua itu masih belum cukup.
***
Dewanga masuk ke dalam rumah. Rini sedang duduk di dapur, menatap kosong kompor gas yang sudah habis isinya. Di depannya, hanya ada sebutir bawang merah dan segenggam beras yang tersisa.
"Bu..." Dewanga duduk di sebelah ibunya.
Rini menoleh, berusaha tersenyum. Tapi senyum itu rapuh, penuh kepedihan.
"Dewa, kamu udah makan?" tanya Rini dengan suara serak.
"Udah, Bu. Di sekolah tadi." Dewanga berbohong. Ia tidak makan sejak kemarin sore. Perutnya keroncongan, tapi ia tidak mau membuat ibunya sedih.
"Syukurlah..." Rini menghela napas lega.
Hening.
Dewanga merogoh saku, mengeluarkan surat tagihan SPP. Ia meletakkannya di lantai, di antara dirinya dan ibunya.
Rini menatap surat itu. Wajahnya pucat. Tangannya gemetar.
"Dewa... Ibu..." Suara Rini pecah. "Ibu gak punya uang, Nak. Ibu gak bisa bayar ini..."
"Ibu, gak apa-apa." Dewanga berusaha terdengar tegar, meski hatinya hancur. "Dewa bisa kerja. Dewa cari uang sendiri."
"Tapi sekolah kamu—"
"Sekolah bisa nanti, Bu. Sekarang yang penting kita makan dulu. Agung masih kecil, dia harus sekolah. Dewa udah kelas 2 SMA, udah gede. Dewa bisa kerja."
"Dewa..." Rini menangis. Ia meraih tangan anaknya, mencengkramnya erat. "Maafin Ibu, Nak. Maafin Ibu gak bisa kasih kalian kehidupan yang layak. Maafin Ibu gak sekuat Ayah kalian..."
Dewanga memeluk ibunya. Menangis dalam diam.
"Ibu udah kuat, Bu. Ibu udah berjuang. Sekarang giliran Dewa yang berjuang."
***
Keesokan harinya, Dewanga pergi ke sekolah untuk mengurus surat pindah.
Tidak ada surat pindah yang sebenarnya. Ia hanya bilang pada guru BK bahwa ia harus berhenti sekolah karena alasan ekonomi.
"Dewa, kamu anak yang pintar. Sayang banget kalau kamu berhenti sekolah sekarang. Sebentar lagi kamu kelas 3, tinggal satu tahun lagi lulus," kata Bu Retno, guru BK-nya, dengan nada sedih.
"Ibu, saya gak punya pilihan. Ibu saya sakit. Adik saya masih SD. Kalau saya gak kerja, kami gak makan."
Bu Retno terdiam. Ia tahu kondisi ekonomi Dewanga. Ia tahu perjuangan anak itu.
"Kalau ada yang bisa Ibu bantu—"
"Sudah cukup, Bu. Terima kasih sudah ngajarin saya selama ini." Dewanga membungkuk hormat, lalu berbalik pergi.
Ia berjalan keluar dari gerbang sekolah untuk terakhir kalinya.
Teman-temannya melambaikan tangan dari kejauhan. Beberapa ada yang menangis—mereka tahu Dewanga tidak akan kembali lagi.
Dewanga tidak menoleh. Ia terus berjalan, meski air matanya mengalir deras.
***
Sore itu, Dewanga pergi ke proyek bangunan tempat ayahnya dulu bekerja.
Pak Gunawan, mandor proyek, masih mengingatnya.
"Dewa? Kamu udah gede ya, Nak. Gimana kabar Ibu?" tanya Pak Gunawan.
"Ibu baik, Pak. Pak, saya... saya mau nanya. Apakah saya bisa kerja di sini? Jadi kuli bangunan. Seperti Ayah dulu."
Pak Gunawan terdiam. Ia menatap Dewanga—anak muda berusia 17 tahun, tubuhnya kurus, wajahnya pucat, tapi matanya penuh tekad.
"Dewa, kamu masih sekolah kan?"
"Udah gak, Pak. Saya berhenti. Saya harus cari uang."
Pak Gunawan menghela napas panjang. Ia ingat Pak Sentanu. Ia ingat bagaimana pria itu bekerja keras hingga titik darah penghabisan demi anak-anaknya.
"Baiklah. Kamu bisa mulai besok. Tapi inget, kerja di sini berat. Kamu yakin kuat?"
"Saya kuat, Pak. Saya anak Pak Sentanu. Saya harus kuat."
Pak Gunawan tersenyum sedih. Ia menepuk bahu Dewanga.
"Iya. Kamu memang anak Pak Sentanu."
***
Malam itu, Dewanga pulang dengan langkah gontai.
Ia duduk di teras, menatap langit yang gelap. Bintang-bintang bersinar samar.
"Ayah..." bisiknya pelan. "Dewa janji. Dewa akan jaga Ibu dan Agung. Dewa akan kerja keras kayak Ayah. Dewa gak akan menyerah."
Angin malam berhembus dingin.
Dari dalam rumah, terdengar Agung yang tertawa kecil—adiknya sedang menggambar sesuatu dengan pensil tumpul dan kertas bekas.
Dewanga tersenyum pahit.
"Agung harus sekolah. Agung harus jadi orang penting. Salah satu dari kami harus berhasil."
Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak ayahnya meninggal, Dewanga tidur dengan sedikit tenang—karena ia sudah memutuskan untuk menjadi tulang punggung keluarganya.
Sekalipun itu berarti mengorbankan masa depannya sendiri.
***
**Esok paginya.**
Dewanga bangun subuh. Ia memakai celana panjang lusuh dan kaos oblong yang sudah pudar warnanya.
Rini melihat anaknya bersiap-siap. "Dewa mau kemana?"
"Kerja, Bu. Jadi kuli bangunan."
Rini menangis. "Dewa... kamu masih muda, Nak..."
"Ayah dulu juga muda, Bu. Tapi Ayah kerja keras buat kita. Sekarang giliran Dewa."
Dewanga memeluk ibunya sebentar, lalu pergi.
Ia berjalan di jalanan yang masih sepi. Matahari belum terbit sepenuhnya. Embun pagi membasahi jalanan.
Di tangannya, tas kresek berisi botol minum dan sebungkus nasi sisa semalam.
Dan di hatinya, sebuah janji yang tidak akan pernah ia ingkari:
**"Aku akan bertahan. Aku akan bekerja. Aku akan hidup. Demi Ibu. Demi Agung. Demi Ayah yang sudah tiada."**
---
**[Bab 3 Selesai]**
*Dewanga kehilangan masa remajanya. Kehilangan kesempatan menyelesaikan sekolah. Kehilangan mimpi-mimpinya. Tapi ia memilih bertahan—karena itulah satu-satunya hal yang bisa ia lakukan. Dan pilihan ini akan membentuk dirinya menjadi seorang pria yang terlalu cepat dewasa, terlalu cepat lelah, dan terlalu putus asa untuk diterima oleh siapa pun.*