Satu tubuh, dua jiwa. Satu manusia biasa… dan satu roh dewa yang terkurung selama ribuan tahun.
Saat Yanzhi hanya menjalankan tugas dari tetua klannya untuk mencari tanaman langka, ia tak sengaja memicu takdir yang tak pernah ia bayangkan.
Sebuah segel kuno yang seharusnya tak pernah disentuh, terbuka di hadapannya. Dalam sekejap, roh seorang dewa yang telah tertidur selama berabad-abad memasuki tubuhnya. Hidupnya pun tak lagi sama.
Suara asing mulai bergema di pikirannya. Kekuatan yang bukan miliknya perlahan bangkit. Dan batas antara dirinya dan sang dewa mulai mengabur.
Di tengah konflik antar sekte, rahasia masa lalu, dan perasaan yang tumbuh antara manusia dan dewa… mampukah Yanzhi mempertahankan jiwanya sendiri?
Atau justru… ia akan menjadi bagian dari sang dewa selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cencenz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14: Pecahan Segel
Udara di lorong bawah altar terasa berbeda. Hangat, tapi menusuk tulang. Dindingnya terbuat dari batu kasar, penuh simbol-simbol kuno yang memancarkan cahaya redup biru kehitaman. Aroma Jade Asap Hitam terasa lebih kuat, menyusup ke paru-paru, membuat dada sedikit sesak.
Han Ye berjalan beberapa langkah di depan, jemari kanannya terulur, menelusuri simbol di dinding.
"Kau merasakan ini?" tanyanya, pelan.
Yanzhi hanya mengangguk. "Ini… bukan aura Jade biasa."
Tawa sinis Roh itu meletup dalam benaknya.
"Itu memang bukan Jade biasa. Itu pecahan segel."
Han Ye menoleh tajam."Dengan siapa kau bicara?"
Yanzhi terkejut sepersekian detik. "Apa?"
"Mukamu. Suaramu. Kau seperti—" Han Ye menyipitkan mata. "—berbisik pada diri sendiri."
Yanzhi menegakkan bahu. "Bukan urusanmu."
Han Ye hanya mendengus, tapi matanya tak lepas dari Yanzhi, seolah mencoba menerka,
apa sebenarnya yang bersembunyi di balik tatapan penuh rahasia itu.
......................
Mereka melangkah makin dalam. Lorong semakin sempit, langit-langit menurun, membuat mereka harus sedikit membungkuk. Di beberapa sisi, potongan Jade hitam menonjol keluar dari dinding batu, memancarkan cahaya halus. Yanzhi menempelkan telapak tangannya ke salah satunya, terasa berdenyut, seperti nadi.
Roh di kepalanya bersuara, kali ini lebih dingin.
"Ambil. Serap sebagian. Ini akan menambah tenagamu."
"Diam," gumam Yanzhi, pelan. Tapi jarinya tetap bergerak, meraba retakan Jade di dinding.
Han Ye mendekat. "Apa yang kau lakukan?"
"Mengambil, apa yang kita butuhkan." Suara Yanzhi pelan, nyaris seperti bisikan mantra.
Han Ye menatapnya tanpa berkedip. Sekilas, di matanya, Yanzhi tampak bukan lagi murid Sekte Tianhan biasa. Ada sesuatu di balik kulitnya, seperti percikan api liar yang diselimuti kabut.
Han Ye mendesis pendek. "Apa kau—"
Suara runtuhan memotong kata-katanya. Tanah di bawah kaki bergetar halus, lalu terdengar derit logam kuno. Dari ujung lorong, sebuah pintu batu, penuh ukiran segel iblis purba, perlahan terbuka, menampakkan ruangan bulat di baliknya.
Udara yang keluar membawa bau tanah basah, bercampur darah lama. Han Ye mundur setengah tapak, merasakan hawa spiritualnya beriak.
"Aku tidak suka ini," gumamnya, datar.
Yanzhi menatap pintu batu itu, telapak tangannya masih menempel di Jade.
Roh di kepalanya berbisik, nadanya penuh nada manis yang menipu:
"Bagus. Satu langkah lagi. Di balik pintu itu, kau akan melihat kenapa mereka menutupnya selama ratusan tahun."
Han Ye menatap Yanzhi, nada dingin.
"Kalau kau punya rahasia, simpan untuk dirimu. Tapi kalau kau membahayakan aku di dalam, aku yang pertama akan menguburmu di sini."
Yanzhi hanya menatap balik, senyumnya samar.
"Bagus. Kita sama-sama tidak saling percaya."
Pintu batu terbuka penuh. Angin lembab menerpa wajah mereka. Di dalam, lampu-lampu batu menyala sendiri, memantulkan cahaya biru redup ke dinding yang dipenuhi lingkaran segel.
Di tengah ruangan, sebuah pilar batu raksasa menjulang, di permukaannya terukir simbol iblis yang berdenyut perlahan.
Yanzhi menahan napas. Roh dalam tubuhnya tertawa rendah, menggetarkan dadanya dari dalam.
"Selamat datang di kebenaran kecil pertamamu. Mau lanjut… atau lari?"
......................
Langkah Yanzhi terhenti di depan pintu batu yang setengah terbuka. Kabut tipis merambat keluar, dingin dan menekan. Di baliknya, ruangan sempit terhampar, dindingnya dipenuhi ukiran kuno, simbol-simbol asing berpendar redup.
Han Ye berdiri setengah tapak di depannya. Pandangannya tajam, jemari menekan gagang pedang di pinggangnya, selalu siaga.
"Ini bukan sekadar goa," gumam Han Ye pelan.
Yanzhi memicingkan mata. Di dalam kepalanya, suara roh muncul, dingin, tapi nadanya nyaris terdengar puas.
"Lihat itu… Pecahan pagar lama. Penjara yang dipakai untuk mengurung roh-roh kotor. Bajingan-bajingan langit dulu membuang banyak hal ke bumi ini."
Yanzhi menahan napas. Aura di ruangan itu benar-benar menyesakkan. Tepat di tengah, di atas altar batu rendah, terbenam sepotong pecahan segel hitam kebiruan, memancar samar seolah bernapas.
Han Ye menoleh sedikit. "Sumber racun kabut di luar… ini?"
Roh mendengus pendek. "Lebih dari itu. Di balik batu itu mengalir pecahan jalur lama… kotor, tapi kuat. Kau mau terus merangkak di lumpur? Ambil. Biarkan sedikit kegelapan meretakkan belenggu di tubuhmu."
"Belenggu…?" Yanzhi membalas pelan dalam hati.
"Tubuh manusia rapuh. Tenaga spiritualmu terjebak. Kalau tak dipecah dari dalam, kau akan mati muda, atau habis dimakan orang lain." Suara roh merendah, nadanya membujuk. "Sentuh. Biar aku tuntun. Sedikit saja… cukup membuka pintu."
Han Ye melangkah pelan ke sisi altar. Ia melirik Yanzhi. "Ada apa? Dari tadi wajahmu seperti habis menelan debu busuk."
Yanzhi memalingkan muka cepat. "Fokus saja pada langkahmu sendiri."
Han Ye menatap lebih tajam. Matanya sempat beralih ke sepotong pecahan segel hitam itu, lalu ke tangan Yanzhi yang mengepal. Ada kecurigaan yang jelas, tapi ia tidak bertanya.
Suara roh kembali membisik di telinga batinnya. "Cepat. Sebelum bocah angin itu rewel. Ambil. Atau pulanglah jadi bangkai di dasar lembah."
Yanzhi mengatur napas. Tangannya perlahan terulur, ragu. Jemarinya hampir menyentuh permukaan batu yang dingin.
Han Ye bergumam datar, setengah mengancam. "Kalau benda itu perangkap, kau mau mati di sini?"
Yanzhi menoleh singkat, suaranya lirih. "Diam saja. Aku tahu yang kulakukan."
Ia menempelkan telapak tangannya.
Sekejap, hawa dingin menjalar ke lengannya. sepotong pecahan segel itu bergetar, seolah menjawab sesuatu di dalam dadanya. Simbol di dinding berpendar lebih terang, kabut di lantai makin tebal, menelan suara di sekitar.
Dalam pikirannya, roh itu berbisik pelan, seolah tertawa rendah di balik kabut.
"Bagus, Yanzhi… Buka sedikit saja. Kita mulai retakkan rantai yang mereka tanam di tulangmu. Sisanya… kau tak perlu tahu."
Sebuah getaran halus merambat ke ujung jari Yanzhi. Ia sempat menahan napas, menatap pecahan segel di altar yang kini berdenyut lebih cepat,
seolah menjawab panggilan rahasia.
Tapi ketenangan itu hanya sekejap. Suara gemerisik kering terdengar dari bawah retakan altar. Kabut tipis menggumpal, berubah pekat, membentuk pusaran hitam di sudut ruangan.
Dalam kepalanya, suara roh menajam, seperti tawa yang menetes di telinga.
"Bagus. Tapi lihat apa yang kau bangunkan, bodoh."
Lantai bergetar, serpihan batu runtuh, dan dari pusaran kabut itu, dua mata merah perlahan menyala.
"Penjaga Lapis Kedua bangun," bisik roh itu, kali ini nadanya seperti menahan tawa gelap.
Yanzhi mendesis pelan, matanya melebar menatap pusaran kabut hitam yang kini berputar ganas di depan altar.
"Bagus? Bagus kepalamu! Ini semua gara-gara kau suruh aku sentuh pecahan ini, dasar roh sialan!"
Roh itu hanya tertawa pendek di kepalanya.
"Kalau kau lemah, ya salahmu sendiri. Mau kuat kan? Ini harga main di ranah orang besar."
Yanzhi mengepal tangan, setengah menahan marah.
"Nanti kalau aku mati, kau ikut terkubur, tahu?!"
Roh itu mendengus.
"Kalau kau mati di sini, aku yang malu. Jadi diam, lawan itu dulu."
Dari kegelapan, sepasang mata merah menyala. Wujud gelap perlahan merangkak keluar, Penjaga Segel, lebih besar, tubuhnya dibalut asap iblis pekat. Tanduk pendek muncul di dahinya, cakar panjang menggores lantai batu.
Pusaran kabut menggila, mata merah itu menatap Yanzhi seperti mengenalinya.
Han Ye mendesis, "Kau bawa apa ke sini?"
Yanzhi menelan ludah.
Sepotong pecahan segel di tangannya masih berdenyut, menjawab sesuatu dalam dirinya.
...****************...