NovelToon NovelToon
Fragmen Yang Tertinggal

Fragmen Yang Tertinggal

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu / Romansa / Enemy to Lovers / Cintapertama / Cinta Murni / Berbaikan
Popularitas:27
Nilai: 5
Nama Author: tanty rahayu bahari

​Di antara debu masa lalu dan dinginnya Jakarta, ada satu bangunan yang paling sulit direnovasi: Hati yang pernah patah.
​Lima tahun lalu, Kaluna Ayunindya melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya: meninggalkan Bara Adhitama—pria yang memujanya—dan cincin janji mereka di atas meja nakas tanpa sepatah kata pun penjelasan. Ia lari ke London, membawa rasa bersalah karena merasa tak pantas bersanding dengan pewaris tunggal Adhitama Group.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 8: Titik Nadir

​Minggu ketiga renovasi Hotel Menteng adalah neraka dunia.

​Suara bor listrik yang memekakkan telinga, debu semen yang beterbangan seperti kabut asap, dan teriakan para mandor yang mengejar target harian menjadi orkestra pagi bagi Kaluna.

​"Bu Kaluna! Bagian sayap barat plafonnya rembes lagi! Pipa lama pecah saat pembongkaran!" teriak Pak Hadi dari kejauhan, melambai-lambaikan walkie-talkie-nya.

​Kaluna memejamkan mata sejenak, menahan rasa pening yang tiba-tiba menghantam kepalanya. Matahari jam satu siang membakar helm proyeknya. Keringat dingin mulai mengucur di pelipisnya, membasahi anak rambut.

​"Saya ke sana sebentar lagi, Pak!" balas Kaluna, suaranya terdengar lemah bahkan di telinganya sendiri.

​Sejak makan malam "bencana" dengan Bara dan Julian tiga hari lalu, Kaluna menenggelamkan dirinya dalam pekerjaan. Ia berangkat subuh, pulang larut malam, dan sering kali melewatkan jam makan siang. Ia melakukan itu untuk menghindari interaksi dengan Bara. Ia takut jika bertemu Bara lagi, pertahanannya akan benar-benar runtuh.

​Tapi tubuh punya batasnya sendiri.

​Kaluna mencengkeram tiang penyangga scaffolding di dekatnya. Perutnya melilit hebat. Rasa perih yang tajam menusuk ulu hatinya. Maag akutnya kambuh.

​Bodoh. Harusnya tadi pagi sarapan, rutuknya dalam hati.

​"Kaluna?"

​Suara bariton itu.

​Kaluna menoleh. Bara sedang berjalan ke arahnya, didampingi beberapa insinyur struktur. Pria itu tampak segar dan berwibawa dengan kemeja biru muda yang licin, kontras sekali dengan Kaluna yang kucel dan penuh debu.

​Kaluna mencoba berdiri tegak, melepaskan pegangannya dari tiang. "Ya, Pak Bara?"

​Bara berhenti dua meter di depannya. Alis tebalnya menukik tajam saat melihat wajah Kaluna.

​"Kamu sakit," itu bukan pertanyaan. Itu pernyataan.

​"Saya baik-baik saja," elak Kaluna, meski dunia di sekelilingnya mulai berputar. "Cuma sedikit kepanasan. Saya harus cek pipa di sayap barat..."

​Kaluna memaksakan diri melangkah. Tapi baru satu langkah, kakinya menyerah. Lututnya lemas seperti jeli.

​Tubuhnya limbung ke depan. Gelap menyergap pandangannya.

​"Kaluna!"

​Ia tidak merasakan kerasnya lantai beton. Yang ia rasakan adalah sepasang lengan kokoh yang menyambar tubuhnya sebelum menyentuh tanah. Aroma sandalwood yang familiar itu langsung memenuhi indra penciumannya, menggantikan bau semen.

​Samar-samar, ia mendengar keributan.

​"Panggil medis! Bawa air!" teriak Bara. Suaranya terdengar panik, jauh berbeda dari nada dingin yang biasa ia gunakan di ruang rapat.

​Kaluna berusaha membuka mata. Wajah Bara terlihat buram di atasnya. Ada ketakutan yang nyata di mata cokelat itu.

​"Bara..." bisik Kaluna lirih, tangannya mencengkeram kemeja Bara.

​"Diam. Jangan banyak bicara," perintah Bara, tapi nadanya lembut.

​Tanpa memedulikan tatapan puluhan tukang dan staf proyek, Bara menyelipkan tangannya ke bawah lutut dan punggung Kaluna, lalu mengangkat tubuh wanita itu dengan mudah dalam gendongan bridal style.

​"Minggir!" bentak Bara pada kerumunan yang menonton. Ia membawa Kaluna setengah berlari menuju Direksi Keet (kantor sementara di lokasi proyek yang terbuat dari kontainer).

​Di dalam kantor kontainer yang berpendingin ruangan, Bara membaringkan Kaluna di atas sofa panjang tamu. Ia segera melepas helm proyek Kaluna dan melemparnya ke lantai.

​"Rian! Mana kotak P3K? Cari obat lambung cair, sekarang!" teriak Bara ke arah pintu, di mana asisten Kaluna baru saja muncul dengan wajah pucat pasi.

​Bara kembali menatap Kaluna. Wajah wanita itu seputih kertas. Bibirnya kering dan pucat. Keringat dingin membanjiri dahinya.

​Bara mengumpat pelan. Tangannya yang besar dan hangat menyentuh pipi Kaluna, menepuk-nepuknya pelan agar Kaluna tetap sadar.

​"Hei, lihat aku. Jangan tutup matamu," perintah Bara.

​Kaluna meringis, memegangi perutnya. "Sakit..."

​"Aku tahu. Tahan sebentar," suara Bara bergetar. Ia beranjak cepat ke dispenser, menuang air hangat ke dalam gelas kertas.

​Rian datang membawa botol obat lambung sirup. Bara menyambarnya kasar. "Keluar. Jaga pintu. Jangan biarkan siapa pun masuk kecuali saya panggil."

​"Ba-baik, Pak." Rian mundur dan menutup pintu, meninggalkan mereka berdua dalam keheningan yang hanya diisi dengungan AC.

​Bara kembali duduk di tepi sofa. Ia membantu Kaluna duduk sedikit, menyandarkan tubuh wanita itu ke dada bidangnya agar bisa minum obat.

​"Buka mulutmu," perintah Bara, menyodorkan sendok obat.

​Kaluna menurut seperti anak kecil. Rasa mint yang dingin mengalir di tenggorokannya, sedikit meredakan rasa terbakar di lambungnya. Setelah itu, Bara membantunya minum air hangat.

​"Sudah mendingan?" tanya Bara pelan, tangannya masih menopang punggung Kaluna.

​Kaluna mengangguk lemah, menyandarkan kepalanya di bahu Bara. Tenaganya habis terkuras. Posisi ini terasa begitu alami, seolah lima tahun perpisahan tidak pernah terjadi. Dulu, setiap kali Kaluna sakit saat menyusun skripsi, Bara selalu merawatnya seperti ini.

​"Kamu belum makan dari jam berapa?" tanya Bara, nadanya mulai terdengar marah.

​"Kemarin malam..." jawab Kaluna jujur.

​Bara mendengus kasar. Ia membaringkan Kaluna kembali ke bantal sofa, lalu berdiri sambil berkacak pinggang. Ia memijat pelipisnya, tampak frustrasi.

​"Kamu mau bunuh diri?" omel Bara. "Kamu pikir kamu robot? Kerja di lapangan panas-panasan tanpa makan 18 jam? Apa yang ada di otakmu, Kaluna?"

​Kaluna memejamkan mata, terlalu lelah untuk berdebat. "Saya mau menyelesaikan target Bapak. Enam bulan, kan?"

​"Persetan dengan target itu!" bentak Bara.

​Kaluna tersentak, membuka matanya.

​Bara menatapnya tajam, dadanya naik turun menahan emosi. "Target itu untuk memotivasi kamu, bukan untuk membunuh kamu! Kalau kamu mati di proyek saya, siapa yang tanggung jawab? Hah?"

​"Maaf..."

​"Maaf tidak akan menyembuhkan lambungmu yang bolong!" Bara berjalan mondar-mandir di ruangan sempit itu. "Kenapa kamu selalu begini? Selalu memaksakan diri. Selalu sok kuat. Dulu juga begitu. Kamu demam 39 derajat tapi masih nekat ikut ujian semester sampai pingsan di kelas."

​Kaluna tersenyum tipis, miris. "Kamu masih ingat."

​Langkah Bara terhenti. Ia menatap Kaluna. Kemarahan di wajahnya perlahan surut, digantikan oleh ekspresi lelah dan... sedih.

​Ia menghela napas panjang, lalu menarik kursi kerja mendekat ke sofa. Ia duduk di sana, mencondongkan tubuhnya ke arah Kaluna. Tangannya terulur, ragu-ragu sejenak, sebelum akhirnya mengusap sisa keringat di dahi Kaluna dengan ujung ibu jarinya.

​"Bagaimana bisa aku lupa?" bisik Bara, suaranya parau. "Aku ingat semuanya, Kaluna. Setiap kali kamu sakit, setiap kali kamu menangis, setiap kali kamu tertawa. Semuanya tersimpan di kepala sialan ini dan tidak mau hilang."

​Jantung Kaluna berdegup kencang, melupakan rasa sakit di perutnya sejenak. Sentuhan Bara begitu lembut, begitu hati-hati.

​"Bara..."

​"Diamlah. Istirahat," potong Bara, menarik tangannya kembali seolah baru sadar ia telah melampaui batas. "Aku sudah suruh Rian beli bubur ayam. Kamu makan, lalu aku antar pulang."

​"Saya masih ada rapat struktur jam 3..."

​"Batal," potong Bara tegas. "Saya batalkan semua agendamu hari ini. Kamu pulang, tidur. Besok jangan datang ke proyek kalau wajahmu masih kayak mayat hidup begitu."

​"Tapi Pak Hadi butuh persetujuan untuk—"

​"Kaluna!" Bara menatapnya tajam, tapi kali ini ada kehangatan protektif di sana. "Berhenti jadi arsitek sebentar. Jadilah manusia. Biarkan orang lain mengurus pekerjaan. Kamu bukan Superwoman."

​Kaluna terdiam. Matanya memanas. Sudah lama sekali tidak ada orang yang menyuruhnya berhenti. Selama lima tahun di London, ia terbiasa berjuang sendiri, sakit sendiri, sembuh sendiri.

​"Terima kasih," ucap Kaluna lirih, setetes air mata lolos dari sudut matanya.

​Melihat air mata itu, pertahanan Bara goyah lagi. Ia tidak tahan melihat Kaluna menangis.

​Bara menggeser kursinya lebih dekat. Tanpa kata, ia menggenggam tangan Kaluna yang dingin. Ia tidak mengatakan apa-apa lagi, hanya menggenggamnya erat, menyalurkan kehangatan tubuhnya.

​Mereka duduk dalam diam selama beberapa menit. Di luar sana, dunia konstruksi yang bising terus berjalan. Tapi di dalam kontainer kecil ini, waktu seolah melambat. Hanya ada Bara yang menjaga Kaluna, seperti dulu.

​"Kenapa kamu baik lagi?" tanya Kaluna tiba-tiba, suaranya serak. "Bukankah kamu membenciku?"

​Bara menatap tautan tangan mereka. Ia memainkan cincin polos di jari Kaluna—bukan cincin pertunangan mereka dulu, melainkan cincin biasa.

​"Membencimu itu melelahkan, Kaluna," jawab Bara pelan, tidak berani menatap mata wanita itu. "Aku mencoba. Demi Tuhan, aku mencoba setiap hari. Tapi saat melihatmu jatuh tadi... rasanya jantungku ikut berhenti."

​Bara mengangkat wajahnya, menatap Kaluna dengan tatapan intens yang membuat napas Kaluna tercekat.

​"Aku mungkin marah padamu. Aku mungkin kecewa. Tapi aku tidak akan pernah bisa melihatmu sakit. Jadi tolong..." Bara meremas tangan Kaluna pelan. "...jangan sakit lagi. Karena itu menyiksaku lebih daripada menyiksamu."

​Pintu diketuk pelan.

​"Pak? Buburnya sudah datang," suara Rian terdengar takut-takut dari luar.

​Momen magis itu pecah. Bara melepaskan tangan Kaluna perlahan, kembali memasang wajah datarnya, meski tidak sedingin sebelumnya.

​"Masuk," perintah Bara.

​Rian masuk membawa mangkuk styrofoam bubur. Bara mengambilnya, membukanya, dan mengaduknya sebentar untuk membuang uap panas.

​"Makan," Bara menyodorkan sendok ke mulut Kaluna.

​"Saya bisa sendiri, Pak..." Kaluna merasa canggung ada Rian di sana.

​"Tanganmu masih gemetar. Makan," perintah Bara tak terbantahkan.

​Rian melongo melihat pemandangan itu. CEO Adhitama Group, yang terkenal sadis dan tanpa ampun, sedang menyuapi arsiteknya dengan telaten di sofa lusuh proyek. Rian mundur perlahan keluar ruangan, merasa menjadi nyamuk di antara drama percintaan yang rumit ini.

​Kaluna menerima suapan itu. Buburnya hangat, tapi tatapan Bara yang mengawasinya makan terasa jauh lebih hangat.

​Siang itu, di tengah debu dan reruntuhan Hotel Menteng, Kaluna menyadari bahwa tembok kebencian yang dibangun Bara sebenarnya hanyalah kaca tipis. Dan kaca itu kini sudah retak sepenuhnya.

​Masalahnya adalah, apakah mereka siap terluka oleh pecahan kaca itu jika mereka mencoba bersatu kembali?

BERSAMBUNG....

Terima kasih telah membaca💞

Jangan lupa bantu like komen dan share❣️

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!