Jessy Sadewo memiliki segalanya: kecantikan mematikan, kekayaan berlimpah, dan nama yang ditakuti di kampus. Tapi satu hal yang tak bisa dia beli: Rayyan Albar. Pria jenius berotak encer dan berwajah sempurna itu membencinya. Bagi Rayyan, Jessy hanyalah perempuan sombong.
Namun, penolakan Rayyan justru menjadi bahan bakar obsesi Jessy. Dia mengejarnya tanpa malu, menggunakan kekuasaan, uang, dan segala daya pesonanya.
My Forbidden Ex-Boyfriend adalah kisah tentang cinta yang lahir dari kebencian, gairah yang tumbuh di tengah luka, dan pengorbanan yang harus dibayar mahal. Sebuah roman panas antara dua dunia yang bertolak belakang, di mana sentuhan bisa menyakitkan, ciuman bisa menjadi racun, dan cinta yang terlarang mungkin adalah satu-satunya hal yang mampu menyembuhkan — atau justru menghancurkan — mereka berdua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9
Sementara Jessy berpura-pura mengerjakan soal-soalnya, Rayyan membuka laptop tuanya kembali. Kali ini, dia menyibukkan diri dengan catatan dan laporan tim praktikumnya. Keningnya berkerut dalam konsentrasi, jemarinya menari lincah di atas keyboard yang sudah usang. Cahaya layar memantul di lensa kacamatanya, menciptakan siluet pria yang sepenuhnya tenggelam dalam dunianya—dunia logika dan tanggung jawab.
Jessy, yang duduk di sampingnya, sama sekali tidak fokus pada deretan angka di depannya. Matanya justru terpaku pada Rayyan. Dia mengamati bagaimana alis Rayyan yang tebas terkadang menyentak saat menemukan kesalahan dalam data, bagaimana bibirnya yang tegas berkerut sedikit saat berpikir, dan bagaimana urat di lengan bawahnya menegang saat mengetik dengan cepat. Dalam keseriusannya, Rayyan memancarkan daya tarik magnetis yang membuat Jessy lupa akan segala sesuatunya, termasuk sepuluh soal membosankan di hadapannya.
"Apa?! Udah selesai?" suara Rayyan tiba-tiba memecah konsentrasinya sendiri, membuat Jessy terkejut. Dia menoleh dan melihat kertas Jessy yang masih hampir kosong.
"Belum..." jawab Jessy malas, cepat-cepat menunduk dan berpura-pura menatap soal-soalnya kembali.
Soal-soal itu bagai teka-teki tak terbaca baginya. Tidak ada satu pun yang masuk akal. Diam-diam, saat Rayyan kembali asyik menyelami lautan data di layarnya, Jessy mengambil ponsel mahalnya. Dengan gerakan cepat dan licik, dia memotret soal-soal itu, lalu membuka sebuah aplikasi AI. Dalam hitungan detik, jawaban yang detail dan rapi tersaji di layar. Sebuah senyum kemenangan yang licik muncul di bibirnya.
Ada yang gampang, kenapa harus susah-susah mikir, batinnya dengan puas.
Dengan menyalin dengan hati-hati, tak lama lima soal pertama sudah terisi dengan jawaban yang sempurna.
"Coba lihat," pinta Jessy, mendorong kertas itu ke arah Rayyan dengan percaya diri.
Rayyan melepas kacamatanya, mengusap mata yang lelah sebelum mengambil kertas itu. Matanya membelalak takjub. Jawaban-jawaban itu tidak hanya benar, tetapi ditulis dengan cara yang sangat metodis dan terstruktur, persis seperti gaya mahasiswa berprestasi.
"Kalau aku bisa jawab semuanya, aku dapet reward nggak dari kamu?" ujar Jessy, mencium keterkejutannya dan langsung memanfaatkannya. Suaranya manis dan penuh harapan.
"Kamu udah kaya. Mau reward apa dari orang miskin kayak aku?" balas Rayyan dengan sarkasme yang tak tersembunyi, meletakkan kertas itu kembali di meja.
"Habis ini kita nge-date," ujar Jessy segera, matanya berbinar.
"Aku nggak punya uang buat jajanin nona kaya," tolak Rayyan, kembali mengetik, berusaha mengakhiri pembicaraan.
"Aku yang bayar. Anggap aja tips buat pak guru," jawab Jessy genit, tidak menyerah.
Jelas Rayyan enggan. Dia membayangkan harus menghabiskan lebih banyak waktu di luar jam 'kerja paksa' ini bersama Jessy. "Oke," ujarnya akhirnya, dengan ide untuk mengakhiri permainannya. "Tapi kalau satu aja ada jawaban yang salah. Batal!"
"Oke!" jawab Jessy penuh keyakinan, senyum kemenangan sudah mengembang di wajahnya.
Dia kembali memegang pulpen, kali ini dengan semangat baru. Sambil terus menyalin dari ponsel yang disembunyikan di pangkuannya, matanya sesekali melirik ke arah Rayyan, memastikan pria itu masih asyik dengan tugasnya. Rayyan, yang memang dibebani oleh tenggat waktu laporan yang menumpuk, sama sekali tidak menyadari kecurangan yang terjadi tepat di sampingnya.
Hingga...
Refleksnya yang tajam menangkap sebuah gerakan mencurigakan. Kepala Jessy yang terlalu sering menunduk, dan sorot mata yang cepat ke arah pangkuannya.
"Kamu ngapain?!" tanya Rayyan tiba-tiba, suaranya rendah dan mencurigai. Tangannya yang bergerak cepat berusaha meraih ponsel yang disembunyikan Jessy. "Coba lihat."
"Nggak!" bantah Jessy panik, berusaha menyembunyikan ponselnya di balik punggungnya. "Aku lagi pakai kalkulator!"
"Bohong. Sini, mana HP kamu!" desis Rayyan, kini berdiri dan wajahnya berubah gelap. Kesabaran yang sudah menipis itu akhirnya habis.
"Nggak!" teriak Jessy, berusaha melawan.
Tapi Rayyan lebih kuat dan lebih cepat. Dengan satu gerakan kasar yang tak biasa darinya, dia merebut ponsel mewah itu dari genggaman Jessy. Layarnya masih menyala, memperlihatkan jendela aplikasi AI dengan jawaban lengkap untuk semua soal, persis seperti yang ada di kertas Jessy.
Rayyan berdiri tegak, menatap layar itu. Bukan kemarahan yang meledak yang terpancar, tapi sebuah kekecewaan yang dalam dan membuatnya lelah. Semua usaha dan penjelasannya tadi sia-sia.
"Udah cukup pertemuan hari ini," ucapnya, suaranya dingin dan datar, seperti udara malam yang tiba-tiba menyusup ke gazebo. Dia melemparkan ponsel itu ke pangkuan Jessy yang terpaku. "Kita bahas soalnya lagi besok."
Dia mulai memberkaskan laptop dan bukunya ke dalam tas ransel usangnya.
"Tunggu! Tapi..." Jessy berusaha berdiri, mencoba meraih lengan Rayyan, wajahnya panik.
Rayyan menghindar dengan tajam. "Percuma, Jes," potongnya, tanpa menatapnya. "Kamu nggak serius belajar. Cuma buang-buang waktu aku di sini."
Kali ini, tanpa kompromi, tanpa jeda, Rayyan berbalik dan melangkah pergi dari gazebo. Langkahnya tegas dan cepat, meninggalkan Jessy sendirian di antara kemewahan rumahnya, dengan hanya ada kertas soal yang dicurangi dan rasa malu yang membara sebagai temannya. Kekecewaan di punggung Rayyan yang menjauh terasa lebih menyakitkan daripada teriakan kemarahan mana pun.
***
Kekecewaan yang membara di dada Jessy seketika berubah menjadi amarah liar yang meluap-luap saat dia melihat punggung Rayyan yang tak tergoyahkan menjauh. Rasanya seperti ditampar keras di tengah pesta yang sempurna. Dalam hidupnya yang dimanjakan, tidak ada satu pun penolakan yang pernah terasa semenyakitkan dan sememinlakan ini.
"Rayyan! Lo nggak bisa perlakuin gue kayak gini!" teriaknya, suaranya melengking tinggi memecah kesunyian taman yang elegan, penuh dengan amarah dan rasa tak percaya.
Tanpa pikir panjang, dia berlari ke arah pintu utama, sendalnya menghunjam keras di lantai marmer. Dari balik pintu kaca lebar, dia melihat Rayyan sudah berada di dekat motornya yang tua, bersiap untuk meninggalkan wilayah kekuasaan keluarganya—dan meninggalkannya.
"Pak Asep!" teriak Jessy pada satpam yang berjaga, suaranya mengandung getar panik dan perintah.
Kedua pria itu—Rayyan yang sedang memakai helm dan Pak Asep yang berdiri tegak di pos jaga—serempak menengok ke arahnya. Wajah Rayyan terlihat bingung, sementara Pak Asep waspada.
"Tahan dia dulu, Pak! Ada barang saya yang hilang!" perintah Jessy, menunjuk ke arah Rayyan.
Mendengar tuduhan itu, ekspresi Rayyan berubah dari bingung menjadi terkejut, lalu berkerut oleh sebuah pemahaman yang pahit. Matanya yang tajam membelalak, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Apa Jessy sedang menuduhnya mencuri?
Pak Asep, yang taat pada perintah majikan, segera bergerak. "Ayo, Mas," ujarnya dengan suara tegas namun masih sopan, meraih lengan Rayyan.
"Saya nggak ngambil apa-apa, Pak!" sergah Rayyan, mencoba melepaskan diri, tapi cengkeraman Pak Asep kuat. Wajahnya memerah karena gabungan rasa malu, marah, dan frustrasi.
"Jes, maksud lo apa?!" teriak Rayyan ke arah Jessy yang berdiri anggun di pintu, matanya menyala-nyala.
Jessy sama sekali tidak menggubris protesnya. "Bawa dia masuk, Pak! Bawa ke kamar saya!" perintahnya pada Asep, suaranya penuh wibawa dan tak terbantahkan.
"Jessy!" raung Rayyan, tapi dia tak berdaya. Tubuhnya yang atletis itu dengan mudah digiring oleh Pak Asep yang berpengalaman kembali masuk ke dalam rumah mewah itu, melewati ruang tamu, dan naik melalui tangga marmer menuju kamar pribadi Jessy.
Begitu mereka masuk ke dalam kamar yang didominasi warna pink, putih, dan emas, dengan boneka-boneka mewah berjejer dan tempat tidur baldu yang besar, Jessy memberi isyarat pada Pak Asep.
"Pak Asep, keluar dulu. Sama mau interogasi dia sendiri."
Pak Asep mengangguk patuh dan segera meninggalkan kamar, meninggalkan Rayyan dan Jessy sendirian di ruangan yang tiba-tara terasa sangat kecil dan pengap.
Begitu pintu tertutup, Rayyan langsung meledak. "Mau lo apa sih, Jes!" hardiknya, suaranya kasar dan penuh kekesalan. Napasnya memburu, dada naik turun.
"Aku dan kamu," koreksi Jessy dengan tenang, meski matanya berbinar berbahaya. Dia melangkah mendekat.
"Gue nggak ngambil apa-apa dari lo!" ujar Rayyan, mengabaikan koreksinya. "Lo kira gue maling?!"
Jessy berhenti tepat di hadapannya. Senyum tipis yang licin dan nekat muncul di bibirnya. "Kalau kamu terus pake 'Lo' dan 'Gue'," ancamnya, suaranya rendah namun jelas, "aku bakal telanjang di sini dan teriak. Biar mereka semua di luar pikir kamu mau nyentuh atau apa sama aku."
Rayyan tercekat. Seluruh darah di wajahnya seolah mengalir pergi, meninggalkan wajahnya yang tampan pucat pasi. Dia menatap Jessy, mencari-cari tanda bahwa gadis ini hanya bergurau. Tapi yang dia lihat adalah tekad bulat dan kegenitan yang tak tergoyahkan di mata Jessy. Dia tahu Jessy cukup nekat untuk melakukannya. Masa depannya, beasiswanya, reputasinya—semuanya bisa hancur dalam sekejap oleh sebuah teriakan dan tuduhan palsu dari putri seorang Adi Sadewo.
Perlahan, namun pasti, perlawanan dalam dirinya runtuh. Dia terpojok.
"Jadi... mau kamu apa?" suara Rayyan akhirnya keluar, lebih lemah, melunak oleh paksaan situasi. Dia menyerah.
Jessy tersenyum, senyum kemenangan yang lebar dan puas. Dia melangkah sedikit lagi, mendekatkan wajahnya ke wajah Rayyan.
"Kita pergi kencan malam ini," ucapnya, suaranya yakin dan penuh kemenangan. Dua dunia mereka yang bertolak belakang kini bertabrakan dalam sebuah ruang yang dipenuhi warna pink, di mana satu pihak memegang semua kartu, dan pihak lain hanya bisa pasrah.
jangan cuma bisa nyalahin orang aja, Elu juga salah cuma jadi penonton, Ndak malah bantuin ibunya.
buat emaknya Rayyan luluh donk thorrrrr
ceritamu emang secandu ini yaa kak ..
kudu di pites ini si ibu Maryam