Cintanya itu harusnya menyatukan bukan memisahkan, kan? Cinta itu harusnya memberi bahagia bukan duka seumur hidup, kan? Tapi yang terjadi pada kisah Dhyaswara Setta dan Reynald de Bruyne berbeda dengan makna cinta tersebut. Dua orang yang jatuh cinta sepenuh jiwa dan telah bersumpah di atas darah harus saling membunuh di bawah tuntutan. Siapakah yang menang? Tuntutan itu atau cinta mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caeli20, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ep.24 : 'Perjanjian Darah'
"Cinta itu indah yang menyakitkan. Ketika kamu jatuh cinta, kamu juga harus siap disakiti," Mbah Lodra menatap Dhiyas yang bersila di depannya.
Dhiyas menduduk dalam.
"Aku tahu bagaimana perasaanmu saat ini. Tapi itulah kenapa kita disebut manusia. Karena kita tidak ada kuasa untuk melawan takdir. Yang jadi dilema adalah ketika kita mencoba melawan takdir maka kita yang akan sangat tersakiti bahkan mungkin hancur. Yang bisa kita lakukan adalah berserah pada Yang Mahakuasa. Takdir boleh buruk pada kita, tapi ketika tangan kita kasih digenggam Yang Mahakuasa, kita pasti mampu melalui takdir seburuk apapun,"
Dhiyas menghembuskan napas kuat,
"Aku siap menerima ilmu tingkat lima, guru,"
"Hahaha," Mbah Lodra tertawa dengan suara nya yang berwibawa, "Ilmu itu bukan pelarian, Dhiyas. Kamu harus menerimanya dengan hati lapang dan mencintai ilmu itu. Jika tidak, ilmu itu tidak akan berguna baik bagimu ataupun orang lain,"
"Tapi...perlahan keinginan menikah ku mulai pudar, guru,"
"Terlalu dini. Terlalu dini kamu menyimpulkan hal itu. Hanya karena Cakra pergi mendadak ke Belanda dan meninggalkan mu lalu kamu merasa bahwa kamu tidak ingin menikah lagi," Mbah Lodra mengusap jenggot panjang nya.
Lanjutnya,
"Pepatah Jawa mengatakan Aja mung ndelok saking sak kedipan mripat. Jangan hanya melihat sesuatu dari satu kedipan mata,"
Dhiyas hening.
**
Meneer Lorens merapikan pakaiannya lalu berjalan menuju mobilnya. Perpaduan harum parfum amber dan tembakau miliknya menyeruak. Tampilannya begitu rapi.
Rembulan bersinar penuh di atas sana. Meneer Lorens tersenyum ketika menyalakan mobilnya,
"Siapa tahu malam ini bertemu lagi dengan nona itu,"
Mobil pun dijalankan.
**
"Kontrol perasaan mu. Jangan dikalahkan oleh perasaan. Terkadang, orang yang tangguh, bukan dikalahkan oleh keadaan, tapi oleh perasaannya sendiri," Mbah Lodra menepuk pelan pundak Dhiyas.
"Iya, guru. Aku mungkin hanya syok karena kepergiannya yang mendadak. Selama ini kami selalu bersama. Kami terpisah hanya saat malam hari. Dan kini aku harus menjalani hari-hari sendiri, mungkin diriku belum terbiasa," Dhiyas tersenyum getir.
"Sesuatu yang diulang setiap hari lama-lama akan terbiasa. Ala bisa karena biasa,"
"Iya, guru. Terima kasih penguatannya," Dhiyas menunduk memberi hormat.
**
Meneer Lorens melewati jalan raya di mana dia bertemu Dhiyas semalam. Jalanan itu sudah sunyi. Hanya nampak satu dua orang yang lewat. Mobil pun sudah sangat jarang. Benar-benar sunyi.
"Di mana kamu nona cantik," gumam Meneer Lorens sambil menjalankan mobilnya dengan kecepatan rendah.
Sekian lama menunggu, yang ditunggu tak kunjung datang.
Meneer Lorens memutuskan untuk memasuki jalanan desa. Lambat-lambat mobil itu melewati rumah-rumah yang diterangi cahaya redup dari lampu botol. Belum semua orang menikmati listrik.
Meneer Lorens menyipitkan matanya melawan cahaya yang redup itu agar bisa mengenali Dhiyas.
Di sebuah belokan jalan paving kecil, dia melihat sosok yang dia cari. Mobil dilakukan sebelum terlambat.
Dhiyas yang merasa ada mobil yang mendekat di belakangnya langsung waspada. Apalagi dia mendengar langkah kaki menuju ke arahnya. Refleks Dhiyas memutar badannya.
"Ahh, nona. Ini aku," Meneer Lorens dengan gerakan siap menangkis karena Dhiyas sudah siap memberi tendangannya. Dhiyas menurunkan kakinya yang sudah telanjur diangkat untuk menendang.
Dhiyas menatap sejenak lalu dia teringat pertemuan tadi malam.
"Nona, saya yang semalam. Lorens," masih dengan logat Belanda nya yang kental.
"Maaf, aku pikir orang jahat," ucap Dhiyas dingin.
"Tidak apa-apa, nona. Wajar seorang gadis cantik seperti anda waspada di malam seperti ini,"
Dhiyas menatap Meneer Lorens tanpa ekspresi.
"Nona butuh tumpangan? Saya siap mengantar hingga ke rumah," Meneer Lorens menunduk sopan.
"Tidak perlu. Saya terbiasa jalan kaki,"
"Ah, hebat sekali nona ini. Saya semakin kagum. Ngomong-ngomong, akhir pekan ini ada pasar malam di dekat kantor ku. Apakah nona tidak keberatan untuk datang?,"
"Maaf, saya ada urusan di akhir pekan," Dhiyas dingin tanpa ekspresi.
"Ohh.. Eh, baiklah. Saya hanya ingin mengundang nona agar saya bisa menjamu nona,"
*P*enjajah brengsek. Siapa juga yang mau menerima jamuan darimu. (Dhiyas).
"Sayangnya saya tidak bisa,"
"Baiklah, tidak apa-apa, nona. Mungkin lain waktu," Meneer Lorens mencari ide lain lagi, "Oh ya, saya ingin mengenal nona lebih lagi, apakah bisa nanti saja ajak nona jalan-jalan. Mungkin kita bisa ke pasar, ke toko pakaian mungkin, atau....,"
"Maaf. Saya harus pulang. Permisi," Dhiyas langsung memutar tubuhnya kembali.
"Eh, nona..tunggu," Meneer Lorens hendak menyentuh pundak Dhyas, tapi tangan nya keburu ditepis Dhiyas yang sudah siap memberi pukulan ke wajahnya, "Ehm, maaf nona, silakan lanjutkan perjalanan,"
Dhyas memberi tatapan tajam lalu melanjutkan perjalanannya.
Meneer Lorens menatap punggung Dhiyas yang berjalan terus menjauhinya,
"Benar-benar wanita yang unik. Aku harus mendapatkannya. Bagaimana pun caranya," gumam Meneer Lorens pada dirinya sendiri.
**
Dhiyas menatap ke luar jendela kamar. Entahlah itu bisa disebut rindu atau apa. Tapi bayangan Cakra menari-nari di otaknya. Membawanya mengingat kembali sebuah peristiwa penting saat mereka masih kecil.
FLASHBACK ON
"Dasar anak tidak tahu diuntung. Kurang ajar!," teriak Sri Lestari sembari menyeret Cakra ke luar rumah.
Bi Mirna hanya bisa menatapnya. Dia ingin sekali membela Cakra kecil, tapi apa daya. Terakhir dia membela Cakra, dia yang kena pukulan Sri Lestari. Bi Mirna hanya bisa menahan rasa sakit di hatinya melihat Cakra yang harus menanggung emosi ibunya.
Bukan karena salah Cakra. Sri Lestari menerima surat berisi kekesalan hati Charles, ayah Cakra. Sri Lestari tidak terima, dia butuh pelampiasan amarah. Kebetulan Cakra lewat di depan kamarnya dan ingin izin pergi bermain. Di situlah Sri Lestari mendapatkan pelampiasan amarahnya.
Cakra berjongkok, meringkuk dekat pagar rumahnya. Sri Lestari membanting pintu rumah. Menutupnya. Cakra hanya bisa menatap.
Tak lama berselang, sebuah tangan menyentuh pundak Cakra.
"Ikut dengan ku yuk," ajak si pemilik tangan, Dhiyas.
Cakra mendongak. Melihat Dhiyas yang datang, dia langsung berdiri. Keduanya sembunyi-sembunyi menjauh dari rumah itu.
Dhiyas membawa Cakra ke sebuah pohon yang rindang,
"Kita berteduh di sini sampai amarah ibumu hilang,"
Cakra murung.
"Sudah jangan murung begitu. Kita main yuk,"
Cakra menunduk.
"Aku tidak mau jadi temanmu lagi kalau kamu murung terus," Dhiyas pura-pura cemberut.
"Iya deh, iya. Main apa?," Cakra akhirnya bicara.
"Kita main omah-omahan. Kamu kumpulkan ranting untuk buat tiang rumahnya. Aku mau bersihkan bagian ini dari rumput," tunjuk Dhiyas.
"Boleh,"
Keduanya larut dalam permainan sederhana itu. Hingga rumah-rumahan yang mereka bangun dari ranting dan daun itu sudah selesai dibuat.
"Bagus ya," seru Dhiyas
"Iya bagus," Cakra tertawa kecil.
"Kalau aku sudah besar, aku akan buat rumah untuk Cakra. Jadi kalau kamu diusir ibumu dari rumah seperti sekarang ini, kamu punya rumah sendiri,"
Cakra kecil berusia sembilan tahun itu begitu terkesan dengan kalimat yang barusan dia dengar. Di antara penolakan besar ibunya terhadap dirinya, Dhiyas selalu memberikan penerimaan yang menyejukan hatinya.
Cakra berjongkok, memilih dan mengambil ranting yang tajam.
"Kamu ngapain, Cakra?," Dhiyas ikutan berjongkok.
Cakra sengaja melukai telunjuk kanannya dengan ranting yang tajam itu.
"Cakra kamu ngapain?," tanya Dhiyas terbelalak.
Cakra mengulurkan tangannya,
"Tangan Dhiyas," pinta Cakra. Ragu-ragu Dhiyas mengulurkan tangannya. Cakra menyambut tangan Dhiyas.
"Tahan ya," Cakra membuat luka kecil di jari telunjuk Dhiyas. Dhiyas terkejut tapi tidak bertanya.
Kini telunjuk mereka berdua sama-sama terluka. Cakra menyatukan telunjuk keduanya,
"Demi langit, kita berjanji, kita akan saling menjaga sampai kita besar nanti dan tidak saling meninggalkan,"
Dhiyas mengernyitkan keningnya. Tidak mengerti apa yang dilakukan Cakra.
"Aku pernah menonton wayang, tokohnya bersumpah pake darah,"
Dhiyas meringis heran. Cakra tertawa kecil.
Mungkin bagi mereka berdua ini sebatas permainan. Tapi perjanjian di atas darah ini sudah mengikat jiwa keduanya. Penyatuan alami pun telah terjadi.
Dan beberapa tahun kemudian, Dhiyas merasakan dampak perjanjian itu. Dia seperti tidak mampu ketika harus berpisah dengan Cakra.
**
Dhiyas menatap ke atas. Menahan air matanya. Kenangan 'perjanjian darah' yang spontan dibuat Cakra waktu kecil dulu mengkoyakan hatinya. Bukannya melegakan hati Dhiyas justru kenangan itu membuat perasaannya semakin tidak karuan. Galau semalaman.