Ia adalah Echo bernama Jae, idol pria berwajah mirip dengan jake Enhypen. Leni terlempar kedua itu dan mencari jalan untuk pulang. Namun jika ia pulang ia tak akan bertemu si Echo dingin yang telah berhasil membuat ia jatuh cinta
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Godaan Pilihan
Tekanan itu akhirnya memaksa Jae bergerak.
Selama dua hari terakhir, ia hampir tidak tidur. Setiap kali memejamkan mata, bayangan pria di fan meeting itu kembali muncul—tatapan tenang yang terlalu sadar, energi yang tidak seharusnya ada di dunia ini. Jae tahu, selama Kang Junho masih bebas bergerak, Leni tidak pernah benar-benar aman.
Dengan alasan mencari proyek film baru, Jae menghubungi Manajer Park. Ia meminta bantuan untuk melacak seseorang yang pernah masuk daftar undangan acara internal. Tidak butuh waktu lama bagi koneksi industri hiburan untuk menemukan jejak samar—cukup untuk mengatur satu pertemuan.
Kafe itu kecil dan nyaris kosong, berdiri di pinggiran Seoul, jauh dari pusat keramaian. Jae datang lebih dulu, duduk menghadap jendela. Tangannya tenang di atas meja, tetapi otot bahunya kaku.
Ketika Kang Junho masuk, Jae langsung tahu.
Pria itu bergerak tanpa ragu, seolah tempat itu memang menunggunya. Wajahnya biasa saja, nyaris membosankan, namun ada sesuatu di sekitarnya—udara yang terasa lebih dingin, lebih hening.
“Lee Jae-Yoon-ssi,” sapa Junho sambil duduk. “Terima kasih sudah mau meluangkan waktu.”
“Kau tahu kenapa aku di sini,” jawab Jae singkat.
Junho tersenyum tipis. “Tentu. Kau ingin memastikan Echo-mu tidak direbut kembali.”
Jae menahan diri untuk tidak langsung berdiri. “Jangan sebut dia begitu. Namanya Leni.”
“Nama hanyalah penanda,” balas Junho tenang. Ia menyesap kopi di depannya—dan Jae menyadari tidak ada uap panas sama sekali. “Keberadaannya di dunia ini menciptakan distorsi. Kau merasakannya sendiri. Fansign itu hampir meretakkan intimu.”
Jae mengepalkan tangan di bawah meja. “Dia memilih tinggal. Dan aku memilihnya.”
Junho menatap Jae dengan iba yang tipis. “Cinta memang kuat, Gema. Tapi ia bukan jangkar permanen. Setiap hari kau menahan realitas agar tidak runtuh, dan tubuhmu membayar harganya.”
“Apa yang kau inginkan?” tanya Jae akhirnya.
“Aku ingin mengembalikannya ke tempat asalnya,” jawab Junho tanpa ragu. “Dengan aman. Tanpa ritual. Tanpa korban. Kau tidak perlu terus menahan rasa sakit itu. Dan dia… akan kembali pada ibunya.”
Junho mengeluarkan sebuah kartu tipis dan meletakkannya di atas meja. Permukaannya dingin, berkilau samar seperti logam yang tidak dikenal.
“Jika dia benar-benar mencintaimu,” lanjut Junho pelan, “dia akan memilih kebahagiaanmu. Dan pulang.”
Junho berdiri, meninggalkan kartu itu, dan pergi tanpa menoleh lagi.
Jae duduk lama setelahnya, menatap kartu di tangannya. Untuk pertama kalinya sejak Leni datang ke hidupnya, ada jalan keluar yang masuk akal—dan itu justru terasa seperti hukuman paling kejam.
Malam itu, Leni masih berada di kantor.
Lampu di lantai eksekutif sudah banyak yang mati, tetapi ruangannya masih terang. Ia tenggelam dalam laporan, mencoba mengabaikan rasa tidak nyaman yang sejak sore menempel di dadanya.
Pintu terbuka tanpa diketuk.
Leni menoleh tajam. “Siapa—”
Kata-katanya terhenti ketika melihat pria yang berdiri di ambang pintu.
“Kita bertemu lagi,” ujar Kang Junho dengan suara tenang. “Jangan khawatir. Sistem keamanan tidak akan mengingat kehadiranku.”
“Bagaimana kau bisa masuk?” Leni berdiri, jantungnya berdegup cepat.
“Aku di sini bukan sebagai ancaman,” kata Junho sambil melangkah masuk. “Aku di sini untuk memberimu pilihan.”
Ia berhenti di depan meja, menatap Leni seolah sudah mengenalnya lama. “Kau bukan Kim Leni yang seharusnya ada di dunia ini. Kau berasal dari tempat lain. Dan kau merindukan ibumu.”
Napas Leni tercekat. Rahasia yang selama ini ia simpan rapat seakan ditelanjangi dalam satu kalimat.
Junho meletakkan kartu di atas meja. “Aku bisa membawamu pulang. Sekarang, jika kau mau. Tanpa rasa sakit. Tanpa kekacauan. Ibuku—ibumu—baik-baik saja. Tapi ia menunggumu.”
Kenangan menyerbu Leni tanpa ampun: minimarket kecil, bau kue basah, suara ibunya memanggil dari dapur.
“Jika kau kembali,” lanjut Junho, “segala distorsi akan berhenti. Dunia ini stabil. Jae tidak perlu lagi menahan beban itu.”
Junho melangkah mundur. “Aku memberimu satu jam.”
Dan ia menghilang, meninggalkan ruangan yang terasa terlalu sunyi.
Leni duduk perlahan, menatap kartu itu. Tangannya gemetar.
Ia menurunkan pandangan ke cincin perak di jarinya—cincin janji dari Jae. Wajah Jae terlintas di benaknya, senyumnya yang hangat, pelukannya yang terlalu erat belakangan ini. Kini Leni mengerti kenapa.
Dengan jari gemetar, ia mengambil ponsel dan menelepon.
“Jae-ssi,” suaranya hampir pecah. “Kau di mana?”
“Aku di apartemen,” jawab Jae cepat. “Ada apa?”
Leni menelan ludah. “Aku hanya ingin tahu… kau bahagia, kan? Bersamaku?”
Ada jeda singkat di ujung sana. Jae memejamkan mata.
“Aku tidak pernah sebahagia ini,” jawabnya jujur. “Aku nyata karena kau. Aku mencintaimu, Leni.”
Telepon ditutup perlahan.
Leni menatap kartu di meja, lalu kembali ke cincin di jarinya. Rindu pada ibunya menusuk dalam, tapi bayangan Jae—yang bertahan di dunia ini demi dirinya—menariknya lebih kuat.
Pilihan itu sudah ada di hadapannya.
Dan apa pun yang ia pilih, akan ada hati yang terluka.