Saat kehamilan itu benar-benar terjadi pada Livia, dia bermaksud memberikan kejutan dengan datang ke kantor suaminya untuk mengabarkan kabar bahagia tersebut.
Tapi apa yang dia dapatkan, sangatlah mengguncang perasaannya.
Ternyata di ruangannya, Alex tengah bersama seorang wanita berparas lembut, dengan gadis kecil yang duduk di pangkuannya.
Bukannya merasa bersalah, setelah kejadian itu Alex malah memberi pernyataan, "kita berpisah saja!" Betapa hancur hati Livia. Dia tak menyangka, Alex yang begitu
mencintainya, dengan mudah mengatakan kata-kata perpisahan. Lalu apa jadinya jika suatu hari Alex mengetahui kalau dia sudah menelantarkan darah dagingnya sendiri dan malah memberikan kasih sayangnya pada anak yang tidak ada hubungan darah dengannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TERNYATA PERASAAN ITU...
Setengah berlari Sean menyusul langkah Livia yang sudah sampai di ambang pintu kafe.
"Liv, tunggu!"
Livia tak menggubris. Ia tetap berjalan tanpa berhenti, sambil memegangi bawah perutnya yang terasa menegang.
Rasa malu dan marah menjadi satu di hatinya. Hingga Sean berhasil meraih tangannya.
"Liv..."
Livia menepiskan tangan Sean yang memegangi tangannya, dengan sopan.
"Pak, tolong, saya mohon! Hidup saya sudah banyak masalah. Saya tidak akan kuat kalau harus ditambah lagi. Saya mohon, Pak." Suara Livia bergetar. Air bening sudah menggenangi pelupuk matanya. Jika berkedip sekali saja, pasti akan berhamburan.
Sean tertegun. Ada rasa perih di hatinya melihat wanita yang dikaguminya tengah terpuruk seperti ini. Rasanya Sean ingin memeluk wanita ini dan memberinya kekuatan.
"Aku antar pulang, ya?"
Tapi Livia menggeleng tegas.
"Lebih baik Anda bicara dengan Mbak Natalia.
Yakinkan dia kalau di antara kita tak ada hubungan apa-apa, selain murni hubungan profesional."
Setelah berkata begitu, Livia menganggukkan kepala sedikit, sebagai tanda hormat pada atasan. Lalu pergi dari hadapan Sean tanpa menoleh lagi.
Sean terpaku di tempat. Tatapannya seolah tak rela Livia pergi.
Sementara itu Natalia yang ikut menyusul Sean, mendengar semua yang diucapan Livia. Tapi dia tetap merasa marah, karena Sean malah lebih menjaga perasaan Livia daripada dirinya.
Livia sedang termenung di dalam kamarnya sambil mengelus perutnya yang sekilas masih terlihat rata. Tapi jika diperhatikan dengan saksama, maka baby bump-nya akan terlihat menyembul malu-malu.
Saat ini hingga 1 atau 2 bulan ke depan, perutnya masih bisa disamarkan dengan pakaian yang sedikit longgar. Apalagi tubuh Livia memang ramping. Mungkin masih belum ada yang menduga kalau dirinya tengah mengandung buah cintanya dengan Alex.
Tapi jika lebih dari itu, kandungannya akan semakin membesar. Dan akan sulit untuk menyembunyikan kehamilannya.
"Bagaimana ini? Ke mana aku harus pergi. Aku tak
Ingin memberi tahu Alex dan juga keluarganya. Biarkan mereka tetap menganggapku wanita mandul."
Livia menghela napas dalam dan menghembuskannya sekaligus. Seolah ingim menghempaskan semu beban di hatinya.
"Sayang, yang kuat ya... maafkan mommy harus mengambil langkah ini. Menyembunyikan kamu dari papamu. Tapi percayalah, mommy akan mencurahkan seluruh kasih sayang yang mommy miliki hanya untuk kamu."
Tiba-tiba airmata Livia berlinang. Pikirannya menerawang saat ke masa kecilnya. Hidup di panti asuhan, tanpa tahu siapa orang tuanya. Tak ada kepastian. Apakah kedua orang tuanya sudah meninggal atau masih hidup. Rossi ibu pantinya, hanya mengatakan kalau Livia disimpan begitu saja di teras panti. Tanpa keterangan apa pun. Hanya secarik kertas yang bertuliskan:
> Saya titip bayi ini. 26-11-2000.
Tanpa nama, hanya deretan angka yang menunjukkan tanggal, bulan, dan tahun lahirnya.
"Mommy tak akan pernah berbuat sekejam itu, Nak!"
Bisiknya sambil mengusap airmata yang terus berjatuhan dari kelopak matanya.
Livia menyandarkan tubuhnya ke sandaran ranjang.
Matanya menatap kosong ke langit-langit kamar, tapi pikirannya berkelana entah ke mana. Hatinya penuh gejolak yang tak bisa ia ungkapkan pada siapa pun.
Rasanya seperti berjalan sendirian di lorong gelap, tanpa tahu ke mana arah keluar.
"Kenapa harus aku, Tuhan?"bisiknya lirih.
Tangannya madih mengelus perutnya, seolah mencari kekuatan dari kehidupan kecil yang tumbuh di dalam sana. Anak ini tidak pernah meminta untuk hadir. Tapi sekarang, anak inilah satu-satunya yang bisa membuat Livia bertahan.
Ia jadi teringat pesan Bu Rossi sebelum ia
memutuskan tinggal sendiri.
"Ingat satu hal, Liv. Jika Tuhan memberi kamu luka, yakinlah itu untuk menyiapkanmu menjadi lebih kuat. Agar bisa jadi pelindung bagi seseorang yang belum bisa melindungi dirinya sendiri."
Livia menelan ludah. Tenggorokannya terasa kering.
"Aku harus pergi dari sini... sebelum semuanya terlambat,"gumamnya. Keputusan itu sudah bulat. Ia tidak ingin Alex tahu apa pun. Hatinya sudah cukup terluka dengan sikap lelaki itu, yang sudah melukainya secara batin.
Air mata Livia kembali luruh. Tidak meledak, tapi mengalir perlahan... seperti luka yang sudah terlalu dalam untuk ditangisi dengan suara.
Sore sepulang kerja, Livia memutuskan untuk berbelanja kebutuhan dapur. Kebetulan hari ini tubuhnya terasa sedikit lebih bertenaga. Perutnya tidak terlalu mual, dan kepalanya tidak lagi terasa berat seperti biasanya. Ia ingin memanfaatkan momen langka itu.
Tapi tanpa ia sadari, sejak keluar dari kantor, seseorang diam-diam mengikutinya dari kejauhan.
Setibanya di swalayan, Livia mengambil troli belanjaan lalu melangkah perlahan menyusuri rak-rak panjang yang berjejer rapi, penuh berbagai macam kebutuhan rumah tangga, alat mandi, perlengkapan dapur, hingga makanan ringan.
Langkahnya sempat terhenti ketika mendengar suara
celotehan seorang anak perempuan dari arah lorong lain.
Suara itu nyaring, riang, dan begitu polos.
"Mama, boleh nggak aku beli itu? Om Papa, gendong aku, aku mau ambil itu!" serunya manja.
Livia nyaris tertawa. "Om Papa... panggilan macam apa itu?" pikirnya geli sambil menggeleng pelan. Ada kehangatan yang menggelitik di dada.
Secara refleks, ia mengusap perutnya dengan lembut.
Bibirnya tersenyum. Mengingat ada kehidupan mungil yang sedang bertumbuh di sana. Buah dari masa lalu yang perlahan mulai ia lupakan. Namun Livia sangat bahagia membayangkan, kelak jika bayinya sudah lahir dan sebesar anak yang suaranya terdengar tadi, ia akan berceloteh juga dengan sangat menggemaskan.
"Mommy udah nggak sabar, Nak..." bisiknya lirih.
"Kita akan baik-baik saja, ya."
Ia mulai memasukkan barang-barang ke dalam troli.
Belanjaannya cukup banyak. Ia memang baru pindah ke apartemen baru, dan memutuskan tak membawa apa pun dari apartemennya yang lama. Semuanya baru. Tempat baru, kehidupan baru, awal yang baru. Apartemen itu sudah full furnished, jadi ia tak perlu pusing memikirkan perabotan. Tapi tetap saja, banyak hal kecil yang perlu dibeli.
Sampai akhirnya ia tiba di salah satu lorong di bagian body care. Dari arah berlawanan, seorang pria dan wanita muncul bersama seorang anak perempuan kecil di gendongan si pria. Livia masih tak menyadari. Ia masih mendorong troli, badannya agak membungkuk sambil memperhatikan beberapa produk sabun dan lotion di rak.
Tapi kedua orang itu menatapnya dalam diam. Seolah waktu berhenti.
Saat Livia menegakkan tubuh dan pandangannya bersirobok dengan keduanya, termasuk anak itu, sesuatu dalam dirinya langsung mengencang. Dadanya seperti diremas dari dalam.
Alex.
Ishana.
Dan Keysha. Gadis kecil yang memeluk leher mantan suaminya dengan manja.
Livia terdiam. Dunianya seperti mendadak senyap. Hanya suara jantungnya yang terasa berdentum, dan detak pelan dari makhluk mungil dalam rahimnya yang seolah ikut merasakan luka yang belum sempat sembuh itu kembali menganga.
""Livia..." desah Alex pelan.
Livia menegakkan tubuhnya. Pandangannya langsung bertemu dengan mata Alex, lalu bergeser sekilas pada Ishana dan anak kecil yang masih menempel manja di gendongan mantan suaminya.
"Alex." Ucapnya
Nada suaranya datar, sopan, tanpa reaksi berlebihan"
Alex terlihat seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak jadi. Ishana di sampingnya menautkan lengannya lebih erat di lengan Alex, gerak kecil yang tak luput dari perhatian Livia, meski ia tak menunjukkan respons apapun.
Livia mengangguk kecil, singkat, dan hendak melanjutkan langkahnya. Sampai suara lain datang dari arah belakang.
"Sabunnya yang ini, ya?"
Suara pria itu sangat dikenalnya. Livia menoleh cepat.
Sekejap kaget, tapi langsung menangkap maksud di balik kemunculan Sean. Ia tak perlu bertanya.
Livia menerima botol sabun dari tangan Sean, memeriksanya singkat. "Ya, yang ini saja."
"Oke," balas Sean tenang, seolah memang sudah datang bersama sejak awal.
"Alex?" Sean pura-pura kaget dan pura-pura baru menyadari kalau di situ ada mantan suami Livia.
Alex takemjawab sapaan Sean. Bibirnya terkunci rapat dan terlihat... cemberut.
"Ayo kita cari yang lainnya, permisi!" Ucap Sean. Lalu meletakkan satu tangan di punggung Livia dan satu tangan mendorong troli. Keduanya melangkah dengan santai. Mereka melewati Alex dan Ishana tanpa terlihat ada gerakan canggung.
Alex hanya menatap punggung Livia dan Sean dengar hati yang terasa tidak enak. Rasanya dia mengin mengenyahkan tangan Sean dari punggung Livia. Tapi justru sikap Livia yang tenang, seperti tamparan bagi Alex. Membuat pria itu semakin resah.
"Siapa laki-laki itu?" tanya Ishana pelan, meski nada suaranya sedikit meninggi saat melihat mata Alex yang berkilat cemburu.
"Atasan Livia, Sean."
"Kelihatannya... dekat, ya?"
Nada Ishana terdengar seperti dibuat santai, tapi ia tahu kalau Alex sedang pura-pura tidak peduli.
Alih-alih menjawab, Alex membalikkan badan.
Wajahnya kaku, matanya gelap.
Di dalam mobil, suasana sunyi. Keysha tertidur di jok belakang. Ishana menoleh, menunggu Alex bicara. Yang terdengar hanya helaan napas kesal, lalu suara setir yang ditepuk pelan oleh tangan Alex. Frustrasi yang tak bisa ia sembunyikan.
"mas cemburu?" tanya Ishana lirih. Tapi Alex tak menjawab. Tubuh Ishana semakin menegang
"Aku pikir semua ini cuma soal waktu. Tapi kenyataannya, setiap kali aku ingat dia... aku merasa hampa. Bahkan saat dia tadi bicara, sikapnya tenang sekali, sopan... seperti aku ini cuma orang asing. Dan itu... lebih sakit dari apa pun."
Ishana menggigit bibir. Tak tahu harus berkata apa.
Alex menengadah, menatap langit-langit mobil.
"Dia bahkan tidak kelihatan rapuh. Tidak seperti dulu. Dia udah berubah. Dan justru itu yang bikin aku sadar... aku benar-benar kehilangan dia."
Dan tangis Ishana pun tak bisa dibendung lagi.