Alara Davina terpaksa menikah kontrak dengan Nathan Erlangga, CEO dingin yang menyimpan luka masa lalu. Saat cinta mulai tumbuh di antara mereka, Kiara Anjani—sahabat yang ia percaya—ternyata adalah cinta pertama Nathan yang kembali dengan niat jahat. Pengkhianatan demi pengkhianatan menghancurkan Alara, bahkan membuatnya kehilangan calon buah hati. Dalam pusaran air mata dan kepedihan, bisakah cinta sejati bertahan? Sebuah perjalanan emosional tentang cinta, pengkhianatan, dan penebusan yang akan mengguncang hati setiap pembaca hingga ending bahagia yang ditunggu-tunggu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11: KEBENARAN YANG MENGHANCURKAN**
# **
Senin pagi terasa lebih berat dari biasanya. Alara bangun dengan mata bengkak—bukti bahwa ia menangis sampai tertidur Sabtu malam, dan lagi Minggu sore. Setiap kali ia menutup mata, yang terbayang adalah senyum Nathan—senyum yang hangat, senyum yang hidup, senyum yang bukan untuknya.
Nathan tidak pulang Sabtu malam. Atau Minggu. Pesan singkat dikirim ke Bi Sari: *"Ada urusan mendadak. Akan menginap di hotel."*
Tidak ada pesan untuk Alara. Tentu saja tidak.
Alara datang ke kantor dengan riasan lebih tebal dari biasanya—berusaha menutupi lingkaran hitam di bawah matanya, menutupi wajah pucat yang membuat orang bertanya-tanya. Ia tidak mau ada yang tahu. Tidak mau ada yang melihat betapa hancurnya ia.
Tapi Kiara melihat.
---
**JAM 10 PAGI, PANTRY KANTOR**
Alara sedang membuat kopi ketika Kiara masuk. Wanita itu terlihat sempurna seperti biasa—blazer krem, rambut tergerai indah, make up flawless. Tapi ada sesuatu di matanya—sesuatu yang... berbeda. Seperti kekhawatiran. Atau mungkin rasa bersalah.
"Alara," sapa Kiara lembut. "Kamu... baik-baik saja?"
Alara tidak mengangkat wajah, fokus pada cangkir kopinya. "Aku baik."
"Kamu tidak terlihat baik," kata Kiara pelan, melangkah mendekat. "Matamu... kamu menangis?"
"Tidak," jawab Alara cepat—terlalu cepat. "Cuma kurang tidur."
Kiara diam sejenak, menatap Alara dengan tatapan yang sulit dibaca. Lalu ia menghela napas panjang. "Ini karena pesan aku Sabtu kemarin, kan? Tentang café itu..."
Alara terdiam. Tangannya berhenti mengaduk kopi.
"Maafkan aku," bisik Kiara, suaranya terdengar bersalah. "Aku tidak seharusnya bilang. Aku tidak mau bikin kamu sakit—"
"Aku tidak sakit," potong Alara. Suaranya datar, tapi gemetar. "Aku tidak punya hak untuk sakit. Ini pernikahan kontrak. Aku tahu itu dari awal."
"Alara..." Kiara menyentuh lengan Alara dengan lembut. "Kontrak atau bukan, kamu tetap manusia. Kamu tetap punya perasaan."
Alara akhirnya mengangkat wajah, menatap Kiara dengan mata yang berair. "Lalu apa gunanya perasaan kalau aku tidak boleh merasakannya? Kalau aku harus terus bilang pada diriku sendiri bahwa ini tidak nyata, bahwa aku tidak boleh berharap, bahwa aku—"
Suaranya putus. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan isak yang ingin keluar.
Kiara menatapnya dengan tatapan penuh simpati—simpati yang terlihat begitu tulus. "Ayo, kita duduk sebentar," ajaknya pelan, menuntun Alara ke meja kecil di pojok pantry.
Mereka duduk berhadapan. Kiara menggenggam tangan Alara yang dingin.
"Aku tahu ini berat," kata Kiara lembut. "Aku tahu rasanya... mencintai seseorang yang hatinya masih terjebak di masa lalu."
Alara mengangkat wajah tajam. "Aku tidak mencintai Nathan."
Kiara tersenyum tipis—senyum yang sedih. "Kamu yakin?"
Pertanyaan itu menohok tepat di jantung. Karena Alara tidak yakin. Ia tidak tahu kapan—atau bagaimana—tapi ada sesuatu di dadanya yang berubah. Sesuatu yang sakit setiap kali Nathan tidak pulang. Sesuatu yang remuk setiap kali Nathan menatapnya dengan tatapan dingin.
"Aku tidak tahu," bisik Alara akhirnya. Jujur. Menyakitkan.
Kiara mengelus punggung tangan Alara dengan lembut. "Aku mengerti. Dan aku harap... aku harap aku bisa bilang semuanya akan baik-baik saja. Tapi kalau kita bicara soal Nathan dan masa lalunya... itu tidak mudah."
Alara menatap Kiara dengan mata penuh pertanyaan—pertanyaan yang takut dijawab, tapi terlalu tersiksa untuk tidak bertanya.
"Kamu bilang... Nathan pernah jatuh cinta," kata Alara pelan. "Wanita yang meninggalkannya. Siapa dia, Kiara?"
Kiara terdiam lama. Terlalu lama. Ekspresinya berubah—ada rasa sakit di sana, ada kenangan yang menyakitkan.
"Aku..." Kiara menghela napas panjang, melepaskan genggaman tangannya dari Alara. "Aku tidak tahu apakah aku harus cerita ini. Tapi... tapi kamu berhak tahu. Kamu istrinya sekarang—walau hanya kontrak—kamu berhak tahu kenapa dia seperti ini."
Jantung Alara berdetak keras. Ada sesuatu di nada bicara Kiara yang membuatnya takut.
Kiara menatap cangkir kopinya, jemarinya menelusuri pinggiran cangkir dengan gerakan lambat—seolah mengumpulkan keberanian.
"Lima tahun lalu," mulai Kiara pelan. "Nathan jatuh cinta. Sangat dalam. Pada seorang wanita yang bekerja di Erlangga Corp."
Alara membeku. Seluruh tubuhnya tegang.
"Wanita itu... cantik, pintar, ambisius. Nathan sangat mencintainya. Dia bahkan berencana melamarnya." Kiara berhenti sejenak, ada air di sudut matanya. "Tapi satu hari... wanita itu pergi. Tanpa penjelasan. Tanpa pamit. Hanya meninggalkan surat singkat yang bilang dia tidak bisa melanjutkan hubungan mereka."
Suara Kiara bergetar sedikit. Alara menatapnya dengan pandangan tak percaya.
"Nathan... hancur," lanjut Kiara. "Dia mencoba mencari tahu kenapa. Mencoba menghubungi. Tapi wanita itu menghilang sepenuhnya. Pindah ke luar negeri. Tidak bisa dilacak. Dan Nathan... Nathan tidak pernah sama lagi sejak itu."
Air mata Kiara jatuh—perlahan, tapi nyata.
"Dia membangun tembok. Menolak semua wanita yang mendekati. Fokus hanya pada pekerjaan. Sampai ayahmu dan ayahnya membuat perjanjian itu, dan dia... dia menikahimu karena itu aman. Karena tidak ada perasaan. Karena tidak akan ada rasa sakit lagi."
Alara tidak bisa bernapas. Dadanya sesak. Setiap kata Kiara seperti palu yang menghantam.
"Tapi yang paling menyakitkan," bisik Kiara, suaranya hampir tidak terdengar. "Wanita itu... kembali."
Dunia Alara berhenti.
"Apa?" Suaranya keluar parau, hampir tidak terdengar.
Kiara mengangkat wajah, menatap Alara dengan mata penuh air mata. "Wanita itu kembali ke Jakarta. Seminggu yang lalu. Dan Nathan... Nathan bertemu dengannya."
Sabtu. Café. Senyum Nathan.
Semuanya terhubung dengan menyakitkan.
"Tidak..." Alara menggeleng, tangannya gemetar. "Tidak, tidak mungkin—"
"Aku tidak ingin kamu tahu," kata Kiara cepat, meraih tangan Alara lagi. "Aku tidak mau kamu sakit. Tapi aku lihat kamu menyiksa dirimu sendiri dengan pertanyaan-pertanyaan, dan aku pikir... aku pikir lebih baik kamu tahu kebenaran daripada membayangkan yang lebih buruk."
Alara menarik tangannya dari genggaman Kiara. Seluruh tubuhnya bergetar. "Siapa? Siapa wanita itu?"
Kiara menunduk. Air matanya jatuh ke pangkuan.
"Aku," bisiknya. Hampir tidak terdengar. "Aku wanita itu, Alara."
Hening.
Hening yang menghancurkan.
Alara menatap Kiara dengan pandangan kosong—otaknya berusaha memproses, tapi tidak bisa. Tidak mau.
"Kamu..." Suara Alara bergetar hebat. "Kamu... wanita di foto itu?"
Kiara mengangguk perlahan, masih menunduk. "Aku mencintai Nathan. Sangat mencintai. Tapi lima tahun lalu, aku punya alasan untuk pergi. Alasan yang... complicated. Dan aku pikir meninggalkannya adalah yang terbaik. Tapi aku salah."
Ia mengangkat wajah, menatap Alara dengan mata penuh penyesalan. "Aku kembali karena aku ingin memperbaiki kesalahan. Aku ingin minta maaf padanya. Aku tidak tahu... aku tidak tahu dia sudah menikah denganmu sampai aku lihat kamu di kantor."
Alara tidak bisa berkata apa-apa. Mulutnya terbuka, tapi tidak ada suara keluar.
"Dan ketika aku tahu kalian menikah karena kontrak," lanjut Kiara, suaranya bergetar. "Aku pikir... aku pikir mungkin masih ada kesempatan. Mungkin Nathan masih... masih punya perasaan untukku."
"Jadi kamu..." Alara akhirnya menemukan suaranya—suara yang keras, penuh luka. "Jadi selama ini kamu dekatin aku... jadi teman baikku... dengerin curhatanku... itu semua... apa? Supaya kamu bisa dapetin info tentang Nathan?"
"Tidak!" Kiara menggeleng cepat, air matanya mengalir deras. "Aku beneran peduli padamu, Alara! Aku beneran pengen jadi temanmu! Tapi aku juga... aku juga masih mencintai Nathan. Dan aku tidak bisa bohongi perasaanku—"
"KELUAR DARI HIDUPKU!"
Teriakan Alara membuat beberapa orang di luar pantry menoleh. Tapi Alara tidak peduli.
Ia berdiri, kursinya jatuh ke belakang dengan bunyi keras. Seluruh tubuhnya bergetar, air matanya mengalir deras tanpa bisa ditahan.
"Kamu... kamu bilang kamu temanku. Kamu bilang kamu mengerti. Tapi kamu... kamu cuma manipulasi aku. Kamu pakai aku buat dapetin Nathan!"
"Alara, kumohon dengarkan—"
"AKU TIDAK MAU DENGAR!" Alara mundur, menjauh dari Kiara. "Kamu tahu apa yang paling menyakitkan? Bukan karena Nathan tidak mencintaiku. Bukan karena dia masih mencintaimu. Tapi karena orang yang aku pikir sahabatku—satu-satunya orang yang aku pikir peduli—ternyata cuma pura-pura!"
Suaranya pecah, penuh luka yang tak tertahankan.
Kiara berdiri, mencoba mendekat. "Alara, aku beneran peduli—"
"JANGAN SENTUH AKU!"
Alara berlari keluar dari pantry. Air matanya sudah membutakan pandangan. Ia tidak peduli orang-orang menatap. Tidak peduli mereka berbisik.
Ia berlari ke toilet wanita di ujung koridor—toilet yang jarang dipakai. Masuk ke bilik paling ujung, menutup pintu, dan—
Hancur.
Ia merosot ke lantai keramik dingin itu, memeluk lututnya, dan menangis dengan isak yang tidak bisa ditahan lagi.
Seluruh tubuhnya bergetar hebat. Napasnya tersengal-sengal. Dadanya sesak seperti ada yang meremas jantungnya sampai nyaris pecah.
*Kiara. Kiara adalah wanita itu.*
Wanita yang membuat Nathan tersenyum.
Wanita yang Nathan cintai.
Wanita yang Nathan masih cintai.
Dan Alara—Alara hanyalah bayangan. Pengganti sementara. Kontrak yang akan berakhir.
"Kenapa..." isak Alara, suaranya tercekat. "Kenapa aku begitu bodoh... kenapa aku biarkan diriku berharap..."
Ia memukul dadanya sendiri—sekali, dua kali—seolah ingin mengeluarkan rasa sakit yang menumpuk di sana. Tapi tidak ada yang keluar. Hanya sakit yang semakin membesar.
"Aku tidak boleh sakit... aku tidak boleh cemburu... ini bukan pernikahan sungguhan..." Ia mengulangi kata-kata itu seperti mantra, tapi tidak membantu.
Karena hatinya tidak peduli apakah ini kontrak atau bukan.
Hatinya sakit. Sangat sakit.
Alara menangis sampai suaranya serak. Sampai air matanya terasa kering. Sampai tubuhnya mati rasa.
Ponselnya bergetar. Pesan masuk.
Dari Kiara.
**Kiara:** *Alara, kumohon maafkan aku. Aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku beneran peduli padamu. Tolong, kita bicara baik-baik...*
Alara menatap pesan itu dengan pandangan kosong.
Lalu ia memblokir nomor Kiara.
Menghapus semua chat mereka.
Menghapus semua jejak wanita yang ia pikir sahabatnya.
Tapi ia tidak bisa menghapus rasa sakit.
Rasa sakit yang sekarang terlalu besar untuk ditampung.
Alara duduk di lantai toilet itu entah berapa lama. Sampai kakinya mati rasa. Sampai punggungnya sakit bersandar di dinding.
Dan ketika ia akhirnya keluar—dengan wajah sembab, mata merah, dan riasan yang berantakan—ia menatap pantulan dirinya di cermin.
Wanita di cermin itu terlihat hancur.
Terlihat seperti seseorang yang sudah tidak punya apa-apa lagi.
Dan mungkin memang begitu.
Karena Alara kehilangan satu-satunya teman yang ia punya.
Kehilangan harapan terakhirnya untuk bahagia dalam pernikahan ini.
Dan menyadari—dengan menyakitkan—bahwa ia jatuh cinta pada pria yang tidak akan pernah mencintainya kembali.
---
**[BERSAMBUNG KE BAB 12]**