NovelToon NovelToon
Kejamnya Mertuaku

Kejamnya Mertuaku

Status: sedang berlangsung
Genre:Ibu Mertua Kejam
Popularitas:4.7k
Nilai: 5
Nama Author: Mira j

Anjani, gadis manis dari kampung, menikah dengan Adrian karena cinta. Mereka tampak serasi, tetapi setelah menikah, Anjani sadar bahwa cinta saja tidak cukup. Adrian terlalu penurut pada ibunya, Bu Rina, dan adiknya, Dita. Anjani diperlakukan seperti pembantu di rumah sendiri. Semua pekerjaan rumah ia kerjakan, tanpa bantuan, tanpa penghargaan.

Hari-harinya penuh tekanan. Namun Anjani bertahan karena cintanya pada Adrian—sampai sebuah kecelakaan merenggut janin yang dikandungnya. Dalam keadaan hancur, Anjani memilih pergi. Ia kabur, meninggalkan rumah yang tak lagi bisa disebut "rumah".

Di sinilah cerita sesungguhnya dimulai. Identitas asli Anjani mulai terungkap. Ternyata, ia bukan gadis kampung biasa. Ada darah bangsawan dan warisan besar yang tersembunyi di balik kesederhanaannya. Kini, Anjani kembali—bukan sebagai istri yang tertindas, tapi sebagai wanita kuat yang akan menampar balik mertua dan iparnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 21

Di sebuah negara yang jauh dari  Indonesia, suasana pagi di sebuah rumah mewah di Italia berlangsung dengan tenang. Di dapur yang hangat dan tertata rapi, Elisabet sibuk menyiapkan sarapan untuk keluarganya. Aroma kopi segar dan roti panggang memenuhi ruangan, menambah kenyamanan pagi itu.

"Mami, aku berangkat sekolah dulu ya!" seru seorang pria muda dengan seragam rapi, memeluk Elisabet sebentar sebelum mengambil tasnya.

"Jangan lupa makan siangmu, sayang," balas Elisabet sambil merapikan kerah seragam putranya dengan penuh kasih.

Dari ruang kerja, Marco—suami Elisabet—muncul dengan setelan jas yang elegan. "Aku berangkat dulu, sayang," ucapnya sambil mencium kening Elisabet.

Marco adalah seorang pebisnis sukses yang namanya dikenal di berbagai sektor industri, mulai dari properti hingga teknologi. Cabang perusahaannya tersebar hampir di seluruh negara Eropa, bahkan merambah ke beberapa negara tetangga.

Semua orang melihatnya sebagai sosok pria yang sempurna: kaya, sukses, dan memiliki keluarga yang tampak harmonis.

Namun, di balik semua kesempurnaan itu, ada luka yang belum sembuh. Luka yang tak bisa ditutupi oleh kekayaan maupun kesuksesan.

Anak pertama mereka, seorang bayi perempuan, diculik saat usianya baru menginjak tujuh bulan. Kejadian itu terjadi begitu cepat—saat mereka sedang menghadiri pesta amal di kota. Semua upaya telah dilakukan, polisi sudah dikerahkan, penyelidikan internasional dibuka, tapi hasilnya nihil.

Waktu terus berlalu, dan rasa putus asa perlahan menggantikan harapan.

"Apa kamu masih memikirkannya, Marco?" tanya Elisabet lirih, matanya menerawang ke jendela.

Marco yang sedang merapikan dasinya berhenti sejenak, menatap istrinya dengan mata penuh luka. "Bagaimana mungkin aku tidak memikirkannya? Setiap hari, aku bertanya-tanya di mana dia sekarang. Apakah dia baik-baik saja? Apakah dia... bahkan masih hidup?" Suaranya serak menahan emosi.

Elisabet menatapnya penuh pengertian, menggenggam tangan suaminya. "Kita sudah melakukan segalanya. Mungkin… jika takdir mengizinkan, suatu hari nanti kita akan bertemu dengannya lagi."

“Baiklah aku berangkat kerja dulu sayang”.Marco mencium kening sang istri sebelum pergi keluar dari rumah.

Setelah memastikan Alvin dan Marco sudah berangkat—Alvin ke sekolah dan Marco ke kantor—Elisabet kembali duduk sendirian di ruang tamu. Rumah itu, yang biasanya terasa hangat dengan tawa dan obrolan keluarga, kini terasa begitu sepi dan sunyi.

Cangkir kopi yang masih mengepulkan asap di meja menjadi saksi bisu dari kesedihannya yang tak pernah benar-benar hilang. Tatapannya kosong menembus jendela, melihat keluar tapi pikirannya melayang jauh ke masa lalu—malam kelam saat putrinya menghilang.

"Apakah kamu masih hidup, sayang? Di mana pun kamu berada, Mami selalu merindukanmu..." bisiknya lirih, suaranya nyaris tenggelam dalam kesunyian.

Namun, Elisabet sadar, ia tak boleh terjebak dalam kenangan dan duka terlalu lama. Alvin masih membutuhkan perhatian penuh, apalagi usianya kini menginjak 17 tahun—masa-masa yang rawan untuk seorang remaja laki-laki. Alvin tampak tegar, tapi Elisabet tahu, jauh di dalam hatinya, putranya itu juga merindukan sosok kakak yang tak pernah ia kenal. Viviana nama bayi kecil yang ia lahirkan.

Menghela napas panjang, Elisabet berdiri dan mulai merapikan kamar bayi dimana bayi perempuan nya pernah tidur di sana. mencoba mengalihkan pikirannya.

Setiap sudut rumah yang ia sentuh seperti membawa kenangan masa lalu—tempat anak pertamanya dulu biasa digendong, mainan bayi yang dulu sempat memenuhi ruangan, hingga foto-foto keluarga yang kini hanya menjadi pengingat akan kebahagiaan yang tak pernah utuh.

Namun, di balik rasa kehilangan itu, ada kekuatan dalam dirinya yang tak pernah padam. Ia tahu, untuk Alvin dan Marco, ia harus tetap tegar.

Tiba-tiba, suara ponsel di meja berdering, mengalihkan perhatiannya. Nama Marco tertera di layar.

"Sayang?" jawab Elisabet, mencoba terdengar ceria meski suaranya lemah.

"Bagaimana di rumah? Kamu baik-baik saja?" suara Marco terdengar lembut, tapi penuh kekhawatiran.

"Iya, aku baik-baik saja. Kamu jangan khawatir, fokus saja di kantor," jawab Elisabet sambil mengusap air matanya.

"Kalau ada apa-apa, langsung kabari aku, ya. Jangan dipendam sendiri," pesan Marco, tahu betul betapa istrinya sering menyimpan kesedihan dalam diam.

"Ya, aku janji."

Telepon ditutup, dan Elisabet kembali duduk di sofa, memandangi foto keluarga di meja.

Di tengah kesendiriannya, Elisabet mencoba mengalihkan pikirannya dengan membuka album foto lama. Setiap lembaran yang ia buka membawa kenangan hangat dari masa lalu—terutama foto-foto bersama keluarga sahabat dekatnya, keluarga Robet, yang sudah ia anggap seperti keluarga sendiri.

Senyum samar terlukis di wajahnya saat matanya menangkap foto-foto Wiliam kecil yang sering bermain bersama Alvin. "Sudah lama sekali sejak terakhir kali kita bertemu..." gumam Elisabet pelan.

Tiba-tiba, rasa rindu itu terlalu kuat untuk diabaikan. Dengan penuh kerinduan, Elisabet menekan nomor Wiliam, yang kini sudah tumbuh menjadi pria dewasa yang sukses dan tinggal di Jakarta. Tak butuh waktu lama, panggilan video langsung diangkat.

"Mami Elisabet!" seru Wiliam dengan nada ceria, senyuman hangatnya langsung memenuhi layar.

Elisabet tersenyum bahagia. "Nak, kamu sehat? Sudah lama sekali Mami nggak dengar kabar langsung darimu."

"Sehat, Mi. Maaf, aku sibuk banget belakangan ini, urusan kerjaan numpuk. Tapi Mami sendiri gimana? Alvin dan Papa Marco sehat, kan?" tanya Wiliam dengan penuh perhatian.

"Semua baik-baik saja, sayang. Cuma Mami kangen sama kalian semua. Kalau ada waktu, mampir ke sini, ya," ucap Elisabet dengan suara lembut.

Saat mereka berbincang, tanpa sengaja kamera ponsel Wiliam bergeser, memperlihatkan seseorang yang sedang duduk di sampingnya, sibuk dengan laptopnya. Seorang wanita dengan rambut hitam panjang tergerai, wajahnya cantik dan tenang—Anjani.

Elisabet membelalakkan mata, napasnya tertahan sesaat. Wajah itu... garis rahang, bentuk mata, bahkan senyumnya saat melirik Wiliam... terasa begitu familiar. Ada getaran aneh yang langsung merambat ke dalam hatinya, seperti rasa kehilangan yang tiba-tiba kembali menghantam dengan keras.

"Siapa dia, Nak?" suara Elisabet terdengar pelan, hampir bergetar.

Wiliam, yang tak menyadari perubahan ekspresi Elisabet, menjawab santai, "Oh, dia Anjani, Mi. Rekan kerja aku, kebetulan kita lagi di luar kota untuk urusan proyek."

Elisabet mengangguk perlahan, tapi matanya tak bisa lepas dari wajah Anjani. Ada sesuatu yang tak bisa ia jelaskan... seolah naluri keibuannya sedang berbisik keras—bahwa perempuan itu bukan orang asing.

"Anjani..." gumam Elisabet nyaris tak terdengar.

Wiliam menatap layar, menyadari perubahan raut wajah Elisabet. "Mami, kenapa? Ada yang salah?" tanyanya, mulai khawatir.

Elisabet segera menyembunyikan kegelisahannya dengan senyum tipis. "Tidak, Nak. Mami hanya teringat sesuatu... Tapi tidak apa-apa. Jaga diri kalian baik-baik, ya."

"Baik, Mi. Nanti aku kabari lagi."

Setelah panggilan terputus, Elisabet masih terpaku memandangi layar ponselnya yang gelap. Hatanya berdetak lebih cepat, pikirannya dipenuhi tanda tanya. Apakah mungkin...

Malam itu, suasana di rumah Marco terasa berbeda. Ketika pria itu melangkah masuk setelah seharian bekerja, ia langsung disambut oleh Elisabet di ambang pintu. Namun, yang membuatnya terkejut adalah linangan air mata di pipi istrinya.

"Sayang, ada apa ini?" tanya Marco dengan nada cemas, meletakkan tas kerjanya dan segera meraih tangan Elisabet. "Kenapa kamu menangis?"

Elisabet menggeleng pelan, mencoba menahan isakannya, tapi air mata terus mengalir tanpa bisa ia hentikan. "Marco... aku melihat sesuatu hari ini. Atau... lebih tepatnya seseorang."

"Kamu lihat siapa?" Marco kini benar-benar khawatir, menggenggam tangan istrinya lebih erat.

Sambil menghapus air matanya, Elisabet menceritakan kejadian saat ia melakukan panggilan video dengan Wiliam. "Ada seorang perempuan bersamanya, wajahnya... Marco, aku tak bisa menjelaskan, tapi naluriku mengatakan dia... dia mungkin putri kita yang hilang dulu." Suaranya bergetar di ujung kalimat.

Marco terdiam, matanya membulat tak percaya. "Elisabet, kamu yakin? Bagaimana bisa..."

"Aku tahu ini terdengar gila, tapi ada sesuatu dalam diriku yang mengatakan itu dia. Wajahnya... tatapannya... seperti bayangan yang sudah lama hilang dalam ingatanku." Elisabet menatap suaminya dengan penuh harap. "Kita harus ke Indonesia, Marco. Aku harus bertemu dengannya, memastikan kebenaran ini sendiri."

Marco terdiam sejenak, mencoba mencerna semua yang baru didengarnya. Wajah Elisabet yang penuh harap membuat hatinya ikut terenyuh.

"Baik," akhirnya Marco mengangguk, meski dalam pikirannya ada banyak pertanyaan yang belum terjawab. "Aku akan mengatur perjalanan kita. Kita cari waktu yang tepat untuk ke Jakarta. Tapi, kamu harus janji, tetap tenang sampai kita tahu kebenarannya."

Elisabet langsung memeluk suaminya erat, seolah mendapatkan secercah harapan yang selama ini telah lama hilang. "Terima kasih, Marco... Aku hanya ingin tahu apakah dia benar-benar anak kita atau tidak."

Malam itu, Alvin yang baru saja kembali dari aktivitasnya, langsung menghampiri ibunya saat melihat Elisabet menangis di ruang tamu. Wajahnya dipenuhi kekhawatiran.

"Mami, kenapa menangis? Ada apa?" Alvin duduk di samping Elisabet, menatap matanya dengan cemas.

Elisabet mengusap air matanya, mencoba tersenyum untuk menenangkan putranya. "Mami hanya... menemukan harapan lama yang selama ini Mama pikir sudah hilang."

Marco akhirnya menjelaskan kepada Alvin tentang dugaan mereka terhadap wanita yang dilihat Elisabet di panggilan video. Mendengar itu, mata Alvin membelalak tak percaya.

"Jadi, mungkin dia...viviana… kakaku yang hilang itu?" suara Alvin serak, berusaha memahami kabar mengejutkan ini.

Marco mengangguk pelan. "Itu baru dugaan, Nak. Tapi Mami yakin ada sesuatu yang berbeda tentang gadis itu."

Alvin langsung memegang tangan ibunya. "Aku ikut, Mi. Kalau benar dia kakakku, aku ingin bertemu dengannya. Kita sudah terlalu lama kehilangan dia."

Elisabet terharu dengan keinginan Alvin. "Tentu saja, Nak. Kita akan ke Indonesia bersama-sama."

Tak lama setelah itu, Marco menghubungi sahabat lamanya, Robet, yang sudah dianggap seperti keluarga sendiri. Suaranya terdengar hangat namun menyimpan maksud yang lebih dalam.

"Halo, Robet. Aku, Marco," sapanya dengan ramah.

"Marco! Sudah lama sekali. Ada angin apa kamu meneleponku?" jawab Robet dengan antusias.

"Aku dan keluargaku berencana mengunjungi Indonesia dalam waktu dekat ini. Kupikir ini saat yang tepat untuk bertemu kalian lagi."

"Benarkah? Tentu saja! Kapan kalian tiba? Aku akan mengatur segalanya untuk menyambut kalian."

Marco tersenyum samar, tak ingin menyebutkan alasan sebenarnya kunjungan mereka. "Kami akan mengabari sesaat sebelum tiba. Ini hanya urusan keluarga... aku harap kamu mengerti."

"Tenang saja, Marco. Apa pun itu, aku akan selalu menyambut kalian seperti keluarga sendiri," jawab Robet penuh pengertian.

Setelah panggilan itu berakhir, Marco memandang Elisabet dan Alvin dengan penuh keyakinan. "Semua sudah diatur. Kita akan segera berangkat."

Mereka bertiga pun mulai mempersiapkan perjalanan ke Indonesia—sebuah perjalanan yang mungkin akan mengungkap misteri lama, membawa mereka pada pertemuan yang penuh emosi, atau membuka luka yang selama ini tertutup rapat.

Setelah menutup telepon, Robet tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. Senyuman lebar terukir di wajahnya, dan matanya berbinar penuh semangat.

"Marco dan keluarganya akan datang ke sini," gumamnya dengan antusias, seolah kenangan lama bermunculan di pikirannya.

Mendengar kabar itu, Rose, istrinya, segera menghampiri dengan penuh rasa penasaran. "Benarkah, Robet? Wah, sudah lama sekali sejak terakhir kita bertemu. Mereka sudah seperti keluarga sendiri bagi kita."

Robet mengangguk mantap. "Iya, Marco bukan cuma sahabatku, dia sudah seperti saudara kandungku sendiri. Kita sudah melalui banyak hal bersama sejak dulu. Aku ingin menyambut mereka dengan hangat, seperti keluarga yang lama terpisah."

Rose tersenyum penuh kehangatan. "Kalau begitu, aku akan mempersiapkan semuanya agar mereka merasa seperti di rumah. Aku yakin kedatangan mereka pasti membawa kebahagiyaan untuk kita semua.

1
Arsyi Aisyah
Ya Silahkan ambillah semua Krn masa lalu Anjani tdk ada hal yang membahagiakan kecuali penderitaan jdi ambil semua'x
Arsyi Aisyah
katanya akan pergi klu udh keguguran ini mlh apa BKIN jengkel tdk ada berubahnya
Linda Semisemi
greget ihhh.... kok diem aja ya diremehkan oleh suami dan keluarganya....
hrs berani lawan lahhh
Heni Setianingsih
Luar biasa
Petir Luhur
seru banget
Petir Luhur
lanjut.. seru
Petir Luhur
lanjut kan
Petir Luhur
lanjut thor
Petir Luhur
bagus bikin geregetan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!