Menikahi sahabat sendiri seharusnya sederhana. Tetapi, tidak untuk Avellyne.
Pernikahan dengan Ryos hanyalah jalan keluar dari tekanan keadaan, bukan karena pilihan hati.
Dihantui trauma masa lalu, Avellyne membangun dinding setinggi langit, membuat rumah tangga mereka membeku tanpa sentuhan, tanpa kehangatan, tanpa arah. Setiap langkah Ryos mendekat, dia mundur. Setiap tatapannya melembut, Avellyne justru semakin takut.
Ryos mencintainya dalam diam, menanggung luka yang tidak pernah dia tunjukkan. Dia rela menjadi sahabat, suami, atau bahkan bayangan… asal Avellyne tidak pergi. Tetapi, seberapa lama sebuah hati mampu bertahan di tengah dinginnya seseorang yang terus menolak untuk disembuhkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon B-Blue, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
"Non, biar Ibuk aja yang menyiapkan buburnya!" Leha memegang tangan Avellyne ingin mengambil alih mangkok yang ada di tangan wanita itu.
"Enggak apa-apa Buk, biar saya aja." Avellyne tersenyum ramah dan meletakkan mangkok berisi bubur tersebut di atas nampan. Setelah selesai dengan bubar, dia ingin membuat teh hangat untuk Ryos yang saat ini sedang beristirahat di kamarnya.
Setelah Hanna mengomel panjang lebar lalu meninggalkan kantor, Avellyne pun mengajak Ryos pulang agar calon suaminya itu bisa beristirahat dengan nyaman.
"Ibuk senang banget waktu dengar kabar Non Avel dan Tuan Ryos mau nikah," ucap Leha tersenyum lebar dan matanya berbinar–dia adalah asisten rumah tangga yang bekerja di unit apartemen Ryos. Wanita berusia lima puluh lima tahun itu sudah cukup lama bekerja dengan Ryos. Kurang lebih selama tujuh tahun sejak Ryos memutuskan tinggal sendiri di unit apartemen ini.
"Oh, ya. Apa yang membuat Ibuk senang?" tanya Avellyne menatap lawan bicaranya itu. Dia berdiri dengan menyandarkan pinggangnya pada pinggiran meja. Tidak lupa dia juga mengulas senyum tipis.
"Ya, karena Non Avel dan Tuan Ryos memang terlihat serasi banget. Tuan Ryos yang selalu memenangkan Nona kalau ngambek. Non Avel yang selalu menaruh perhatian seperti ini setiap kali Tuan Ryos sakit. Tuan dan Nona saling perhatian dan melengkapi. Saya suka aja setiap kali melihat Nona dan Tuan bersama."
"Tapi saya menikah dengan Ryos bukan karena mencintainya, Buk."
Dari sekat dinding Ryos mendengar kalimat Avellyne. Dia merasa sedih dengan pernyataan itu. Niatnya ingin ke dapur untuk menyusul Avellyne karena merasa wanita itu terlalu lama berada di sana.
"Bukan tidak mencintai tuan Ryos. Hanya saja Non Avel belum menyadarinya. Bisa juga karena Nona merasa bingung dengan perasaan Nona sendiri. Karena kalian bersahabat sudah lama, Nona pikir perasaan itu sekedar perasaan sayang antara teman."
"Kita baru menyadari betapa berharganya seseorang dan betapa kita mencintainya setelah kehilangan orang tersebut atau ketika jarak terpaksa harus memisahkan. Saya dapat melihat dari mata Nona, kalau Nona memiliki perasaan yang tulus. Ya, apa pun itu dan bagaimanapun untuk ke depannya. Saya mendoakan yang terbaik untuk Nona dan Tuan Ryos." Leha tersenyum dan berbicara dengan perasaan tulus untuk Avellyne.
"Sebelum Ibuk pulang, Nona mau dimasakin apa lagi?" Pertanyaan dari Leha seketika menyadarkan Avellyne dari lamunan singkatnya.
"Hmm, ini aja sudah cukup. Maaf, ya, Buk. Karena saya minta masakin bubur, Ibuk jadi pulang lebih lama."
"Enggak apa-apa Non. Ini masuknya jam lembur, nanti juga bakal dibayar lebih sama tuan Ryos." Leha tersenyum lebar sebab dia berkata demikian karena bercanda.
"Saya ke kamar Ryos dulu," ucap Avellyne dan mengangkat nampan yang diatasnya terdapat semangkok bubur ayam dan teh hangat biasa.
Sementara itu Leha hanya perlu membersihkan sedikit area dapur sebelum dia pulang. Wanita paruh baya itu tidak menginap di apartemen. Dia datang setiap hari untuk membersihkan unit apartemen, mencuci dan menyetrika pakaian Ryos. Terkadang dia juga memasak itu pun jika Ryos yang meminta. Karena hidup sendiri di Apartemen, Ryos lebih sering membeli makanan di luar atau terkadang dia mampir ke rumah orang tuanya.
...
Hanna pulang dengan perasaan kesal dan memperlihatkan wajah cemberutnya di depan sang suami.
Sikap yang demikian tentu saja mengundang berbagai pertanyaan di dalam benak Reyiu. Salah satunya dia menebak mungkin masalah antara Avellyne dan Ryos memang bukan masalah biasa.
"Bagaimana, Sayang?" tanya Reyiu.
Hanna menghela napas kasar dan duduk di pinggiran ranjang.
"Mereka berdua memang menyebalkan. Aku harus buru-buru ke sana dan meninggalkan Kakak untuk membereskan masalah seujung kuku. Hanya kesalahpahaman biasa," ucap Hanna masih menunjukkan wajah cemberutnya.
Reyiu tersenyum tipis lalu dia ikut duduk di samping sang istri. Dia menarik tangan Hanna dan meminta wanitanya untuk duduk di pangkuan.
"Justru semua masalah itu datang dari kesalahpahaman, kurangnya komunikasi. Kalau tidak segera dibicarakan akan berakhir menjadi masalah besar. Pilihan kamu sudah tepat datang ke sana dan meluruskan kesalahpahaman. Kalau tidak, mungkin pernikahan mereka bisa batal."
"Memang itu tujuan aku mendatangi Ryos, memintanya berpikir ulang untuk menikahi Avel," ucap Hanna.
"Kita sudah membahasnya kemarin dan Ryos siap menanggung semuanya." Reyiu menatap sang istri dengan tatapan teduh berusaha untuk menenangkan.
"Tetap aja aku merasa... Ryos berhak mendapatkan yang lebih baik."
"Sayang...." Reyiu mengelus punggung sang istri dan tersenyum tipis, "Ryos lebih banyak menghabiskan waktu bersama dengan Avel dibandingkan kita. Dulu, kamu mungkin begitu kenal tentang Avel. Tapi waktu sudah banyak terlewati, semenjak kita menikah kalian jarang banget berkumpul dan kamu juga kehilangan banyak informasi tentang Avel maupun Ryos. Ada sesuatu yang tidak kita ketahui dan Ryos memahami keadaan Avellyne, mungkin karena itulah dia merasa menikah dengan Avel adalah pilihan yang tepat."
"Tetap aja aku masih kesal sampai sekarang. Aku sudah panik banget, khawatir dan–" Kalimat Hanna terputus karena Reyiu tiba-tiba mengecup bibirnya.
"Kak, aku lagi ngeluapin amarah tapi kenapa mengambil kesem–" Kalimat Hanna kembali terjeda karena Reyiu lagi-lagi mengecup bibirnya.
"Biar kamu enggak ngomel mulu. Hargai keputusan Ryos. Dia sudah menunggu selama bertahun-tahun, jangan menghasutnya untuk meninggalkan Avel. Kita doa'kan saja yang terbaik untuk mereka berdua." Reyiu berbicara sambil menatap istrinya begitu lekat dan hampir tidak berkedip.
"Sayang, untuk hari ini sudah cukup membahas mereka." Reyiu mengamit dagu Hanna dan wajah keduanya saling mendekat hampir tidak berjarak...
"Bunda!!" Suara Albyan-si bungsu menggema dan seketika Hanna melompat dari pangkuan sang suami.
Hanna segera menguasai diri untuk tetap terlihat tenang di depan sang anak.
Sementara itu Reyiu menarik napas sambil memejamkan matanya.
"Adek kenapa lari-lari?" tanya Hanna sedikit khawatir.
"Abang jatuhin sepeda Adek." Albyan mengadu dengan mata berkaca-kaca.
"Biar aku aja yang turun ke bawah. Kamu pasti capek karena dari tempat Ryos," ucap Reyiu sudah berdiri lalu menggendong Albyan yang berumur empat tahun.
Hanna tersenyum tipis sambil menggeleng-gelengkan kepala. Semenjak memiliki anak, dia dan Reyiu tidak bisa sebebas dulu untuk bermesraan. Ketiga anaknya selalu saja datang bergantian di waktu yang tepat untuk mengganggu suasana romantis mereka seperti tadi.
Tidak beristirahat seperti perkataan Reyiu, Hanna memeriksa isi koper sang suami. Dia harus mengecek kembali apakah ada barang penting yang tertinggal sebab suaminya itu akan berada di Thailand selama lima hari.
...
"Avel!"
"Hmm." Avel hanya bergumam dan tangannya berhenti menyuapi Ryos.
"Loe segitu khawatirnya ya, kalau gue marah benaran?"
"Masih tanya. Gue sampai harus ngerepotin Hanna." Avellyne meletakkan mangkok bubur di atas nakas di sebelah ranjang Ryos.
"Jangan salah paham, Yos...." Tatapan mata Avellyne tidak menyiratkan apa pun, sama seperti raut wajahnya yang begitu datar. Tanpa ekspresi sama sekali.
"Kalau loe sampai marah benaran, berarti besar kemungkinan loe bakal batalin pernikahan kita. Yang gue takutkan bukan kemarahan loe, tapi gue bakal menikah dengan pria pilihan mama." Sampai detik ini Avellyne belum menceritakan alasan kenapa dia setuju menikah meski hati tidak menginginkan. Dia belum menceritakan akan kehilangan hak ahli wali waris jika tidak kunjung menikah. Dia sengaja menyembunyikannya dari Ryos.
"Kenapa tidak jujur aja kalau sebenarnya loe cinta sama gue. Lihat ke dalam diri loe sendiri, Vel," ucap Ryos.
"Gue sayang sama loe, Yos. Tapi hanya sebatas rasa sayang persahabatan dan tidak pernah lebih. Sekeras apa pun gue berusaha meyakinkan diri sendiri, jawabannya tetap sama. Gue sayang sama loe, sama seperti gue sayang ke Chalista, Hanna dan teman kita yang lain."
"Gue ingin banget merasa cemburu kalau loe dekat cewek lain. Misal, gue melihat loe sama Marsha. Kalian begitu dekat dan kompak di kantor. Enggak jarang loe nyeritain tentang Marsha dan hati gue enggak bergetar sama sekali. Enggak ada perasaan gelisah atau sebagainya. Atau saat loe menaruh perhatian lebih ke gue, enggak ada perasaan berdebar. Semuanya terasa biasa aja."
Sebenarnya Avellyne sudah menjelaskan hal yang sama berulang kali kepada Ryos. Sebab pria itu selalu saja bertanya tentang perasaan Avellyne.
Mendengar perkataan Leha di dapur tadi membuat Ryos berpikir ada kemungkinan Avellyne memang tidak menyadari perasaannya sendiri.
"Kita bisa kan, untuk tidak membahas ini, Yos. Gue benar-benar merasa enggak nyaman. Gue merasa bersalah sama loe."
"Gue berusaha untuk bisa mencintai loe, tapi gue enggak bisa janji apakah usaha gue bakal berhasil. Kalau loe ragu dengan gue, loe bisa membatalkan pernikahan kita. Loe juga pantas bahagia, Yos."
Ryos mengubah posisi duduknya menjadi tegak, punggungnya tidak lagi bersandar. Tubuhnya sedikit mendekati Avellyne.
"Gue bahagia saat berada di dekat loe, Vel. Sejak dulu dan sampai sekarang. Tapi, kalau loe enggak bisa mencintai gue karena ada seseorang yang menahan hati loe, gue akan berusaha lebih keras lagi agar bisa menjadi seperti dia." Ryos menyentuh pipi Avellyne dan membelainya pelan.
Sepasang mata mereka saling menatap satu sama lain, begitu dalam. Ryos mendekati wajah Avellyne dan wanita itu memejamkan mata, seolah mengizinkan Ryos untuk melakukan apa pun yang diinginkan pria itu.
Avellyne sangat jelas merasakan hembusan napas Ryos lalu pada detik berikutnya dia juga merasakan sesuatu yang lembut menyentuh bibirnya.