NovelToon NovelToon
Runaways Of The Heart

Runaways Of The Heart

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / CEO / Percintaan Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Mafia / Cintapertama
Popularitas:206
Nilai: 5
Nama Author: Dana Brekker

Darren Myles Aksantara dan Tinasha Putri Viena sama-sama kabur dari hidup yang menyesakkan. Mereka tidak mencari siapa pun, apalagi cinta. Tapi pada malam itu, Viena salah masuk mobil dan tanpa sengaja masuk ke lingkaran gelap keluarga Darren. Sejak saat itu, hidupnya ikut terseret. Keluarga Aksantara mulai memburu Viena untuk menutupi urusan masa lalu yang bahkan tidak ia pahami.

Darren yang sudah muak dengan aturan keluarganya menolak membiarkan Viena jadi korban berikutnya. Ia memilih melawan darah dagingnya sendiri. Sampai dua pelarian itu akhirnya bertahan di bawah atap yang sama, dan di sana, rasa takut berubah menjadi sesuatu yang ingin mereka jaga selamanya.

Darren, pemuda keras kepala yang menolak hidup dari uang keluarga mafianya.

Viena, gadis cantik yang sengaja tampil culun untuk menyembunyikan trauma masa lalu.

Genre : Romansa Gelap

Written by : Dana Brekker

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dana Brekker, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ch 12

Di luarnya beraroma roti panggang dan seduhan kopi yang bercampur tanah basah hasil hujan semalaman. Ketika didorongnya pintu utama studio, aroma kayu bercampur debu yang masih bisa ditoleransi segera menyambut kedatangan mereka bertiga.

AC dinyalakan oleh Darren, sekalian pemuda itu menggantungkan jaket dan kunci studionya. Tatkala itu, dua gadis Harry Potter melenggang masuk lebih jauh, mengedarkan pandangan ke deretan bingkai foto yang terpajang di luar maupun di dalam etalase dinding. Berbagai model gitar juga tergantung di sisi lain studio, bersebelahan dengan pintu-pintu kamar rekaman yang memenuhi lorong.

Gak nyangka isinya jauh berbeda dari penampilan luar studio. Viena dan Sita kompak berpikiran sama. Meskipun belum bisa dibilang rapi karena masih terlihatnya tumpukan kabel yang semrawut ataupun debu yang menempel di beberapa sudut ruangan, faktanya Midnight Alter Studio tidak bisa dibilang buruk juga.

“Uh, ini sih keren banget,” puji Viena sambil menyentuh salah satu bingkai foto yang berisi potret lima orang berdiri di atas panggung. Lampu-lampu panggung memberi efek flash di balik ekspresi mereka yang lelah namun bahagia. Tepat di tengahnya, Darren berdiri tanpa senyum dengan setelan hitam.

“Jadi ini band kamu?”

Darren menoleh dari arah meja kontrol di ruang tengah. “Iya, sayangnya sekarang mereka lagi sibuk sama urusan masing-masing. Ada yang kuliah, ada yang kerja.”

“Pantesan sepi,” sahut Viena, matanya masih menjelajahi foto-foto lain yang terpajang di dinding. Beberapa di antaranya tampak sudah agak pudar, tapi masih terawat. “Aku pikir bakalan rame.”

“Hari ini cuma aku aja yang datang. Kadang buat bersihin ruangan, kadang ngecek alat.”

“Ini pertama kalinya aku datang studio musik, apa orang umum boleh dateng ke sini juga?” Sita menimpali, sambil menatap banyaknya pintu kamar rekaman yang ditandai dengan nomor-nomor.

“Boleh,” jawab Darren. “Studio ini juga disewain buat umum. Kadang ada anak kampus yang bikin proyek musik, kadang juga penyanyi amatir yang latihan sebelum tampil, sampai konten kreator musik.”

“Yabai, keren banget!” seru Sita dengan mata berbinar. “Kayak di Bocchi the Rock gitu loh! Terus Kak Darren yang ngurus semuanya?”

“Panggil Darren aja,” pemuda itu mengoreksi sambil menyalakan komputer di meja kontrol. “Aku biasa jagain, buka-tutup studio, ngatur jadwal sewa, sama bantu tamu yang datang. Kalau lagi senggang, ya beresin alat atau ngecek ruangan. Tapi gak setiap hari gitu.”

“Sendirian?” Viena menelengkan kepala.

“Sekarang? Iya,” jawab Darren. “Tapi biasanya ada karyawan yang bantu, sekarang orangnya lagi cuti.”

“Keren… ,” Viena meringis sambil menunjuk lorong penuh alat musik di ujung sana. “Eh, aku boleh lihat-lihat ke sana?”

Darren mengangguk di tengah kesibukannya. “Boleh.”

Langsung saja Viena dan Sita melangkah lebih jauh ke dalam studio, matanya sibuk mengamati setiap sudut ruangan itu. Wajahnya ketara sekali antusias dengan dunia musik.

“Lu yakin kerja di sini cuma beres-beres aja? Banyak bakal repot banget.”

“Yah, itu yang lagi gue bahas sama Darren,” balas Viena sambil manyun. Pertanyaan Sita merusak senyumannya. “Katanya cuma urus studio, beresin alat, rapihin ruangan. Gak perlu main musik, kok. Apalagi nyanyi.”

Entah kenapa Sita sempat bengong pas lihat Viena berpose dua jempol sambil meringis. “Tapi menurut lu orangnya gimana?” Melirik ke Darren yang duduk jauh di sana. “Bisa aja lu udah anggap dia baik, tapi gimana soal temen-temennya yang anak band itu? Lu cewek sendiri lho, Vi. Masa udah lupa sama pengalaman gelap lu di kerjaan-kerjaan yang dulu?”

Viena ketara kali mendesah jengkel. Lantaran itulah Sita menariknya masuk ke satu kamar rekaman kosong yang kebetulan terbuka.

“Dengerin gue.”

Viena pasrah aja dipepetin di tembok sama gadis yang sedikit lebih cebol darinya. “Jadi… gue punya rencana buat mastiin semuanya,” bisik Sita tepat di telinga sahabatnya.

“Lu yakin rencana lu ini nggak kelewatan? Gue bukan tipe cewek kayak gitu.”

Sita mencondongkan tubuh, mata berbinar. “Justru itu, Vi! Ini cuma buat nguji si Darren itu. Kita harus lihat dia itu cowok high value, mesum atau gay.”

Nyesel rasanya bawa alien ini bersamanya, tapi Viena udah terlanjur. Terlanjur gak punya teman lain. Alhasil dia masih dengerin semua rencana rahasia yang begitu terkoordinasi dari Sitarani Ayunda Maharani Dewangkara Putri.

“Langkah pertama,” ucap Sita sambil menunjukkan jari telunjuknya, mengurai setiap pemikiran-pemikiran anomali yang kebetulan sedang bertengger di dalam kepalanya. “Lu harus gulung kaos lu sampai di atas ketek, terus ikat rambut lu di depan Darren. Ponytail atau kuncir dua, terserah. Tapi gigit karet rambutnya, biar kelihatan natural, kayak lagi sibuk.”

“Eh, buset!” Viena menatap Sita dengan mata melebar.

“Shhhh.” Telunjuk Sita berhenti di bibir Viena. “Itulah ide dasarnya. Kalau dia mesum, dia bakal jelalatan. Tapi dia gak bakalan jelalatan kalau dia memang cowok high value.”

Viena menghela napas panjang, siap-siap mendengar, lanjutannya dengan pesimis. “Langkah kedua apa lagi?”

Sita menyeringai. Viena udah lemes duluan. “Itukan banyak drum, kebel-kabel, piano, kolong meja… lu udah jelas harus bersihin itu kan… nah, itu waktu paling tepat buat nunjukin aset lu.”

“Aset?” Viena mengernyit.

“Bokong lu.”

“Anjing!”

“Shhh.” Telunjuk Sita melekat lagi di bibir Viena. “Langkah ketiga,” lanjutnya sambil menepuk-nepuk bahu Viena. “Pas bersihin buffet dan etalase tinggi, lu minta tolong ke dia karena nggak nyampek. Kalau cowok lagi birahi biasanya lebih aktif, dia bakalan nempelin lu terus kayak lem.”

“Lu ngerti ini gila kan, Sit? Gue bakal ngerasa super canggung. Apalagi kalau dia tiba-tiba ngeliatin gue.”

“Kalau dia macem-macem kan ada gue, belum di luar studio juga rame. Gue cuma pura-pura ke kamar mandi… tapi gue bakalan pantau setiap perkembangan lu.”

“Gila, gue bener-bener gak kebayang bakal ikutin rencana lu yang nyeleneh ini.”

Sita menepuk bahu Viena. “Tenang. Gue bakal izin ke kamar mandi dulu. Lo mulai aja. Semua langkah ini supaya kerjaan lu natural, dan kita bisa lihat reaksinya.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!